Pojok Energi #6: Menyongsong Era Kendaraan Listrik

Pada tahun 2016, penjualan mobil listrik mengalami rekor. Lebih dari 700.000 unit kendaraan listrik terjual di seluruh dunia. Di Indonesia dinamika kendaraan listrik cenderung naik-turun. Beberapa kali diberitakan secara intens oleh media, lantas tenggelam begitu saja.

Salah satu milestone penting berkaitan dengan kendaraan listrik tahun ini adalah penerbitan Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Di dalamnya tercantum target pemerintah untuk mengembangan kendaraan listrik. Pada tahun 2025 diharapkan populasi sepeda motor listrik sebanyak 2.000 unit dan mobil listrik sebanyak 2,1 juta unit.

Menyoroti masalah ini, IESR bersama Strategic Partnership for Green and Inclusive Energy yang didukung oleh HIVOS kembali menyelenggarakan diskusi Pojok Energi dengan tema “The Future of Transport: Menyongsong era Kendaraan Listrik” pada tanggal 28 November 2017 di Hotel Grand Melia. Hadir sebagai pembicara adalah Chrisnawan Anditya (Kepala Bagian Rencana dan Laporan-Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM), Ikhsan Asaad (General Manager PLN Distribusi Jakarta Raya), Alief Wikarta (Tim GESITS-Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya), dan Tarsisius Kristyadi (Tim EVHERO-Institut Teknologi Nasional, Bandung).

Sebagai pembicara pertama, Chrisnawan Anditya dari Kementerian ESDM menjabarkan ramalan sistem tenaga listrik yang akan datang. Dengan perkembangan teknologi seperti internet of things dan mobil listrik, sistem ketenagalistrikan diramalkan akan berubah secara signifikan. Sistem tenaga listrik yang umum saat ini bergerak dari pembangkit, transmisi, distribusi, hingga mencapai pelanggan. “Di masa depan, untuk mobil listrik akan memiliki grid yang terpisah dari pelanggan,” tukas Chrisnawan.

Studi menunjukkan, tren perkembangan teknologi pada mula tampak lambat, tetapi melonjak secara signifikan pada titik waktu tertentu. Perubahan ini, seperti yang disampaikan oleh Chrisnawan, mau tidak mau harus dihadapi.

Prasyarat untuk kendaraan listrik dapat berkembang  adalah ketersediaan pasokan listrik. Melalui program 35.000 MW yang dicanangkan pemerintah, pasokan listrik saat ini sudah dapat terpenuhi. Indikator lain yang didorong pemerintah adalah rasio elektrifikasi dan konsumsi energi. “Ketika rasio elektrifikasi naik, masyarakat mencari listrik saya untuk apa lagi? Teknologi lalu juga akan mengikuti,” jelas Chrisnawan.

Selain RUEN, Chrisnawan memberitahukan saat ini sedang disusun regulasi tentang kendaraan listrik berupa Peraturan Presiden. Beberapa topik yang dibahas dalam penyususnan tersebut adalah infrastruktur-terutama Stasiun Pengisian Listrik Umum, insentif baik fiskal maupun nonfiskal, pengembangan industri dalam negeri, pengaturan porsi kendaraan listrik dengan kendaraan berbahan bakar minyak, serta koordinasi dengan pemerintah daerah.

Seperti yang disampaikan oleh Ikhsan Asaad selaku General Manager PLN Disjaya, PLN siap untuk menyongsong era kendaraan listrik.  Komitmen PLN untuk mendorong kendaraan listrik secara monumental tercermin saat perayaan Hari Listrik Nasional, Oktober lalu. PLN melakukan konvoi bersama 200 motor listrik.

Selain itu PLN baru saja melakukan serah terima motor bermerk VIAR yang telah dilengkapi Surat Tanda Naik Kendaraan (STNK). Motor-motor ini akan digunakan sebagai kendaraan operasional para pegawai PLN.

Dari segi infrastruktur, saat ini PLN telah memiliki 1.352 unit SPLU yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk mempermudah pencarian lokasi, PLN sudah menyediakan aplikasi mobile yang dapat diunduh melalui Playstore atau AppStore. Cara mengakses listrik di SPLU pelanggan hanya perlu membeli token listrik atau dengan e-money.

Pojok Energi kali ini selain dari pihak pemerintah juga mengundang peneliti atau pengembang teknologi. GESITS adalah tim riset di Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang mengembangkan sepeda motor listrik. Seperti yang disampaikan Alief Wikarta, fokus riset GESITS adalah power unit, pengendali, dan sistem manajemen baterai.

Tim GESITS memilih pengembangan sepeda motor dibanding mobil karena harga baterai yang relatif mahal. Harga baterai saat ini bisa mencapai 40-50% harga kendaraan, yang tentunya akan berpengaruh terhadap harga jual kendaraan.

Dari segi teknologi, tantangan penelitian dan pengembangan terletak pada baterai. Hal ini menyangkut jarak tempuh (range) per pengisian (charge), durasi pengisian, serta teknologi baterai. Kedua adalah pemilihan teknologi agar harga jual kompetitif dengan sepeda motor konvensional. Ketiga adalah teknologi dan standarisasi agar sepeda motor aman dalam kondisi tergenang. Hal ini didasari kondisi beberapa kota di Indonesia yang akhir-akhir ini kerap terkena banjir.

