IESR-Publikasi-Cover-small

Kolom Opini Media Indonesia – Dampak Penaikan TDL

Oleh: Fabby Tumiwa

Sejak lepas dari krisis ekonomi 1998, konsumsi listrik tumbuh dengan laju kurang dari 6 persen per tahun. Padahal untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6 persen, konsumsi listrik perlu tumbuh sedikitnya 8 persen. Pertumbuhan konsumsi listrik sengaja ditekan karena penambahan pasokan daya listrik sangat terbatas. Sepanjang 2000-2008, kapasitas terpasang pembangkit PLN bertambah 4800 Megawatt (MW), rata-rata 600 MW per tahun. Penambahan ini lebih rendah dibandingkan dengan penambahan yang semestinya sebesar 2000 MW per tahun. Dampaknya adalah krisis pasokan tenaga listrik yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hingga akhir tahun lalu, defisit daya listrik mencapai 740 MW di 14 sistem kelistrikan.

Stagnasi pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5 persen per tahun juga disumbangkan oleh rendahnya pertumbuhan listrik. Dibandingkan dengan dekade sebelumnya (1991-2000) dimana ekonomi tumbuh diatas 7 persen, permintaan listrik tumbuh 9,5 persen.

Penambahan pasokan tenaga listrik membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Walaupun partisipasi swasta telah sering didengungkan, kenyataan menunjukkan investasi swasta di bidang pembangkit berkembang sangat lambat. Proyek listrik swasta memiliki track record keberhasilan yang rendah, dengan tingkat realisasi dibawah 20 persen. Oleh karenanya, pembangunan infrastruktur kelistrikan sangat mengandalkan PLN. Sayangnya, perusahaan listrik milik negara ini memiliki dana untuk investasi yang terbatas. Keterbatasan kemampuan pendanaan tersebut, salah satunya berpangkal pada tarif dasar listrik (TDL).

Di Indonesia, tarif dasar listrik tidak sama dengan biaya produksi tenaga listrik. Sesuai dengan UU Kelistrikan, TDL ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan biaya produksi. Karena PLN masih menjadi satu-satunya perusahaan penyedia tenaga listrik untuk publik, maka biaya produksi listrik mengacu pada biaya yang diusulkan PLN untuk membangkitan dan menyalurkan tenaga listrik ke 39 juta konsumen. Biaya produksi terdiri dari biaya pembangkitan, penyaluran (transmisi dan distribusi) serta biaya biaya-biaya pelayanan lain. Porsi biaya pembangkitan mencapai 70 persen dari total biaya pokok produksi. Besaran biaya ini berubah-ubah setiap tahun, tergantung pada sejumlah variabel diantaranya volume dan harga bahan bakar. Pada tahun ini, biaya produksi tenaga listrik diasumsikan sebesar 1.100 rupiah per kilowatt-jam.

Biaya produksi tinggi

Apa yang menyebabkan biaya pokok produksi demikian tinggi? Penyebab utamanya adalah bahan bakar minyak (BBM) yang porsinya masih cukup besar dalam bauran energi. Selama hampir satu dekade terakhir, konsumsi BBM setiap tahunnya berkisar 8-10 juta kiloliter, untuk menghasilkan 22-25 persen dari total produksi tenaga listrik PLN. Anggaran untuk BBM menghabiskan sekitar 70 persen total anggaran biaya bahan bakar PLN.

Tingginya konsumsi BBM adalah kombinasi dari sejumlah faktor. Pertama, kegagalan PLN untuk menjalankan rencana pembangunan pembangkit non-BBM. Walaupun dokumen rencana penyediaan tenaga listrik merencanakan pembangunan pembangkit non-BBM, realisasinya perencanaan sangat rendah karena terkendala dana. Apalagi perencanaan PLN seringkali mengalami intervensi dari luar yang membuat target-target yang ditetapkan sebelumnya acapkali gagal terpenuhi. Sebagai contoh, crash program pembangkit listrik batubara tahap pertama yang dicanangkan pada 2006, justru menganulir perencanaan sebelumnya yang sebenarnya lebih terukur dan realistis, yang kalau dijalankan dapat mengurangi konsumsi BBM pada 2010.

Walaupun bertujuan membangun pembangkit non-BBM, crash program tahap pertama justru menjadi beban. Minimnya perencanaan, rendahnya kelayakan teknis ekonomis menyebabkan kesulitan dalam memobilisasi pendanaan, ditambah kendala komitmen pasokan batubara mengakibatkan pembangkit terlambat masuk hingga 2 bahkan 3 tahun dari rencana semula. Pada akhirnya program ini tidak memangkas konsumsi BBM tetapi sebaliknya. Untuk menutup defisit daya listrik, jumlah pembangkit listrik berbahan bakar minyak ditambah. Kegalalan listrik swasta (IPP) untuk membangun sesuai dengan rencana juga menyumbang pada situasi ini.

Kedua, ketidaktersediaan bahan bakar gas untuk pembangkit listrik. Minimnya alokasi gas domestik untuk pembangkit listrik PLN menyebabkan sejumlah pembangkit listrik yang seharusnya membakar gas jadi membakar BBM. Hanya separuh kebutuhan gas untuk pembangkit listrik yang dapat dipasok. Hal inilah yang membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada April tahun ini menilai terjadinya ketidakefektifan dalam penggunaan anggaran pada kinerja PT Indonesia Power (IP) yang menyebabkan kehilangan dana sekitar Rp 27,94 triliun. Dana yang hilang tersebut berasal dari kehilangan kesempatan untuk melakukan penghematan biaya bahan bakar akibat penggunaan BBM pada enam pembangkit milik IP yang dapat dioperasikan dengan gas alam.

