Proyek 35.000 Mw Urung Dipangkas

Pemerintah memutuskan tidak jadi memangkas target proyek 35.000 megawatt (mw) menjadi hanya 19.763 mw pada 2019.

Pemerintah beralasan, berubahnya target akan menyebabkan kemunduran proyek-proyek listrik lainnya. Keputusan itu dituangkan dalam penetapan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo selaku Ketua Umum Dewan Energi Nasional (DEN). Selain memutuskan untuk tidak mengubah target proyek listrik 35.000 MW, DEN juga memutuskan bahwa 23% target energi baru terbarukan dalam bauran energi (energy mix) nasional harus tercapai pada 2025.

Di samping itu, daerah juga didorong untuk mengembangkan potensi energinya masing-masing dalam Rancangan Umum Energi Daerah (RUED). “Dalam RUEN telah ditetapkan target proyek listrik 35.000 MW harus selesai pada 2019 tidak ada pengurangan target,” ujar anggota DEN Tumiran dalam konferensi pers terkait keputusan hasil Sidang DEN Ke-20 di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, kemarin.

Anggota DEN Dwi Hary Soeryadi menambahkan, setelah menuntaskan target program 35.000 MW sesuai jadwal, pemerintah menargetkan total kapasitas pembangkit listrik Indonesia pada 2024 bisa mencapai 114.000 MW. Selanjutnya, pada 2050 total kapasitas pembangkit listrik nasional diproyeksikan mencapai 430.000 MW. “Jika tidak sesuai target pada 2019 sebesar 35.000 MW, maka targettarget selanjutnya akan ikut molor. Sebab itu, diputuskan penyelesaian proyek 35.000 MW harus tercapai sesuai target,” katanya.

Dia mengatakan, sesuai data yang diterima PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), program 35.000 MW berjalan sesuai rencana atau tidak mengalami keterlambatan, baik dalam perkembangan pembangunan pembangkit maupun pembangunan transmisi penunjang sepanjang 46.000 kilometer sirkit dan gardu induk. Anggota DEN Syamsir Abduh menambahkan, pencapaian target 35.000 MW merupakan keharusan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Dia menambahkan, lebih baik kondisi listrik nasional mengalami surplus daripada defisit.

“Kelangsungan program 35.000 MW bukan lagi sekadar target akan tetapi keharusan. Lebih baik kelebihan pasokan daripada kekurangan pasokan,” tegasnya. Namun, sebelumnya hal berbeda diungkapkan Serikat Pekerja PLN. Ketua Umum SP PLN Jumadis dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu mengatakan, adanya klausul take or pay atau kewajiban membeli listrik yang diproduksi pembangkit swasta dalam kontrak jual-beli energi, akan merugikan PLN jika terjadi kelebihan suplai listrik di suatu sistem.

Jumadis menjelaskan, berdasarkan klausul tersebut, PLN harus menerima dan membayar listrik dari pembangkit swasta, meski kondisi di sistem terkait telah terjadi kelebihan pasokan (over supply). Terikat kewajiban tersebut, jika terjadi kelebihan suplai, PLN terpaksa mengorbankan pembangkit milik sendiri yang biaya pembangkitan listriknya lebih murah. Hal itu menurutnya telah terjadi di sistem kelistrikan Sumatera Selatan (Sumsel), di mana PLN sejak 29 November 2016 terpaksa mematikan sebagian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Bukit Asam yang berkapasitas 4×65 MW akibat masuknya PLTU Sumsel 5 yang berkapasitas 2×100 MW.

Padahal, harga listrik yang dihasilkan oleh PLTU Bukit Asam jauh lebih murah, sekitar Rp250-300 per kWh, dibandingkan harga listrik dari PLTU Sumsel 5 yang sekitar Rp780 per kWh. Namun, menurut Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka, pencapaian target program 35.000 MW diperlukan untuk mendongkrak rasio elektrifikasi nasional.

Dia merinci, kapasitas pembangkit sebesar 19.763 MW pada 2019 sebagian besar berpusat di Pulau Jawa. Apabila pada 2019 capaian targetnya hanya sebesar 19.763 MW, maka rasio elektrifikasi yang tercapai hanya 93%. Namun apabila target tercapai 35.000 MW, maka rasio elektrifikasi bisa mencapai 98%. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menambahkan, jika target 35.000 MW dipangkas atau tidak sesuai pada 2019 maka tidak menutup kemungkinan di luar Pulau Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau terpencil lain akan mengalami krisis listrik.

Sementara, Ketua Harian Asosiasi Produsen Listrik Seluruh Indonesia Arthur Simatupang mengkritisi berubah-ubahnya target dalam RUEN dan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik. Hal itu, menunjukkan tidak ada kepastian dari sisi perencanaan bagi para investor. Perubahan target dinilainya akan berpengaruh terhadap penanaman investasi di Indonesia.

“Ternyata bisa berubah-ubah, artinya tidak ada kepastian dari sisi perencanaan bagi para investor yang berminat. Tentu hal ini akan berpengaruh terhadap investasi di Indonesia,” pungkasnya.(rai)

Sumbrer: okezone.com.

Share on :