Pada 14 April 2020, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Seri Diskusi Daring (online) Pojok E-Nergi perdana, mengangkat topik jaring pengaman sosial sektor energi di masa pandemi virus corona. Pojok Energi adalah seri diskusi isu energi untuk umum yang dilakukan reguler oleh IESR sejak 2017, dan kali ini diselenggarakan secara daring.
Dalam Pojok E-Nergi kali ini narasumber yang hadir adalah Hendra Iswahyudi (Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM), Tulus Abadi (Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia/YLKI), dan Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR).
Sejak penetapan status darurat kesehatan masyarakat dengan anjuran berkegiatan di rumah dan membatasi aktivitas yang melibatkan banyak orang, ekonomi Indonesia juga turut melemah dan mempengaruhi banyak kelompok masyarakat; utamanya kelompok masyarakat rentan yang kebanyakan dari sektor informal. Pemerintah menanggapi kondisi ini dengan memberikan paket jaring pengaman sosial, termasuk sektor energi, menyasar masyarakat yang termasuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Jaring pengaman sosial sektor energi tersebut berupa penggratisan biaya listrik pelanggan 450 VA (sekitar 23 juta pelanggan) selama tiga bulan mulai April hingga Juni 2020, sementara pelanggan 900 VA (sekitar 7 juta pelanggan) berhak mendapatkan potongan harga sebesar 50%. Hendra Iswahyudi menyatakan dalam paparannya, dibutuhkan sedikitnya Rp 3 triliun untuk kompensasi PLN demi menjawab kebijakan diskon tarif ini.
Dalam pelaksanaannya, pemberian keringanan tarif tenaga listrik ini telah diatur melalui Surat Dirjen Ketenagalistrikan Nomor 707/26/DJL.3/2020 dan Kementerian ESDM telah menginstruksikan kepada PT PLN untuk pelaksanaan pemberian diskon tarif.
Menurut Hendra, tantangan yg muncul di lapangan di antaranya adalah sosialisasi untuk masyarakat yg belum paham teknologi informasi (IT) dan panjangnya proses penerbitan voucher. Selain itu, Kementerian ESDM juga membahas penggantian pendapatan daerah (PAD) yg hilang dari penggratisan biaya listrik (termasuk penerangan jalan umum) dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian Dalam Negeri.
Hendra juga menggarisbawahi bahwa proses evaluasi jaring pengaman sosial ini sedang dilakukan. Kementerian ESDM juga terus mengkaji insentif dan stimulus untuk kelompok pelanggan lain, termasuk sektor UMKM dan komersial/bisnis yang juga terdampak pandemi. Untuk sementara ini sebagai respon cepat, stimulus diberikan pada kelompok masyarakat paling rentan.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif, menilai kebijakan keringanan tagihan listrik tersebut merupakan langkah yang tepat oleh pemerintah di tengah pandemi COVID19. Respon cepat ini diperlukan untuk memastikan kelompok masyarakat terdampak segera terbantu. Fabby juga memberikan beberapa catatan terkait tindakan pemerintah ini. Menurutnya, pemerintah belum memiliki skema jaring pengaman sosial energi yg komprehensif, mengingat Indonesia belum memiliki standar dan mekanisme pengukuran kemiskinan energi.
Hingga saat ini, akses energi di Indonesia masih berdasar prinsip ketersambungan, belum mengukur kualitas dan standar konsumsi minimal untuk kegiatan produktif. Secara kualitas dan dalam klasifikasi tier menurut kerangka multi-tier framework (MTF) yang dikembangkan oleh ESMAP dan Bank Dunia, banyak daerah di Indonesia yang akses energinya masih berada di tier rendah, yaitu tersambung atau ada listrik namun ketersediaan dan kualitas listriknya minim. Studi IESR di 2 provinsi menunjukkan hal serupa, rumah tangga yang menjadi sasaran distribusi Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) otomatis masuk dalam tier rendah mengingat listriknya hanya tersedia terbatas dan hanya untuk penerangan dan pengisian daya telepon genggam.
Fabby mengatakan, masa pandemi ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan evaluasi penyediaan akses energi dan mengintegrasikan “kemiskinan energi” dalam penentuan kelompok rumah tangga miskin, sehingga jaring pengaman sosial energi dapat dirancang secara efektif. Dengan adanya standar kualitas akses energi, maka jaring pengaman sosial energi di masa darurat dapat dirancang dengan mempertimbangkan aktivitas produktif masyarakat dan tidak sekadar memberikan penerangan atau sambungan listrik sementara. Contoh sederhananya, jika aspek standar konsumsi listrik dimasukkan, maka pemberian keringan tarif listrik untuk masyarakat miskin dan rentan bisa didasarkan pada konsumsi tersebut sehingga aktivitas ekonomi dapat berjalan normal.
Tulus Abadi juga mengapresiasi langkah pemerintah untuk memberikan jaring pengaman sosial bagi kelompok masyarakat rentan. Di sisi lain, Tulus merekomendasikan kelompok rumah tangga 1300 VA untuk mendapatkan stimulus serupa. Di kawasan perkotaan, kelompok 1300 VA ini adalah terdiri dari pekerja informal, dirumahkan, atau kehilangan pendapatan sehingga mereka memerlukan stimulus energi; karena energi adalah kebutuhan utama dan mendasar. Meski tidak termasuk dalam kelompok masyarakat miskin, mereka kehilangan pendapat sehingga menjadi kelompok masyarakat yang memerlukan bantuan pemerintah.
Tulus mengharapkan pemerintah menjaga pasokan LPG 3 kg dan harganya. Menurutnya, subsidi energi memasak yang diberikan pemerintah untuk LPG 3 kg sudah cukup, yang perlu dipastikan adalah ketersediaannya secara merata dan pengawasan harga eceran tertinggi sehingga tetap terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan.
Dua orang perwakilan masyarakat, yaitu Ibu Mariyam dari Jakarta dan Pak Ismono dari Demak (Jawa Tengah) merespon dengan baik tindakan pemerintah memberikan jaring pengaman sosial energi ini. Menurut mereka, sosialisasi di lapangan yang belum menyeluruh masih menjadi kendala, juga adanya keluarga yg menurut pengamatan mereka sebenarnya membutuhkan namun tidak mendapatkannya. Ibu Mariyam dan Pak Ismono berharap penyebaran informasi dilakukan dengan lebih masif dan lebih jelas, benar-benar diberikan untuk yang membutuhkan, dan diberikan sepanjang dampak pandemi COVID19 dirasakan — bisa jadi lebih dari 3 bulan seperti skema jaring pengaman sosial saat ini.
Rekaman diskusi daring ini dapat dilihat secara utuh di: