Pemerintah telah mengambil langkah berani untuk mengalihkan subsidi tarif dasar listrik (TDL) golongan rumah tangga 900 VA secara bertahap, bagi mereka yang termasuk dalam kelompok Rumah Tangga Mampu (RTM). Pengalihan subsidi ini menimbulkan pro kontra yang cukup marak di masyarakat, dan dinilai tidak berpihak pada masyarakat kecil. Apakah pentingnya pengalihan subsidi TDL ini?
Untuk membahas isu kelistrikan Indonesia, Institute for Essential Services Reform (ESR) bersama Strategic Partnership Green and
Inclusive Energy menyelenggarakan diskusi Pojok Energi 3 pada hari Selasa (23/5) dengan tema Menerangi Indonesia. Dalam diskusi ini dihadirkan narasumber Alihuddin Sitompul, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM; Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI; dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. Pojok Energi yang ketiga ini juga dihadiri berbagai kalangan, yaitu konsumen pengguna listrik, netizen, blogger, NGO, dan jurnalis.
Dalam paparannya, Alihuddin Sitompul menjelaskan mengenai kondisi kelistrikan Indonesia saat ini. Dengan jumlah penduduk yang banyak dan pulau-pulau yang tersebar, pemerintah masih memiliki pekerjaan untuk menuntaskan tugas menerangi Indonesia. Rasio elektrifikasi Indonesia saat ini masih berada di 92%. Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional (nawacita), pembangunan di sektor ketenagalistrikan ditandai dengan tersedianya listrik dalam jumlah cukup dengan kualitas yang baik dan harga yang wajar. Jaminan ketersediaan listrik ini juga harus memenuhi prinsip berkelanjutan, mengutamakan energi baru terbarukan (EBT), dan pemanfaatan sumber dalam negeri diutamakan untuk penyediaan energi nasional.
Alihuddin Sitompul juga memaparkan mengenai skenario penyediaan tenaga listrik bagi konsumen. Listrik tersedia bagi konsumen melalui rantai pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penyaluran pada konsumen. Apabila ada salah satu langkah yang tidak berada dalam kategori “sukses”, maka keandalan listrik untuk konsumen tidak akan tercapai. Konsumsi listrik Indonesia saat ini masih di kisaran 950 kWh/kapita, jauh di bawah negara-negara tetangga di ASEAN. Infrastruktur ketenagalistrikan masih banyak didominasi oleh Indonesia bagian barat dan rasio elektrifikasi di Indonesia bagian Timur masih banyak yang di bawah 70%.
Menyinggung pengalihan subsidi TDL, salah satu kebijakan pemerintah untuk melakukan penyediaan listrik yang efisien dan menjaga keseimbangan kepentingan penyedia layanan listrik dan konsumen adalah dengan melakukan penyesuaian TDL. Subsidi listrik diprioritaskan bagi konsumen tidak mampu, sementara tarif konsumen lainnya ditetapkan sesuai prinsip keekonomian secara bertahap. Sebanyak 18,94 juta pelanggan berdaya 900 Volt Ampere (VA) mengalami pencabutan subsidi bertahap terhitung mulai 1 Januari 2017. Subsidi tersebut berkisar 82% dari total jumlah pengguna listrik 900 VA.
Subsidi tersebut akan dicabut dalam tiga tahap, di mana tarif listrik per kilowatt-hour (KWh) setiap periodenya akan naik 33 persen. Pemerintah menilai pencabutan subsidi listrik ini adalah langkah yang baik karena selama ini subsidi yang diberikan dianggap salah sasaran. Dengan pencabutan subsidi ini, diharapkan anggaran subsidi listrik di tahun 2017 bisa ditekan menjadi Rp 45 triliun, dari sebelumnya Rp 60,44 triliun di tahun 2016. Dana yang tersedia dapat dialihkan untuk pembangunan infrastruktur atau untuk listrik perdesaan dengan harapan di tahun 2019 Indonesia sudah terang seluruhnya. Kementerian ESDM juga membuka layanan pengaduan untuk mengantisipasi kebijakan ini, dan pelaporan yang masuk akan ditindaklanjuti untuk diproses dan dikembalikan subsidinya jika memang pelapor masih tergolong rumah tangga yang memerlukan subsidi.