Dalam kesempatan diskusi ini Alief juga menyoroti kebijakan pemerintah yang selalu berganti-ganti. Menurutnya proses inovasi harus tetap berjalan meski tanpa dukungan pemerintah. Justru dalam hal ini Alief memetik pelajaran agar peneliti dapat ikut aktif dalam penyiapan regulasi atau standar yang disusun oleh pemerintah.

Melihat tren riset dan pengembangan otomotif saat ini, menurut Alief, beberapa negara dunia masih dalam posisi yang sejajar. Oleh karena itu belum terlambat bagi Indonesia untuk mengembangkan dan berimpian mengembangkan kendaraan listrik nasional. “Namun, jika kita masuk ke internal combustion engine, kita tidak akan mengejar apa yang mereka miliki sekarang. Karena industri ini sudah mereka miliki bahkan sejak sebelum perang dunia dan sangat mapan sekali,” jelas Alief.

Alief juga melihat ironi ketika Indonesia yang memiliki pasar terbesar nomor satu di ASEAN untuk motor dan mobil, justru tidak memiliki produk nasional.  “Susah untuk meyakinkan masyarakat bahwa Indonesia itu mampu,” tutur Alief menyoroti perilaku konsumen Indonesia. “Untuk menguji teknologi perlu peer-review, bukan awam,“ tambah Alief.

Presentasi selanjutnya disampaikan oleh Tarsisius Kristyadi dari EVHERO, Tim Mobil Listrik ITENAS. Awal pengembangan EVHERO terinspirasi dari perusahaan “Betrix” yang pada tahun 2012 mengimpor sepeda motor listrik. Namun, karena kesulitan memperoleh izin untuk jalan, upaya pengembangan musti dihentikan. Berawal dari itu EVHERO akhirnya beralih ke pengembangan mobil listrik.

Fokus penelitian yang dilakukan oleh Tim EVHERO Itenas adalah pada platform, seperti chassis dan rem. Beban utama mobil listrik adalah baterai. Tantangan dari desain adalah agar kuat menahan beban, tetapi juga ringan. Melihat kecenderungan konsumen Indonesia, masalah desain body juga menjadi perhatian EVHERO. Celah-celah tersebut seperti yang disampaikan oleh Tarsisius, coba dilakukan EVHERO untuk menghasilkan kendaraan yang utuh.

Turut berbicara tentang mobil listrik, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyebut dukungan kebijakan pemerintah dalam pengembangan mobil listrik sangat vital. “Setahu saya tidak ada kendaraan listrik yang berkembang secara alami jika kita ingin masuk ke tingkat komersil,” terang Fabby.

Secara garis besar terdapat tiga aspek yang menurut Fabby harus didorong secara komprehensif oleh pemerintah, yaitu: riset dan pengembangan, penetrasi dan perluasan pasar kendaraan listrik, serta pengembangan infrastruktur.

Saat ini mobil listrik dihadapkan tantangan untuk meningkatkan kinerja disertai harga yang dapat bersaing. Selanjutnya, menurut Fabby perluasan dan pengembangan pasar butuh momentum untuk tumbuh agar konsumen tidak ragu.

Lebih spesifik Fabby menjabarkan beberapa poin yang dapat disasar pemerintah. Pertama, menyoroti target populasi mobil listrik yang tersurat dalam RUEN, menurutnya target tersebut perlu ditingkatkan agar lebih dapat menggoncang pasar.

Kedua, insentif fiskal dan finansial perlu diterapkan agar harga jual lebih terjangkau. “Melihat perilaku konsumen Indonesia, meski biaya operasional kendaraan listrik lebih murah, konsumen lebih tertarik pada harga awal yang lebih rendah,” jelas Fabby.

Ketiga, memperhatikan pelajaran di banyak negara, pemanfaatan kendaraan listrik dapat dimulai dari pengadaan kendaraan instansi pemerintah.

Kendaraan listrik menawarkan beberapa keuntungan, antara lain efisiensi yang lebih tinggi, biaya operasional lebih rendah, serta kontribusi emisi yang lebih rendah dibandingkan kendaraan berbahan bakar minyak. Sebagai ilustrasi, menurut perbandingan yang dilakukan Ahmad Safruddin dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbel, biaya operasional mobil listrik tipe e-small dihadapkan dengan mobil berbahan bakar minyak tipe LCGC dapat mencapai 1/3, sedangkan kontribusi emisi gas rumah kaca hanya 1/10.

Pertanyaan yang jamak muncul dalam pengembangan kendaraan listrik ini adalah bagaimana kesiapan infrastruktur kelistrikan dan persoalan harga jual. Konsumen pada umumnya menginginkan harga kendaraan yang masuk akal, sementara kendaraan listrik impor saat ini terbebani bea masuk dan pajak barang mewah. Melalui diskusi ini, diharapkan tercipta pembicaraan yang lebih luas dan komprehensif dalam mendorong pengembangan kendaraan listrik di Indonesia.

Artikel ini ditulis oleh Kukuh Samudra, internee di IESR dan disunting oleh Marlistya Citraningrum.

 

Share on :