JAKARTA (IFT) – PT PLN (Persero), perusahaan negara di bidang ketenagalistrikan, akan memutuskan tiga kontrak pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) karena ketidakmampuan kontaktor menyelesaikan proyek sesuai jadwal yang ditetapkan dalam kontrak, kata pejabat perseroan. Ketiga PLTU itu adalah adalah PLTU Atambua berkapasitas 4×7 megawatt, PLTU Bima berkapasitas 2×10 megawatt, dan PLTU Gorontalo berkapasitas 2×25 megawatt.
PLTU Bima dan PLTU Gorontalo merupakan bagian dari proyek 10 ribu megawatt tahap I. “Sudah lebih dari setahun mereka tidak bekerja, karena masalah finansial, konsorsiumnya tdak kompak lagi, macam-macam,” ungkap Nasri Sebayang, Direktur Konstruksi PLN, Senin malam.
Dia menjelaskan konstruksi PLTU Atambua di Nusa Tenggara Timur telah mencapai 75%, sedangkan konstruksi PLTU Bima di Nusa Tenggara Barat dan PLTU Gorontalo secara fisik masih di bawah 15%. PLTU Atambua dikerjakan oleh PT Dalima Putra Perdana sedangkan PLTU Bima dikerjakan konsorsium PTModaco, PT Kelsri, dan PT Angkasa Buana. Sedangkan PLTU Gorontalo sebelumnya dikerjakan PT Tenaga Listrik Gorontalo.
“PLN akan menyelesaikan sendiri proyek itu melalui anak perusahaan PLN. Tidak akan ada tender lagi,” ujar Nasri.
PLN sedang mengkaji penyerahkan proyek tersebut ke tiga anak usaha perseroan yaitu PT Pembangkitan Jawa Bali, PT Indonesia Power, dan PT Rekadaya Elektrika.
Binarto Bekti Mahardjana, Kepala Divisi Bisnis dan Transaksi Tenaga Listrik PLN, memaparkan kontraktor proyek pembangkit listrik swasta tersebut terhambat karena terkena imbas krisis finansial pada 2008. Krisis tersebut mendorong harga barang-barang untuk konstruksi dan harga bahan bakar pembangkit listrik yang di luar kendali mereka meningkat, sehingga proyek menjadi tidak layak dan sulit memperoleh pendanaan dari perbankan.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Indonesia mengatakan PLN harus tegas memutuskan kontrak pengerjaan pembangkit listrik oleh pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) jika tidak sanggup memenuhi komitmen dalam kontrak.
“Jika PLN tidak tegas ini akan jadi preseden buruk. IPP seperti ini sudah banyak,” kata Fabby.
Menurut dia, ketegasan PLN dibutuhkan untuk menghilangkan ketidakpastian pengerjaan proyek pembangkit listrik dan memberi kesempatan bagi PLN untuk menyiapkan pasokan listrik sesuai waktu yang telah ditentukan. Dia menilai PLN selama ini memberikan banyak fasilitas kemudahan kepada kontraktor sehingga kontraktor yang performanya buruk tetap diberikan kesempatan melalui renegosiasi untuk melanjutkan pengerjaan proyek.
Untuk mengantipasi terhambatnya pengerjaan proyek pembangkit listrik, Fabby menyarankan agar PLN memperketat tender IPP agar peserta tender yang menang memiliki kapasitas teknis, teknologi, dan pendanaan yang kuat.
“Ekuitas perusahaan peserta tender sebaiknya minimal 30% dan harus memiliki akses pendanaan yang kuat,” usul Fabby.
Kemampuan pendanaan dinilai sangat penting karena menentukan terlaksanannya proyek hingga tuntas. Terhambatnya proyek PLTU akan membawa implikasi yang merugikan PLN karena PLN harus menggunakan bahan bakar minyak untuk menyuplai listrik.
Investasi US$ 90 Miliar
Sementara itu, PLN memperkirakan kebutuhan investasi hingga 2020 mencapai US$ 90 miliar untuk bisa memenuhi rasio elektrifikasi hingga 100% dari saat ini hanya sekitar 74%. Setyo Anggoro Dewo, Direktur Keuangan PLN, mengatakan perkiraan investasi tersebut karena perseroan menargetkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 5.000 megawatt per tahun dengan asumsi investasi sebesar US$ 1,5 juta per megawatt.
“Kebutuhan investasi sebesar US$ 90 juta ini terhitung untuk 10 tahun sejak 2010,” tuturnya.
Dia mengatakan, asal pendanaan untuk investasi itu berasal dari berbagai sumber, baik internal perseroan, maupun pinjaman, yakni pinjaman dalam negeri dan valas. Khusus tahun ini, kebutuhan investasi mencapai Rp 48,4 triliun, terdiri dari dana internal dan utang yang telah tersedia sebesar Rp 28,84 triliun dan pinjaman sebesar Rp 19,56 triliun. Pendanaan internal mencapai Rp 19,98 triliun, utang yang sudah ada sebesar Rp 8,86 triliun, pinjaman valas sebesar Rp 9,50 triliun, dan pinjaman dalam negeri Rp 10,06 triliun.
Menurut Nur Pamudji, Direktur Utama PLN, rasio elektrifikasi untuk pelanggan rumah tangga pada 2020 sebesar 95%, dan sisanya sebesar 5% terdapat di daerah perbukitan atau daerah terpencil.
“Nanti sisanya 5% akan dipikirkan, apakah akan bangun jaringan sendiri atau bagaimana,” ujarnya.
Dia menyebutkan perseroan setiap tahunnya membutuhkan investasi sekitar Rp 60 triliun. Dari keperluan investasi tersebut, sebesar Rp 10 triliun berasal dari kas internal dan Rp 9 triliun dari pemerintah. Kebutuhan dana selebihnya sekitar Rp 40 triliun harus dicari dari pinjaman pihak lain.
Jarman, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sebelumnya mengatakan kebutuhan investasi PLN per tahun mencapai US$ 9,6 miliar untuk kapasitas 5.000 megawatt. Investasi tersebut untuk membangun pembangkit listrik sebesar 60% dan transmisi sebesar 40%.
Tahun ini tambahan kapasitas ditargetkan sebesar 5.500 megawatt, terdiri dari program percepatan 10 ribu megawatt tahap I sebesar 2.000 megawatt dan pembangkit listrik swasta sebesar 2.500 megawatt.
Program percepatan 10 ribu megawatt tahap I hingga semester I 2012 ini telah mencapai 4.450 megawatt atau 45% dari total target. Pada tahun depan, kapasitas pembangkit dari program 10 ribu megawatt tahap I ini akan bertambah sebesar 2.117,5 megawatt dan pada 2014 bertambah lagi sebesar 1.736,5 megawatt. (*)
Sumber : Indonesia Finance Today