Jakarta, 17 September 2024 – Skema pemanfaatan jaringan bersama transmisi atau power wheeling yang masuk dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBET) menuai pro dan kontra. Pemerintah mengusulkan agar skema ini dimasukkan dalam RUU EBET untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Meski demikian, banyak pihak khawatir bahwa skema ini bisa memicu liberalisasi sektor energi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menegaskan bahwa power wheeling sebenarnya bukanlah konsep baru dan tidak serta-merta menciptakan liberalisasi. Ia menjelaskan berkaca dari kondisi swasta saat ini yang telah memiliki kesempatan untuk mengembangkan wilayah usaha, dan lebih dari 50 wilayah usaha swasta sudah tersebar di Indonesia. Dengan demikian, kekhawatiran bahwa power wheeling akan menyebabkan liberalisasi tidak sepenuhnya beralasan, terutama apabila aturan ini diterapkan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan.
“Saya juga tidak melihat adanya kaitan antara skema power wheeling dengan masalah kelebihan kapasitas (over capacity) di sistem listrik Jawa-Bali. Kelebihan kapasitas yang terjadi saat ini adalah hasil dari perencanaan yang kurang tepat, yang dimulai dari proyek 35.000 MW yang tetap dilanjutkan meski pertumbuhan ekonomi dan konsumsi listrik tidak sesuai ekspektasi. Kondisi over capacity ini bersifat sementara dan tidak akan berlangsung lama, mungkin hanya sampai tahun depan. Kalau kita bicara undang-undang ini merupakan sifatnya jangka panjang dan undang-undang ini tidak membahas hal teknis yang detail, seperti bagaimana power wheeling akan dilaksanakan dan hal tersebut disusun melalui Peraturan Pemerintah (PP) dan turunannya, yang paling tidak membutuhkan 2-3 tahun. Sehingga tidak ada alasan untuk menunda pengesahan RUU EBET dengan masuknya skema power wheeling,” papar Fabby dalam Market Review oleh IDX Channel pada Jumat (13/9/2024).
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, Fabby mengusulkan agar skema power wheeling dibatasi hanya untuk penyaluran listrik dari sumber energi terbarukan, sehingga tujuan pengembangan energi bersih dapat tercapai tanpa merugikan pemilik jaringan. Penetapan tarif (wheeling charge) juga harus adil dan tidak membebani pemilik jaringan, baik PLN maupun pemilik wilayah usaha swasta lainnya.
“Untuk memastikan transparansi dan keadilan dalam pelaksanaan power wheeling, sebaiknya terdapat pembentukan badan regulator independen yang bertugas sebagai pengawas dan penentu tarif. Badan ini akan berfungsi sebagai arbiter untuk memastikan bahwa semua pihak mengikuti prinsip keadilan dan tidak mengganggu keandalan jaringan listrik. Dengan prinsip-prinsip ini, skema power wheeling dapat menjadi langkah untuk mendukung target Net-Zero Emissions (NZE) Indonesia pada 2060 atau lebih cepat,” tegas Fabby.