Jakarta, 17 November 2025 – Berbagai sektor di Indonesia terus bergerak menuju masa depan rendah emisi, dan salah satu area yang kini mendapat sorotan penting adalah bangunan hijau. Di tengah meningkatnya krisis iklim, upaya penghematan energi menjadi semakin mendesak, sehingga konsep bangunan hijau hadir sebagai salah satu solusi strategis untuk menekan emisi sektor bangunan. Transformasi ini melingkupi desain arsitektur yang efisien, pemanfaatan energi terbarukan, hingga penggunaan material yang lebih ramah lingkungan.
Deon Arinaldo, Manajer Program Sistem Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa transisi energi dan penggunaan energi terbarukan kini menjadi prasyarat penting bagi masuknya investasi. Tren global menunjukkan bahwa pada 2024, investasi pembangkit energi terbarukan sudah melampaui investasi pada energi fosil, dan pertumbuhannya terus meningkat secara signifikan.
“Di tingkat internasional muncul komitmen bersama untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan dan memperkuat upaya efisiensi energi. Upaya ini sering disebut sebagai pendekatan double down, triple up. Seiring meningkatnya permintaan terhadap produk-produk yang diproduksi dengan energi bersih, sektor industri dituntut untuk bertransformasi agar tetap kompetitif di pasar global,” jelas Deon dalam Webinar Road to Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2026 yang diselenggarakan oleh IESR pada Jumat (14/11).
Maharani Dyah Alfiana, Analis Efisiensi dan Konservasi Energi, IESR memaparkan, transformasi sektor bangunan menjadi salah satu elemen kunci dalam percepatan transisi energi di Indonesia. Melalui empat parameter yakni elektrifikasi, standar kinerja energi minimum, manajemen energi, dan bangunan hijau, perkembangan sektor ini dapat dipantau sekaligus didorong agar lebih efisien, rendah emisi, dan selaras dengan target nasional menuju net-zero.
Alfiana menuturkan bahwa Indonesia memiliki beberapa skema sertifikasi bangunan hijau seperti Bangunan Gedung Hijau, Greenship, dan Excellence in Design for Greater Efficiencies (EDGE). Hingga 2024, total luas bangunan bersertifikasi mencapai 7,4 juta m². Berdasarkan proyeksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), luas ini diperkirakan naik menjadi 16,5 juta m² pada 2030, namun angka ini masih jauh dari target roadmap 110 juta m².
Namun demikian, Alfiana menyoroti realisasi pengurangan emisi di sektor ini belum optimal. Pada tahun 2024 baru mencapai sekitar 0,35 MtCO₂e, dan diproyeksikan hanya sekitar 0,79 MtCO₂e pada 2030. Padahal target peta jalan mencapai sekitar 14 MtCO₂e. Artinya capaian saat ini baru sekitar 6%.
“Kesenjangan ini muncul karena minimnya profesional bersertifikasi, lemahnya koordinasi dan integrasi data antar lembaga sertifikasi, serta belum adanya pusat data nasional untuk memantau perkembangan bangunan hijau. Untuk itu, peningkatan dukungan pemerintah daerah, regulasi lokal yang lebih kuat serta pembangunan database terpadu antar lembaga sertifikasi perlu dilakukan,” tegas Alfiana.
Hendra Iswahyudi, Direktur Konservasi Energi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan dalam rangka penerapan konservasi energi, Indonesia telah memiliki Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) untuk 8 jenis peralatan pemanfaatan energi, dan hingga 2030 ditargetkan bertambah 5–6 peralatan baru. Dalam peta jalan SKEM 2025–2029, beberapa peralatan yang direncanakan masuk standar adalah pompa air, setrika, mesin cuci, kompor induksi, blender, hingga motor listrik.
“Penerapan standar ini juga sudah mulai terlihat pada sektor pendingin ruangan, di mana piranti pengkondisi udara (air conditioner, AC) bintang satu resmi dihentikan peredarannya berdasarkan Kepmen ESDM No. 134 K/EK 07/DJE/2023. Aturan ini efektif sejak 23 Oktober 2024 dan menaikkan standar minimum Cooling Seasonal Performance Factor (CSPF) dari 3,10 menjadi 3,40, sehingga AC yang beredar minimal harus berperingkat bintang dua,” kata Hendra.
Ignesjz Kemalawarta, Chairperson Green Building Council Indonesia (GBCI) menegaskan terdapat tiga aspek utama dalam mendirikan bangunan hijau. Pertama, optimalisasi mikro iklim dan lokasi (microclimate and site optimization), yaitu memastikan bangunan dirancang sesuai kondisi iklim mikro dan meminimalkan dampak lingkungan. Kedua, pendekatan hijau dalam konstruksi (green approach to construction), yang menekankan proses pembangunan yang lebih ramah lingkungan, mulai dari pemilihan material hingga pengelolaan limbah. Ketiga, manajemen energi (energy management) yaitu pengelolaan dan penghematan energi secara optimal selama masa operasional bangunan.
“Ketiga aspek ini jika diterapkan dengan baik memungkinkan sektor bangunan berkontribusi secara signifikan pada pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Tidak hanya itu, melihat arah global, pada tahun 2060 seluruh bangunan baru idealnya sudah wajib memenuhi standar bangunan hijau. Untuk menuju ke sana, Indonesia membutuhkan peta jalan emisi sektor bangunan yang jelas, termasuk target luas bangunan hijau (dalam meter persegi) yang harus dicapai,” kata Ignesiz.
Menurut Ignesjz, dengan adanya roadmap dan kebijakan pendukung, pemerintah dapat menciptakan iklim yang mendorong minat investor dan pengembang untuk membangun bangunan hijau secara lebih masif. Hal ini penting untuk mempercepat dekarbonisasi sektor bangunan sekaligus memastikan arah pembangunan nasional lebih berkelanjutan.
Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) merupakan salah satu laporan utama IESR yang telah terbit sejak 2018, dengan nama awal Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO). Memasuki edisi ke-9, IETO 2026 kembali menilai kesiapan transisi energi Indonesia sekaligus memberikan proyeksi untuk tahun depan. Laporan ini disusun oleh lebih dari 20 analis IESR. Tahun ini tema IETO adalah “Golden Indonesia, Green Indonesia: Examining the Synergy of Indonesia’s Energy Transition with National Economic Growth Ambitions”. IETO 2026 akan diluncurkan pada Kamis, 20 November 2025, pukul 13.00–17.00 WIB. Daftarkan dirimu di s.id/IETO2026.