Masih ingat dengan tragedi Fukushima Daiichi? Tahun ini sembilan tahun sudah sejak kebocoran reaktor Fukushima Daiichi unit I,II dan III pada 11 Maret 2011. Kala itu, terjadi gempa 9 SR di daerah timur Jepang yang menyebabkan tsunami setinggi 15 meter.
Tsunami ini menyebabkan jaringan listrik ke Fukushima Daiichi terputus dan menyebabkan 12 dari 13 generator cadangan di wilayah itu, mati. Reaktor yang sedang beroperasi kala itu kehilangan sistem pendingin hingga terjadi overheat pada reaktor dan kolam pendingin limbah bahan bakar.
Satrio Swandiko, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace mengatakan, bencana ini kategori level tujuh dalam International Nuclear Event Scale (INES).
Langkah awal dalam penanggulangan bencana Fukushima, adalah mendinginkan reaktor. Pada Juli 2011, sistem pendingin akhirnya bisa bekerja kembali. Perlu beberapa bulan hingga Desember 2011 Pemerintah Jepang menyatakan unit yang mengalami meltdown dalam keadaan cooling down.
Menurut The Mainichi, hingga 2019 ada lebih dari 950 tangki penyimpanan air di Fukushima Daiichi atau sekitar 1,05 juta ton air treatment yang mengandung tritium.
Japan Center for Economic Research 2017, menyebutkan, total biaya tragedi Fukushima mencapai US$626 miliar. Pasca kejadian, bahan-bahan radioaktof seperti Cs-137 terpapar ke lingkungan melalui udara dan air. Cs-137 dapat tersimpan di lapisan tanah dalam waktu panjang. Kontaminasi juga terjadi di perairan, Cs-137 dan CS-134 terdeteksi di lepas pantai hingga jarak 600 km, yang mempengaruhi kehidupan biota laut.
Pengecekan terhadap 19.594 pekerja saat kejadian, enam terpapar radiasi antara 309-678 mSv (standar maksimum 250 mSv bagi pekerja jangka pendek penanggulangan pasca bencana).
Saat itu, masyarakat dalam radius 20 km dievakuasi dan radiasi 20 mSv per tahun menjadi ambang batas untuk area dalam radius 20-30 km.
Pada 2019, Fukushima dilanda dua angin topan, topan 19 (Hagibis) dan topan 21 (Bualoi). Pemerintah Jepang menetapkan target dekontaminasi. Angin disertai hujan lebat menyebabkan rekontaminasi sebagian area.
Survei 2019
Greenpeace survei mengukur kadar radioaktivitas di beberapa titik area yakni Okuma, Naraha (J-Village) dan Kota Fukushima, dengan empat metode utama, scanning, hotspots, car scanning dan UAV scanning.
“Survei radiasi ekstensif terbaru Greenpeace Jepang telah menemukan bukti rekontaminasi yang disebabkan Topan 19 (Hagibis) dan Topan 21 (Bualoi) di 2019, yang melepaskan cesium radioaktif dari hutan pegunungan di Prefektur Fukushima,” katanya dalam diskusi peringatan tragedi Fukushima di Jakarta, baru-baru ini.
Survei selama tiga minggu pada Oktober dan November 2019, mengamati tingkat radiasi terkonsentrasi di seluruh Prefektur Fukushima. Survei dengan mengidentifikasi titik panas tingkat tinggi di seluruh Prefektur Fukushima, termasuk di Kota Fukushima.
PLTN dalam omnibus law
“Temuan perpindahan radioaktivitas yang mengkhawatirkan di Fukushima harus jadi pelajaran berharga untuk negara-negara yang masih melihat PLTN sebagai solusi energi masa depan. Indonesia, khususnya, akhir-akhir ini berkembang isu pemanfaatan energi nuklir yang belum pernah digunakan dalam skala komersial di Indonesia sebelumnya,” kata Satrio.
