Jakarta, 12 September 2025 – Selain memiliki target penurunan emisi yang tertuang pada dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia melalui visi Presiden Prabowo Subianto juga menargetkan status ketahanan dan kemandirian energi. Untuk mencapai situasi ini, dekarbonisasi secara menyeluruh pada seluruh sektor yang menghasilkan emisi harus dilakukan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai bahwa penggunaan energi terbarukan seperti surya dan angin secara masif akan berpotensi memproduksi hidrogen hijau yang berperan strategis dalam dekarbonisasi sektor sulit seperti transportasi berat, dan sektor industri. Pada sejumlah studi kelayakan, beberapa kendala pengembangan proyek hidrogen di Indonesia meliputi tantangan keekonomian dan belum stabilnya permintaan (demand) hidrogen hijau).
“Untuk mendorong pengembangan hidrogen hijau domestik, sejumlah langkah perlu diambil, antara lain adanya perjanjian jual beli (agreement offtake) yang bankable, infrastruktur pendukung, dan dukungan kebijakan yang konsisten, stabil serta dapat diprediksi sehingga investor yakin untuk berinvestasi hidrogen di Indonesia,” jelas Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer (CEO) IESR dalam Webinar Publik Road to IETD 2025: “Menilik Perkembangan Hidrogen Hijau Global dan Indonesia” yang diselenggarakan IESR berkolaborasi dengan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta.
Meski sudah memiliki Peta Jalan Pengembangan Hidrogen Nasional, namun Indonesia masih belum memiliki kerangka kebijakan spesifik yang mengatur tentang pengembangan hidrogen. Hal ini disampaikan oleh Muhammad Alhaqurahman Isa, Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Usaha Aneka EBT, Kementerian ESDM.
“Sesuai dengan Peta Jalan (pengembangan hidrogen) kita saat ini sedang dalam tahap 1 yakni penyiapan ekosistem, termasuk kerangka kebijakan pengembangan hidrogen di Indonesia,” kata Haqi.
Pihaknya tengah menyusun rancangan peraturan pemerintah tentang tata kelola hidrogen yang mencakup taksonomi, rantai pasok, harga, subsidi, insentif, kelembagaan, sertifikasi, hingga perizinan.
Sam Bartlett, Director of Standards, Green Hydrogen Organizations (GH2) menyampaikan bahwa pengembangan hidrogen perlu menggunakan cara pandang baru yang lebih spesifik.
“Perlu untuk menargetkan langsung sektor-sektor yang akan diintervensi dengan hidrogen misal pupuk, industri pemurnian, penerbangan, dan industri besi baja. Pada sektor yang dipilih, tentukan lagi pada bagian mana yang akan diintervensi dengan hidrogen,” kata Bartlett.
Program Manajer Dekarbonisasi Industri IESR, Juniko Nur Pratama mengatakan bahwa sektor industri menjadi salah satu sektor potensial yang membutuhkan hidrogen hijau dalam upaya dekarbonisasinya.
“Industri seperti besi baja adalah industri yang membutuhkan intensitas energi tinggi. Penggunaan hidrogen hijau dapat menggantikan batubara dalam proses pemurnian bijih besi,” kata Juniko.
PT PLN Persero telah melakukan serangkaian uji coba dan penggunaan hidrogen untuk transportasi maupun sebagai campuran amonia pada industri pupuk, hal ini disampaikan oleh Ricky Cahya Andrian, VP Business Development PT PLN Persero.
“Kami mengembangkan hidrogen karena kami menyadari tidak semua sektor dapat didekarbonisasi dengan listrik (elektrifikasi). Saat ini secara teknis dan risiko keamanan sudah berhasil, namun kami masih berupaya untuk menurunkan Harga Pokok Pembangkitan (HPP) agar lebih menarik untuk konsumen,” kata Ricky.