Biaya produksi yang tinggi tidak diimbangi dengan tarif yang rasional. Untuk mempertahankan tarif listrik tetap rendah, pemerintah memberikan subsidi listrik yang cukup besar. Pada tahun ini, sesuai APBN-P, subsidi listrik mencapai 55 triliun atau kurang lebih 5 persen nilai APBN. Kabar buruknya, subsidi ini dapat bertambah apabila volume BBM meningkat diatas kuota yang disepakati akibat implementasi Inpres 1/2010, dimana salah satunya adalah program untuk mengatasi krisis pasokan listrik.

Sayangnya, subsidi listrik ibarat pedang bermata dua. Di sisi PLN, subsidi memangkas kemampuan mereka untuk melakukan investasi. Hal ini terjadi karena subsidi listrik diberikan berdasarkan jumlah selisih antara biaya produksi dan penerimaan dari tarif yang ditetapkan, tetapi belum mempertimbangkan biaya investasi. Akibatnya investasi pembangkit, transmisi dan distribusi tumbuh sangat lambat, serta kehandalan infrastruktur yang ada semakin menurun. Pada tahun ini, subsidi telah memperhitungkan margin sebesar 8 persen bagi PLN. Margin ini, dapat membantu menaikkan anggaran perusahaan untuk melakukan investasi yang masih harus kita tunggu realisasinya.

Di sisi konsumen, subsidi listrik yang diberikan kepada seluruh pelanggan malah mendorong perilaku boros yang tampak dari indikator intensitas listrik. Pemborosan listrik terjadi pada hampir seluruh segmen konsumen, terlebih lagi konsumen rumah tangga. Selain itu terjadi pula distorsi ekonomi yang melemahkan daya saing produk industri kita. Karena terlalu lama menerima subsidi listrik, daya saing sektor bisnis dan industri pun bergantung pada subsidi tersebut. Bagi sejumlah industri manufaktur yang padat energi, misalkan tekstil dan baja, investasi pada teknologi baru yang dapat menurunkan konsumsi tenaga listrik sehingga membuat biaya produksi menjadi kompetitif, tidak atau terlambat dilakukan. Akibatnya produk industri tidak mampu bersaing dengan produk dari negara lain, yang harga listriknya sama atau bahkan lebih mahal dibandingkan dengan Indonesia.

Ditengah keterbasan basis data dan informasi, tidak mudah mengukur dampak kenaikan TDL pada sektor ekonomi. Adapun dampak kenaikan TDL berbeda-beda untuk masing-masing golongan pelanggan. Menurut perhitungan BPS kenaikan TDL sebesar 10 persen akan menambah inflasi langsung sebesar 0,22 persen. Adapun inflasi tidak langsung masih harus menunggu perkembangan di sektor riil.

Mengingat listrik adalah salah satu faktor produksi, maka kenaikan biaya listrik pada industri secara langsung akan mengakibatkan kenaikan biaya produksi barang. Untuk industri padat energi seperti tekstil, baja, semen, dan petrokimia, kenaikan tarif 10 persen dapat menaikan biaya produksi 2-5 persen. Untuk industri lain, dampak kenaikannya relatif kecil.

Untuk industri kecil dan menengah yang bergantung pada harga bahan baku, kenaikan TDL akan mengakibatkan kenaikan biaya produksi akibat kenaikan harga bahan baku dan biaya energi yang dikonsumsi untuk produksi. Besaran kenaikan biaya produksi ini sangat bervariasi, tergantung pada jenis barang yang diproduksi. Berbagai kenaikan ini tentunya dapat meningkatkan harga jual barang.

Bagi pelanggan listrik rumah tangga, kenaikan TDL tidak berdampak signifikan pada inflasi, mengingat listrik hanya dipakai untuk kebutuhan konsumsi. Memang kenaikan TDL dapat meningkatkan pengeluaran tetapi mestinya tidak terlalu besar. Untuk golongan rumah tangga berpendapatan 2 juta per bulan, dengan daya tersambung 1300 VA, kenaikan 10 persen akan memberikan tambahan pengeluaran untuk listrik sebesar 1-2 persen dari pendapatan.

Dengan pertimbangan ini, kebijakan pemerintah untuk membebani sektor industri dengan kenaikan yang tinggi kurang tepat. Opsi kenaikan seharusnya juga diberikan kepada pelanggan rumah tangga R1 450 dan 900 yang mencapai 31 juta orang. Tarif listrik untuk pelanggan ini hanya 40-45 persen dari biaya produksi dan menerima hampir separuh subsidi listrik. Sayangnya eksekutif dan DPR justru membebaskan golongan pelanggan ini dari kenaikan TDL dengan demikian rata-rata kenaikan 10 persen justru ditanggung oleh 8 juta pelanggan lainnya, dimana porsi kenaikan terbesar ditanggung oleh golongan industri besar.

Kebijakan ini tentunya perlu dikoreksi. Walaupun demikian, rasionalisasi subsidi listrik justru memerlukan penyesuaian tarif bagi golongan pelanggan yang menyumbang dampak ekonomi terkecil. Dengan demikian konskuensi kebijakan yang tidak diharapkan dapat ditekan dan anggaran subsidi dapat dialokasikan untuk menyediakan bagi rakyat miskin yang sebenarnya.