Sebagai bagian dari Strategic Partnership for Green and Inclusive Energy, Institute for Essential Services Reform (IESR) menggelar seri diskusi Pojok Energi. Diskusi ini dimaksudkan sebagai forum terbuka bagi masyarakat umum, dunia usaha, asosiasi dan lembaga, pemerintah dan kalangan pemangku kepentingan lainnya untuk membahas berbagai persoalan energi di Indonesia. Diskusi ini juga diharapkan menjadi sarana untuk mengumpulkan ide, solusi, gagasan, masukan dan aksi nyata untuk upaya pemenuhan layanan energi bagi semua kalangan di Indonesia.
Sebagai pembuka, diskusi Pojok Energi yang pertama berlangsung pada
Jum’at (10/3) dan mengambil tema tentang pemanfaatan energi terbarukan untuk pemerataan energi di Indonesia. Hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini adalah Yunus Saefulhak, Direktur Panas Bumi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Eenergi dan Sumber Daya Meineral (ESDM), Tri Mumpuni Ketua Institut Bisnis dan Kerakyatan (IBEKA) dan Fabby Tumiwa Direktur IESR.
Dalam pemaparannya Yunus Saefulkak menjelaskan tentang besarnya tantangan Indonesia dalam upaya pemenuhan energi bagi seluruh masyarakat. Hingga tahun 2016 diperkirakan masih ada 7 juta rumah tangga atau 28 juta penduduk Indonesia yang sama sekali tidak mendapatkan akses energi. Ironisnya, Indonesia adalah satu negara di dunia yang memiliki beragama daya sumber energi, baik yang berasal dari energi fosil seperti minyak, gas dan batubara, maupun energi terbarukan berupa tenaga surya, angin, matahari dan panas bumi.
“Meskipun kita memiliki sumber energi terbarukan yang cukup melimpah, namun penggunaanya hingga saat ini baru mencapai 6% dari total bauran energi. Padahal potensi energi terbarukan ini tersebar di berbagai wilayah dan bisa dimanfaatkan untuk penyediaan energi di dalam negeri, terutama di daerah-daerah yang terpencil,” ujar Yunus.
Besarnya tantangan ini menurut Yunus karena masih adanya perbedaan perbedaan pola pikir mengenai pengembangan energi terbarukan. Selain itu skema bisnis dan insentif belum dikembangkan secaraoptimum, sehingga harga energi terbarukan belum menyentuh nilai keekonomian. Karenanya diskusi terbuka seperti Pojok Energi yang melibatkan berbagai kalangan merupakan wadah yang bermanfaat untuk membicarakan isu energi dan bagaimana mengatasi tantangan-tantangan di dalamnya.
Namun begitu, pemerintah tetap berupaya keras untuk mengejar target pemanfaatan energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025, pemerintah saat ini menggenjot pengembangan pembangunan pembangkit listrik dari tenaga energi terbarukan. Beberapa target yang telah dicapai diantaranya adalah peningkatan lebih dari 200 MW kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PTLP) dan meningkatnya pembangunan PLTS dan PLTM/MH (mikro/minihidro) karena adanya feed-in-tariff yang lebih kompetitif.
Menyambung paparan Ir. Yunus Saefulhak, Tri Mumpuni berbagi cerita mengenai pengalamannya selama lebih dari 20 tahun memberdayakan masyarakat desa untuk membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Menurut Tri Mumpuni, model pendekatan top down yang sering digunakan pemerintah sebaiknya dipasangkan dengan bottom-up approach, di mana masyarakat dilibatkan dan dikembangkan kapasitasnya untuk mengelola PLTMH di desa mereka.
Tantangan geografis juga sering menjadi menjadi alasan tidak adanya akses listrik ke banyak desa di Indonesia, karena penyambungan listrik ke desa-desa yang sulit dijangkau dinilai tidak ekonomis.
“Meski desa-desa itu memiliki kendala geografis, namun sebetulnya ada banyakan potensi energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan,” ujar Tri Mumpuni.