Tulus Abadi sebagai Ketua Pengurus Harian YLKI memberikan beberapa catatan kritis mengenai pencabutan subsidi listrik ini. Menurutnya, beberapa aspek yang penting terkait konsumen perlu diperhatikan. Sesuai dengan UU Energi, masyarakat tidak mampu berhak atas subsidi energi, sehingga penetapan parameter tidak mampu dan format pemberian subsidi harus dikaji mendalam sehingga tidak merugikan masyarakat yang membutuhkan. Pemenuhan kebutuhan listrik dalam negeri juga hendaknya mengutamakan energi bersih. Energi fosil yang mengakibatkan dampak eksternal negatif bagi lingkungan sebaiknya tidak diberikan subsidi, dan energi terbarukan yang seharusnya menerima insentif.
Berdasarkan pengamatan YLKI, dampak pencabutan subsidi mendorong inflasi dan menurunnya daya beli konsumen. Untuk perkotaan, dan untuk komoditas non makanan, tarif listrik memicu kemiskinan sebesar 2,86 %. Urutan pertama adalah perumahan (9,8%), dan urutan ketiga adalah BBM (2,84%). Sementara itu untuk masyarakat perdesaan, pemicu kemiskinan terbesar adalah makanan pokok (25,53 %), diikuti oleh rokok (10,7%). Pencabutan subsidi listrik bisa memicu kemiskinan, tetapi kecil; baik untuk perkotaan dan perdesaan, masih di bawah rokok.
Dari aspek psikologi dan pelayanan, pencabutan subsidi ini juga dapat menimbulkan dampak kontraproduktif apabila kualitas dan layanan listrik tidak andal. Menurut Tulus Abadi, kenaikan tarif harus paralel dengan kenaikan pelayanan, insentif pada konsumen, kemudahan mendapatkan listrik, dan integritas PLN.
Melihat bahwa listrik adalah infrasruktur yang wajib disediakan oleh negara dan merupakan essential services, maka YLKI mendesak pemerintah untuk tidak menyerahkan pengelolaan listrik pada mekanisme pasar. YLKI juga menilai pentingnya keberadaan Essential Services Act yang mengakomodasi public utility comission sehingga suara pengguna layanan dan penerima manfaat dapat menjadi pertimbangan mendasar untuk penyediaan ketenagalistrikan di Indonesia.
Fabby Tumiwa dari IESR melanjutkan paparan mengenai tantangan kelistrikan di Indonesia. Selain rasio elektrifikasi, kualitas listrik adalah tantangan yang terus muncul. Banyak daerah di Indonesia yang mengalami pemadaman. Tegangan listrik yang tidak stabil juga masalah yang jamak dialami oleh konsumen, yang menyebabkan tagihan listrik naik dan alat elektronik yang rusak atau lama bila di-charge.
Salah satu inisiatif yang sedang dikelola oleh IESR adalah Electricity Supply Monitoring Initiative (ESMI). Inisiatif dengan metode data crowdsourcing ini memantai kualitas listrik di level konsumen dengan mengambil data frekunsi dan durasi pemadaman listrik serta tegangan. Dengan 28 titik yang tersebar di Jabodetabek dan Kupang, dapat dilihat bagaimana kualitas listrik yang tersedia di lokasi berbeda. Sementara area Jabodetabek memiliki kualitas listrik yang lebih baik dibandingkan dengan Kupang diliat dari frekuensi dan durasi pemadaman listrik, ketidakstabilan tegangan banyak terjadi di Jabodetabek. Beberapa lokasi di Jakarta menunjukkan dominasi tegangan rendah (di bawah 210 V). Pada prinsipnya, tegangan rendah akan menyebabkan kenaikan konsumsi daya listrik. Meski tak kasat mata, tegangan listrik yang rendah bisa terlihat dengan lamanya pengisian daya untuk alat elektronik atau pendingin ruangan yang memerlukan waktu lama untuk menyejukkan ruangan.
Fabby Tumiwa menggarisbawahi pentingnya memperhatikan perawatan infrastruktur kelistrikan dan peningkatan kualitas listrik. Dengan menggunakan ESMI, masyarakat dapat memantau kualitas listrik yang mereka terima dan penyedia layanan listrik bisa mendapatkan gambaran penyediaan kelistrikan bagi konsumen untuk meningkatkan atau mempertahankan kualitas layanan. ESMI dapat diakses secara publik melalui alamat pantaulistrikmu.id.
Dalam sesi diskusi dan tanya jawab, beragam pertanyaan muncul. Ada yang bertanya mengenai kebijakan pemerintah untuk swasta yang hendak membangun pembangkit EBT, bagaimana konsumen memahami layanan listrik prabayar dan paskabayar, juga mengenai peningkatan kualitas listrik untuk daerah-daerah di sekitar Jakarta. Beberapa peserta membagikan pengalaman mereka sebagai pengguna listrik dan harapan mereka untuk pemerintah dan penyedia layanan listrik.