Pompa Air Tenaga Surya (PATS) Dorong Kemandirian Energi dan Ketahanan Pangan

Semarang, 30 Oktober 2025 – Sektor pertanian menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia. Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan. Namun, tantangan dalam ketersediaan dan akses air masih sering dihadapi para petani. Hal ini banyak dialami di wilayah lahan tadah hujan karena keterbatasan infrastruktur irigasi, kekeringan, maupun faktor lingkungan lainnya. 

Mananggapi hal tersebut, Sodi Zakiy, Analis Sistem Informasi Geografis, Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa penerapan Pompa Air Tenaga Surya (PATS) merupakan inovasi teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi sistem irigasi pertanian. 

“Melalui PATS, petani dapat mengakses air irigasi secara lebih mudah dan berkelanjutan tanpa terbebani oleh tingginya biaya operasional,” ujar Sodi saat memoderatori acara “Sharing Knowledge Implementasi PATS Jawa Tengah” yang dilaksanakan IESR bersama Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah. 

Sodi juga menambahkan bahwa pemanfaatan PATS merupakan salah satu upaya mendorong kemandirian energi di tingkat lokal, sekaligus menjadi langkah konkret untuk mendukung transisi energi di sektor pertanian. 

Sebagai contoh implementasi, Priyanto Panut, Kepala Cabang Dinas ESDM Serayu Selatan, mengungkapkan bahwa penerapan PATS yang dibangun pada tahun 2022 di Desa Krandegan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah berhasil menurunkan biaya operasional hingga 30 persen dibandingkan penggunaan pompa berbahan bakar diesel. 

“Dari total luas lahan sekitar 62 hektare dengan kebutuhan air irigasi sebesar 6.002 m³ per hari, PATS mampu mengairi sekitar 35 hektare atau setara 30 persen dari total kebutuhan air dengan kapasitas suplai 1.860 m³ per hari,” jelas Panut. 

Ia menambahkan, sistem PATS tersebut menggunakan 57 modul fotovoltaik monokristalin berkapasitas 330 Wp per unit dengan total daya 18,8 kWp yang terintegrasi dengan kontrol pompa dan pengatur daya maksimum. Selain itu, pompa yang digunakan merupakan tipe permukaan (surface pump) dengan motor AC tiga fasa berdaya 11 kW, memiliki head maksimum 12 meter, dan debit aliran hingga 279 m³ per jam melalui pipa berdiameter 6 inci. 

Selama enam bulan beroperasi, penggunaan PATS mampu menghemat biaya bahan bakar minyak (BBM) hingga sekitar Rp21 juta, atau setara pengeluaran harian sebesar Rp117.300. Sementara itu, sisa daya sebesar 7 kWp dimanfaatkan pemerintah desa untuk menambah dua unit pompa kecil berkapasitas 3 kW yang dibiayai dari dana desa dan diintegrasikan dengan jaringan listrik PLN melalui sistem on-grid.  

Namun demikian, Diah Ayu Ratnasari, Kepala Bidang Energi Baru Terbarukan (EBT) DESDM Provinsi Jawa Tengah, menjelaskan bahwa dalam implementasi pembangunan PATS masih terdapat sejumlah kendala, terutama dalam proses perizinan pemanfaatan air sungai karena melibatkan banyak pihak.  

“Proses pembangunan PATS membutuhkan koordinasi lintas sektor dan kelengkapan dokumen teknis yang sering kali memakan waktu lebih lama dari siklus anggaran daerah, sehingga berisiko menunda pembangunan fisik. Selain itu, keterbatasan informasi publik terkait persyaratan izin juga menjadi tantangan tersendiri, karena banyak pelaksana kegiatan di daerah yang belum memahami kebutuhan dokumen sejak tahap perencanaan.” Ujar Ayu. 

Sementara itu, Pulung Arya Pranintya, dari Ditjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum menegaskan bahwa proses perizinan penggunaan air bertujuan untuk menjaga stabilitas dan ketersediaan air, baik permukaan maupun air tanah, agar distribusinya tetap adil dari hulu ke hilir. 

“Perizinan ini bukan untuk mempersulit petani dalam mengakses air, melainkan untuk memastikan ketersediaan air yang berkeadilan dari hulu ke hilir,” jelas Pulung.  

Selain itu, ia menambahkan bahwa kewenangan pengelolaan air pada praktiknya berjenjang. Pemerintah pusat mengatur wilayah sungai lintas provinsi, pemerintah provinsi mengatur lintas kabupaten atau kota, sedangkan pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab atas pengelolaan di wilayah administratifnya masing-masing.  

Pulung juga menambahkan bahwa kunci dalam percepatan perizinan adalah kelengkapan dokumen teknis dari pemohon. Ia mengutarakan bahwa jika dokumen sudah lengkap dan izin belum diterbitkan dalam waktu tiga minggu, maka izin tersebut akan otomatis dikabulkan.  

Dari sisi teknis, Muhammad Al-Roshady, Founder PT Mobah Teknologi Indonesia, berbagi pengalaman dalam pembangunan PATS di berbagai daerah. 

“Kami mengembangkan empat tipe sistem PATS yang disesuaikan dengan karakteristik lahan dan kebutuhan pengguna, yaitu sistem langsung tanpa baterai (direct solar pumping), sistem dengan penyimpanan baterai, sistem hibrida yang terhubung dengan jaringan PLN, dan sistem portabel untuk petani kecil dengan lahan berpencar. Setiap tipe dirancang agar efisien dan mudah dirawat. Untuk lahan sawah yang membutuhkan aliran air konstan, sistem tanpa baterai lebih efisien karena langsung memanfaatkan energi matahari pada siang hari. Sementara untuk hortikultura yang membutuhkan tekanan air tinggi atau irigasi malam hari, sistem dengan baterai menjadi solusi yang lebih fleksibel,” jelas Roshady. 

Ia juga menambahkan pentingnya pendekatan sosial dalam implementasi proyek energi terbarukan di daerah agar proyek diterima masyarakat. PT Mobah Teknologi Indonesia melibatkan SMK lokal dalam proses pelatihan dan pemeliharaan sistem PATS. Dengan melibatkan tenaga lokal, masyarakat menjadi lebih terbuka dan percaya karena proyek ini dijalankan oleh orang dari daerahnya sendiri. 

Share on :