Pemerintah bahkan memasukkan PLTN dalam penyederhanaan aturan (omnibus law) untuk mempermudah izin usaha sektor nuklir. Pemerintah memasukkan beberapa perubahan UU No 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dalam RUU Cipta Kerja.
Dalam draf itu, katanya, pemerintah pusat berwenang memberikan perizinan dan pengawasan terkait ketenaganukliran.
“Tidak terbatas hanya pembangkitan, izin penambangan, penyimpanan limbah nuklir juga dimasukkan.”
Sebelumnya, sejak tahun lalu PLN bersama PT Thorcon International telah kajian kelayakan PLTN dengan bahan baku thorium di Indonesia.
Bob Soelaiman Effendi, Kepala Perwakilan ThorCon International Pte.Ltd mengatakan, teknologi Thorcon kompetitif dengan batubara, punya tingkat keselamatan tinggi, dibangun dengan cepat, fleksibel, dan mudah dioperasikan.
“Tidak ada regulasi yang melarang pembangunan PLTN. Bahkan amanat UU dan RPJMN,” katanya.
Thorcon ingin mengembangkan dan membangun PLT Thorium (PLTT) 500 megawatt tanpa APBN dengan investasi Rp 17 triliun. Thorcon, lanjut Bob, akan menjual listrik kepada PLN dengan target harga US$6-7 sen per kwh dengan target operasional 2027.
Thorcon, katanya, dapat memasang tambahan enam unit (3.000 megawatt) setelah unit pertama, sampai 2030. Ada dua tahap pengembangan dan pembangunan dalam rencana ini. Pertama, dalam pembangunan non-fission test bed platform yang akan dibangun 2021.
Thorcon akan bekerjasama dengan PT PAL untuk pembuatan reaktor atau beberapa komponen lain di Indonesia hingga jadi reaktor buatan dan jadi industri nuklir nasional.
Setelah beberapa unit PLTT terpasang di Indonesia, pasca 2030 Thorcon akan membangun pabrik PLTT di Indonesia dengan kapasitas 20 PLTT atau setara 10.000 megawatt per tahun yang akan mempekerjakan 5.000 orang.
Bukan solusi
Greenpeace tegas bilang, PLTN bukan solusi bagi ketahanan energi di Indonesia, terlebih negeri ini mega sumber energi terbarukan.
“Pembangunan PLTN dengan teknologi MSR (molten salt reactor-red) membutuhkan investasi besar. Angka Rp17 triliun bukanlah biaya final,” katanya.
Berkaca pada negara lain, pembangunan PLTN Olkiluoto-3, Finlandia, misal, awalnya perkiraan investasi Euro 3 miliar dan mampu beroperasi pada 2009. Hingga kini, katanya, belum beroperasi dan diperkirakan perlu dana Euro 8,5 miliar.
Di Amerika Serikat, proyek PLTN di Vogtle, Georgia, batal karena biaya meningkat dari US$14 miliar pada 2013 jadi US$29 miliar pada 2017.
“Teknologi generasi IV ini belum teruji secara komersial, belum ada negara yang menggunakan teknologi ini skala komersial. Pemerintah perlu meninjau ulang penambahan kapasitas yang besar saat Jawa dan Bali, kelebihan kapasitas,” katanya.
Energi terbarukan lebih menguntungkan
Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) juga mengingatkan langkah drastis Kanselir Jerman Angela Merkel menghentikan operasi delapan PLTN setelah tragedi Fukushima.
Pemerintah Jerman, katanya, kemudian mendorong pengembangan energi terbarukan dengan kebijakan lebih agresif. Porsi energi terbarukan di Jerman, naik dua kali lipat sepanjang 2011-2020.
“Jerman telah menyatakan mempensiunkan nuklir pada 2020,” kata Citra.
Catatan IESR, di dunia, ada 415 PLTN masih beroperasi, 186 tutup permanen, 27 tidak beroperasi jangka panjang, 46 sedang konstruksi dan 96 konstruksi setop. Presentasi listrik di dunia dari PLTN juga turun dari 17% pada 1996 jadi 10.5% pada 2018. Uni Eropa juga menjadwalkan keluar dari nuklir.
