Jakarta, 21 Oktober 2024 – Dengan dilantiknya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pemimpin Indonesia pada 20 Oktober 2024, tanggung jawab besar menanti mereka, terutama dalam upaya mewujudkan Indonesia bebas emisi. Pemerintahan baru ini mewarisi komitmen yang telah dibangun selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam siaran CNN Indonesia bertajuk “Komitmen Indonesia Wujudkan Bumi Lebih Hijau – 10 Tahun Pemerintahan Jokowi” pada Kamis (17/09/2024).
“Selama masa kepemimpinan Presiden Jokowi, Indonesia telah menandatangani Perjanjian Paris 2015 dan berkomitmen untuk membatasi kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat Celcius, serta berusaha menjaga suhu di bawah 1,5 derajat Celcius. Target ambisius ini juga mencakup pencapaian Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 atau lebih awal. Komitmen ini tertuang juga dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) menjadi acuan dalam menetapkan target penurunan emisi untuk berbagai sektor,” ujar Fabby.
Namun, Fabby mengungkapkan bahwa terdapat beberapa tantangan yang harus diatasi untuk mencapai target tersebut. Pertama, penyelarasan perencanaan nasional dengan rencana sektoral. Yang artinya, Indonesia memiliki berbagai rencana pembangunan nasional seperti RPJP dan RPJMN, namun seringkali kebijakan sektor tidak sinkron. Misalnya saja, dalam kasus hilirisasi mineral yang tidak mengintegrasikan target membangun energi terbarukan yang tertuang di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Akibatnya, pertumbuhan PLTU batubara menjadi sangat tinggi dibandingkan dengan pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan.
“Tantangan kedua berkaitan dengan masalah pendanaan, di mana kebutuhan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca memang membutuhkan investasi yang besar. Sayangnya alokasi anggaran publik hanya mencakup sekitar 20-25% dari total yang dibutuhkan. Selain itu, investasi untuk energi terbarukan juga belum mencapai target yang diharapkan, mengakibatkan minimnya dana untuk mendorong aktivitas penurunan emisi di berbagai sektor,” kata Fabby.
Lebih lanjut, Fabby mengatakan, tantangan ketiga berkaitan dengan ego sektoral, di mana kepentingan nasional, pusat, dan daerah seringkali bertentangan. Menurut Fabby, konflik ini menjadi evaluasi dan pekerjaan rumah bagi pemerintahan Prabowo dan Gibran dalam menyelaraskan kepentingan untuk mencapai target net zero emission (NZE) pada tahun 2060.
“Untuk mengatasi tantangan tersebut, beberapa langkah strategis perlu dilakukan. Pertama, melakukan sinkronisasi kebijakan sektoral dengan target penurunan emisi gas rumah kaca. Misalnya, kebijakan energi nasional yang sedang disiapkan harus mencerminkan target emisi yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan rencana pembangunan nasional jangka panjang. Kedua, mempercepat perencanaan di sektor tenaga listrik agar dapat menurunkan emisi gas rumah kaca secara maksimal. Dengan meningkatkan bauran energi terbarukan di sektor ini, terutama melalui peran PLN yang menyuplai 85 persen listrik nasional, target penurunan emisi gas rumah kaca hingga 2030 dan 2035 menjadi lebih realistis,” jelas Fabby.
Tidak hanya itu, Fabby menekankan, pentingnya komitmen pemerintah baru untuk mencerminkan penurunan emisi gas rumah kaca dalam prioritas anggaran. Porsi anggaran untuk investasi publik dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus dinaikkan, sementara subsidi energi fosil perlu dikurangi untuk mendukung transisi menuju energi terbarukan.
“Pemerintahan Prabowo-Gibran diharapkan dapat melanjutkan fondasi yang telah dibangun oleh pemerintahan Jokowi, dengan menekankan pentingnya investasi dan komitmen kuat dalam mencapai NZE. Modal awal yang telah disiapkan selama 10 tahun terakhir menjadi dasar yang kuat untuk akselerasi upaya penurunan emisi gas rumah kaca di berbagai sektor. Selain itu, keberhasilan dalam mewujudkan Indonesia bebas emisi tidak hanya bergantung pada kebijakan nasional, tetapi juga pada partisipasi aktif sektor swasta dan masyarakat. Diperlukan sinergi antara pemerintah, industri, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang lebih hijau dan berkelanjutan,” kata Fabby.