Briefing paper ini menyoroti paradoks yang dihadapi ASEAN: di satu sisi berambisi menjadi ‘episentrum pertumbuhan’ dunia, namun di sisi lain berada di ‘episentrum perubahan iklim’. Didorong oleh pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi yang terus meningkat, kontribusi emisi global ASEAN turut naik, membawa konsekuensi signifikan bagi populasinya. Kondisi geografis dan demografis Asia Tenggara—dataran rendah, populasi padat, tantangan infrastruktur, serta ketergantungan pada pertanian—menjadikan kawasan ini sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Laporan Bencana Asia Pasifik 2024 bahkan memperingatkan bahwa bencana terkait iklim terus meningkat, telah memengaruhi lebih dari 580 juta orang dalam lima dekade terakhir dengan kerugian finansial yang sangat besar, mencapai rata-rata Kerugian Tahunan (AAL) 86,5 miliar USD, jauh melebihi investasi yang dibutuhkan untuk memenuhi target energi bersih.
Lebih dari sekadar biaya langsung bencana, kelambanan dalam mengatasi perubahan iklim juga menciptakan biaya sistemik, seperti polusi udara yang menyebabkan ribuan kematian setiap tahun, beban pada sistem kesehatan, dan kerawanan pangan. Studi UNEP 2024 memperkirakan polusi udara akan merugikan negara-negara seperti Indonesia, Thailand, dan Kamboja puluhan miliar USD setiap tahun pada 2030. Oleh karena itu, policy brief ini menyerukan transformasi mendesak bagi ASEAN: kawasan ini harus memisahkan pertumbuhan ekonomi dari emisi melalui percepatan transisi energi menuju pembangunan hijau yang berkelanjutan.
Reviewers
Arief Rosadi
Benita Sashia Jayanti