Oleh sebab itu, Tri Mumpuni selalu bersemangat untuk bekerja bersama masyarakat untuk memanfaatkan energi terbarukan seperti PLTMH.
“Masyarakat bisa berperan sebagai pemilik modal, operator, dan penerima manfaat. Dengan melibatkan masyarakat, PLTMH akan menjadi “hak milik” mereka. Pengoperasian dan perawatan sepenuhnya dilakukan sendiri dengan training dari para engineer, dan listrik yang bisa dijual ke PLN kembali ke masyarakat untuk biaya-biaya pendidikan dan peningkatan perekonomian,” ujarnya.
Menutup pemaparan Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa membahas tentang pengalihan subsidi listrik ke pengembangan panel surya rumahan (PV rooftop). Selama ini pemerintah harus menghabiskan anggara sebesar Rp. 29 triliun per tahuun untuk mensubsi pelanggaran listrik kategori rumah tangga dengan kapasitas listrik 450 VA. Subsidi ini sebenarnya dapat dialihkan untuk membangun PV rooftop untuk rumah tangga miskin.
Dengan kata lain, pemerintah tidak perlu mencari dana untuk mengembangkan energi terbarukan, melainkan cukup mengalihkan dana subsidi. Dengan mengalihkan 10-12% dari subsidi listrik untuk pengembangan PV rooftop, beban subsidi APBN untuk R1-450 VA akan menurun. Dalam jangka waktu 4 tahun setelah program di mulai, diproyeksikan terdapat 1 juta rumah tangga pelanggan listrik R1-450VA yang memiliki PV rooftop dengan kapasitas individu 1 kWp on-grid, atau setara dengan total kapasitas terpasang 1 GW.
Diskusi ini kemudian dilanjutkan forum pertanyaan dari para peserta. Pertanyaan yang muncul pun beragam, mulai dari bagaimana pemerintah mendorong kondisi yang ideal untuk pengembangan energi terbarukan bagi sektor swasta, bagaimana best practice dari pengalaman Tri Mumpuni untuk meyakinkan PLN membeli listrik dari PLMTH, hingga apa peran konsumen untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan.
Yang menarik dari diskusi ini adalah luasnya ruang diskusi yang muncul, juga dengan narasumber yang memiliki keahlian dan pengalaman yang berbeda-beda. Sebagai pembuat kebijakan, Yunus Saefulhak menampung masukan-masukan yang diberikan oleh peserta diskusi yang berasal dari sektor swasta dan dari organisasi masyarakat sipil. Menurutnya, peran dan pandangan dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk mendorong pengembangan energi terbarukan yang efektif dan tepat sasaran. Misalnya tentang bagaimana pemerintah sebaiknya mempertimbangkan motif mendorong pemanfaatan energi terbarukan vs. mendorong produksi dalam negeri melalui aturan TKDN dan juga terkait insentif keuangan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.
Tri Mumpuni dengan pengalaman tingkat akar rumput yang ekstensif mendiskusikan mengenai potensi energi terbarukan yang cocok bagi masyarakat di kota dan bagaimana perjalanannya meyakinkan PLN untuk akhirnya menerima listrik dari salah satu desa yang menggunakan PLTMH. Selain peran pengambil kebijakan dan pihak swasta, keterlibatan masyarakat dan kesadaran konsumen juga merupakan kunci penting untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan.
Fabby Tumiwa dari IESR menyimpulkan Pojok Energi perdana ini dengan menekankan pada perlunya platform diskusi seperti ini untuk meningkatkan pemahaman berbagai pihak pada isu energi di Indonesia dan sebagai wadah pertukaran pendapat, pikiran, dan gagasan untuk bersama-sama menyelesaikan tantangan energi di Indonesia. Seri Diskusi Pojok Energi akan dilaksanakan reguler dan didukung oleh Hivos Southeast Asia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Koaliasi Perempuan Indonesia (KPI) sebagai mitra lembaga Strategic Partnership for Clean and Inclusive Energy.