Project-Based Financing untuk Pendanaan Pembangunan Hijau

Di Indonesia saat ini banyak terjadi fenomena company-based financing, dimana bank dan lembaga keungan cenderung lebih menyetujui kredit yang diajukan oleh perusahaan atau investor berskala besar. Sementara kredit yang diajukan oleh perusahaan-perusahaan skala menengah cenderung lebih sulit disetujui.

Pendanaan Pembangunan Hijau 1Alasannya, karena perusahaan berskala besar memiliki track record yang baik dalam pengajuan kredit. Sedangkan perusahaan skala menengah dianggap belum memilliki track record yang dan profil perusahaan yang meyakinkan. Padahal, banyak perusahaan skala menegah yang mengajukan kredit untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang mendukung pembangunan hijau dan rendah karbon.

Hal ini yang menjadi latar belakang kerjasama Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ), Insitute for Essential Services Reform (IESR) dan Lembaga Penelitian Ekonomi Manajemen Universitas Indonesia (LPEM UI) untuk melakukan kajian mengenai latar belakang fenomena company-based financing, dan melihat peran OJK selaku regulator lembaga keuangan memberikan insentif sehingga lembaga keuangan dan perbankan tertarik memberikan kredit bagi perusahaan-perusahaan skala menengah.

Kajian ini juga dimaksudkan untuk melihat aspek-aspek apa saja, termasuk sisi-sisi regulasi yang harus diperbaiki, dan bagaimana mengubah mind-set para praktisi perbankan sehingga mereka mau berkontribusi dan mendukung pembangunan yang rendah karbon.

Untuk membahas kajian mengenai penerapkan project-based financing di Indonesia, Senin lalu (27/6), OJK bersama, GIZ, IESR dan LPEM UI menyelenggarakan diskusi bersama para praktisi perbankan. Diskusi yang dibuka oleh Direktur OJK, Edi Setijawan, dipandu oleh Sonny Syahril (GIZ) dan menghadirkan Fabby Tumiwa (IESR) dan Aria Farahmita (LPEM FEUI sebagai narasumber.

Indonesia saat ini membutuhkan dukungan pendanaan yang sangat besar untuk pembangunan infrastruktur, termasuk pembangunan di sektor energi. Untuk mencapai target pemerintah seperti yang dituangkan dalam PP No. 79/2014 mengenai Kebijakan Energi Nasional, hingga tahun 2025 dibutuhkan dukungan pendanaan sebesar Rp. 1600 triliun bagi pengembangan energi terbarukan, dan tambahan Rp. 80 triliun untuk mencapai target konservasi dan efisiensi energi.

Situasi ini, menurut Direktur IESR, Fabby Tumiwa, telah mendorong munculnya investor-investor baru yang bergerak untuk pembangunan infrastruktur energi. Para investor, memang belum memiliki business record dan credit record di bank, tapi memiliki kemampuan bisnis dan dapat menyediakan equity yang memadai.

“Untuk sektor enegi, model pembiayaan company-based financing tentu tidak cocok diterapkan untuk mendanai proyek energi terbarukan skala kecil dan menengah, dan proyek efisiensi energi yang berbasis pada energy performance contract. Namun bisa menggunakan model project-based financing yang lebih sesuai dengan kondisi yang terjadi di Indonesia.” jelas Fabby.

Dijelaskannya, di Indonesia penyediaan energi melalui pembangkit yang berbasis energi terbarukan lebih cocok dibangun dalam skala kecil dan menengah (skala 1-10 MW), berbeda dengan situasi di negara-negara maju dimana pembangkit yang dibangun lebih sesuai dengan skala besar.

Pendanaan Pembangunan Hijau 2Namun demikian, model project-based financing tetap memiliki kerugian dan keuntungan, baik bagi pihak bank dan investor.

Bagi investor, kredit dengan skala kecil dan menengah tidak akan mengganggu cash flow karena pendanaan ini sudah direncanakan secara spesifik sesuai dengan proyek yang berkaitan. Sementara bagi pihak bank, menjadi kerugian karena tidak dapat meminta jaminan apabila investor gagal menunaikan kewajibannya.

Untuk mengantisipasi kerugian ini, bank melakukan pengawasan secara ketat dalam setiap tahapan proyek, termasuk keterlibatan bank dalam setiap kontrak yang dilakukan antara investor dengan pihak ketiga dalam pelaksanaan proyek tersebut. Perjanjian untuk memberikan laporan secara berkala dari investor kepada bank dapat menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin dapat diterima oleh bank.

Sebagai pertimbangan dalam persetujuan pinjaman, kata Fabby, pihak bank dalam menggunakan pengukuran kinerja proyek dengan menggunaan konsep project-based financing, yaitu melalui Internal Rate of Return (IRR), Net Present Value (NPV) serta Debt Service Coverage Ratio (DSCR).

“DSCR bisa menjadi indikator yang paling penting menilai kekuatan kredit. Bank dapat membuat proyeksi keuangan terhadap arus kas dan pembayaran hutang sehingga dapat dilihat apakah DSCR dari proyek tersebut dapat memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh bank atau tidak.” jelas Fabby lagi.

Sementara Aria Farahmita dari LPEM UI menjelaskan bahwa pembiayaan untuk pembangunan hijau sebetulnya telah masuk dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan 2015-2019 yang ditetapkan oleh OJK seperti green products, green insurance, green bond dan green index. Aria menegaskan untuk menerapkan road map ini, OJK perlu menyiapkan sejumlah regulasi, insentif serta penghargaan bagi bank-bank yang mendukung pelaksanaan roadmap tersebut.

Mengenai project-based financing secara spesifik, Farah menilai, hingga kini Indonesia belum menyiapkan perangkat kebijakan yang mengatur model tersebut. Regulasi yang ada menurutnya, justru cenderung membatasi ruang perbankan dalam menerapkan pembiayaan dengan konsep project-based financing.

“Regulasi yang berlaku saat ini lebih pada principal-based dan lebih banyak menekankan bagaimana kebijakan internal harus dibuat. Salah satu contohnya adalah kebijakan internal tentang perkreditan, yaitu SK DIR No. 27/162/KEP/DIR 31 Maret 1995 yang menyebutkan bahwa sektor perbankan perlu untuk menghindari kredit yang memerlukan keahlian khusus yang tidak dimiliki bank.” ujar Farah.

Hasil diskusi ini menguak mengenai tiga hal penting yaitu:

  1. Adanya sejumlah bank yang telah melakukan project-based financing, namun pembiayaan dilakukan dalam bentuk sindikasi dengan tipikal investornya adalah perusahaan besar yang memiliki jaminan besar ataupun dijamin oleh pemerintah;
  2. Ada sejumlah bank yang telah memiliki kebijakan internal terkait project-based financing, namun hal ini tidak dilegalkan sebagai produk dari bank, karena tidak adanya regulasi yang mewajibakan hal ini;
  3. Sejumlah bank yang sudah melakukan pembiayaan untuk proyek-proyek rendah karbon tidak melegalkannya sebagai produk bank tersebut, karena OJK hingga saat ini tidak meminta laporan bank dalam kaitannya dengan green banking.

Oleh karena itu, kedepan diharapkan OJK dapat menyiapkan regulasi terkait project-based financing beserta definisi terkait guna memperlancar pelaksanaan pembiayaan pembangunan hijau. OJK juga diharapkan bisa memberikan definisi yang jelas terkait laporan bank mengenai green banking.

 

Share on :