Dengan masa konstruksi panjang dan biaya tinggi, kata Citra, kalau membandingkan levelized cost of electricity (LCOE) dengan energi lain, nuklir termasuk tinggi. Harga pembangkitan listrik PLTN, berkisar antara Rp1.628/kwh hingga Rp2.731/kWh.
“LCOE dihitung dengan masa operasi 40 tahun. Dengan tren phase out, PLTN di dunia hanya beroprasi selama 30 tahun.”
LCOE untuk energi terbarukan juga sudah bersaing dengan pembangkitan konvensional. Meski belum serendah LCOE global, namun LCOE energi terbarukan di Indonesia, sudah kompetitif.
“Dengan kerangka kebijakan dan regulasi yang tepat, LCOE energi terbarukan akan terus turun dan lebih murah dibanding konvensional. Energi terbarukan juga tidak sensitif terhadap bahan bakar. “
Citra mencontohkan, potensi energi surya di Indonesia yang sering disebut untapped alias berjalan sangat lambat dan tak tergali.
Estimasi IRENA, ada 500 gigawatt potensi energi surya di Indonesia. Menurut KESDM, 120-440 gigawatt peak. Menurut IESR, juga ada 655 GWp potensi surya untuk residensial di 24 provinsi.
Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), target 65 gigawatt hingga 2025. Sampai 2019, total instalasi terpasang hanya 152 megawatt dengan 11% PLTS atap.
Kalau membandingkan nuklir dan energi terbarukan, manakah lebih ekonomis? Menurut Citra, untuk 1,2-1,6 gigawatt PLTN generasi III atau III plus, perlu biaya investasi US$7-9 miliar dengan masa pembangunan 8-10 tahun. Untuk 10-14 gigawatt PLTS dengan investasi sama dapat dibangun dalam dua tahun.
Dia bilang, LCOE energi terbarukan Indonesia juga mengalami penurunan. Berdasarkan analisa IESR, biaya pembangkitan listrik surya skala besar dapat mencapai US$58,4/MWh (batas bawah), hampir menyamai PLTU supercritical (US$57,7 MWh), PLTU ultra supercritical (US$58,3), dan PLTU mulut tambang (US$50,1/MWh).
LCOE ini akan terus turun dengan perbaikan kerangka regulasi, termasuk insentif untuk menghilangkan market barrier seperti feed-in-tariff dan penggunaan skema lelang terbalik yang didesain dengan baik.
Dengan potensi energi surya berlimpah, mencapai 655 GWp untuk bangunan residensial, sifat modular dan mudah terbangun di beragam lokasi, akan jadi ujung tombak transisi energi di Indonesia.
Tiga provinsi di Indonesia juga menginisiasi gebrakan untuk pengembangan surya, Bali dengan Pergub Energi Gersih, Jawa Tengah dengan Solar Revolution dan Instruksi Gubernur Jakarta soal Kualitas Udara.
Dwi Sawung, pengkampanye energi dan perkotaan Walhi Nasional mengatakan, Indonesia negara risiko bencana tinggi dan petugas tak disiplin. Dia mencontohkan, penemuan limbah radioaktif di Perumahan Batan membuat pembangunan PLTN di Indonesia, sama saja menyalakan bom waktu.
“Kasus limbah radioaktif oleh pegawai Batan menunjukkan, petugas kita masih lalai dan kelalaian itu dibiarkan bertahun-tahun tanpa hukuman yang tegas.”
Kemudahan dan percepatan perizinan PLTN yang tercakup dalam omnibus law, kata Sawung, juga jadi kekhawatiran tersendiri..
Keterangan foto utama: Aksi Greenpeace tolak PLTN, dan bersegera beralih ke energi terbarukan, Jumat pekan lalu di depan Gedung DPR Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia