IESR-Publikasi-Cover-small

Policy Dialogue : Kesiapan Indonesia Menghadapi Hasil Perundingan Perubahan Iklim di Doha

Baner-ICAN-ICCTF-150-x-400

Setelah melalui lebih dari 2 minggu negosiasi, COP 18 di Doha akhirnya ditutup dengan menghasilkan sebuah dokumen yang disebut sebagai Doha Climate Getaway. Proses yang melibatkan para menteri untuk konsultasi agenda-agenda yang tidak dapat disepakati di kalangan juru runding, disebutkan sebagai keputusan yang menguntungkan bagi banyak pihak, walaupun tentu saja, ada hal-hal yang kurang memuaskan, seperti dalam aspek pendanaan perubahan iklim.

Indonesia Climate Action Network (ICAN) mengangkat hasil COP 18 serta melihat bagaimana implikasinya pada Indonesia; poin terpentingnya adalah apakah Indonesia telah siap untuk mengadopsi hasil negosiasi di internasional dan mengimplementasikannya dalam situasi nasional? Bagaimana penyesuaian implementasi dari RAN GRK dengan standar baku yang telah disepakati di tingkat internasional? Beberapa narasumber dalam diskusi ini adalah Bapak Rachmat Witoelar (President’s Special Envoy on Climate Change), Ibu Endah Murniningtyas (Bappenas), Bapak Irfa Ampri (BKF), dan Bapak Agus Sari (Satgas REDD+ Indonesia). Diskusi ini dilangsungkan di Hotel Paragon, pada tanggal 19 Desember 2012 yang lalu.

Panel-1a

Hasil dari Doha sebagaimana disampaikan oleh Bapak Rachmat Witoelar adalah keputusan-keputusan yang terdiri dari:

  • Amandemen Protokol Kyoto termasuk implikasi dari implementasi berbagai metodologi dalam periode komitmen kedua
  • Kelanjutan program kerja untuk menyusun kesepakatan rezim paska 2020
  • Penyelesaian mandat Bali Action Plan, dengan beberapa keputusan yang terkait dengan implementasinya, termasuk mengenai pendanaan, teknologi, dan adaptasi.

Keputusan-keputusan ini memberikan beberapa peluang bagi Indonesia, diantaranya adalah:

  • Pengembangan kegiatan untuk pasar karbon dapat semakin ditingkatkan; demikian juga jenis kegiatan lain yang akan dapat berperan dalam various approaches
  • Pengembangan aksi mitigasi di bawah Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) untuk selanjutnya disampaikan melalui NAMAs Registry
  • Peluang dukungan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan mitigasi dan adaptasi
  • Peluang dalam pengembangan dan alih teknologi dengan disepakatinya CTC (Climate Technology Center) serta jaringannya

Panel-2a

Ibu Endah dari Bappenas kemudian mulai memaparkan kemajuan isu perubahan iklim dari instrumen yang sudah dimiliki oleh Indonesia, yaitu Rencana Aksi Nasional penurunan emisi Gas Rumah Kaca atau RAN GRK. Kesulitan pertama yang dihadapi oleh Bappenas adalah dari RAN GRK yang telah disusun, kemudian harus diturunkan ke daerah. Kebanyakan pemerintah daerah menanyakan mana saja kegiatan-kegiatan yang berkontribusi pada penurunan emisi 26% dan mana saja kegiatan-kegiatan intinya? Kebutuhan untuk identifikasi sumber-sumber emisi diperlukan sebagai bentuk justifikasi bahwa penurunan emisi sebesar 26% itu memang dapat dilakukan dan dapat dicapai. Hal-hal tersebut merupakan salah satu kendala dari penerapan RAN GRK.

Hal lain yang menjadi masalah adalah bagaimana mekanisme monitoringnya, karena sampai dengan saat dimana diskusi dilangsungkan, metodologi untuk melakukan monitoring, evaluasi, dan pelaporannya, belum tersedia. Tentu saja kondisi di negara berkembang akan berbeda dengan negara maju, dimana mereka sudah memiliki alat-alat untuk bisa mengukur emisi di kendaraan dan cerobong. Walau demikian, Bappenas masih terus mengembangkan metodologi untuk melakukan MRV, dengan menggunakan tabel-tabel dengan format sederhana, yang nantinya akan dicek ke lapangan.

foruma

Bapak Irfa Ampri, PhD, Kepala Pusat Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan pada saat tersebut, memaparkan tentang pendanaan perubahan iklim di Indonesia, terutama dalam konteks pembiayaan kegiatan-kegiatan pencapaian 26% penurunan emisi. Bapak Irfa sebelumnya memberikan latar belakang mengenai sistem anggaran yang ada di Indonesia, dimana tidak mudah sebenarnya, untuk melakukan intervensi. Hal ini disebabkan karena tidak ada kebijakan yang secara spesifik berkenaan dengan perubahan iklim, terkait dengan ekonomi hijau. Otomatis, hal ini tidak bisa diterapkan dengan mudah, karena anggarannya sudah ditetapkan dan disetujui oleh DPR.

Beberapa studi sebenarnya sudah dilakukan untuk melakukan estimasi kebutuhan pendanaan kegiatan perubahan iklim di Indonesia. Contohnya: Rencana Pembangunan Menengah di tahun 2010, yang mengungkapkan kebutuhan pendanaan untuk mitigasi adalah 3,7 miliar dolar Amerika untuk tahun 2010-2014 (925 juta dolar Amerika per tahunnya). Dokumen Second National Communication (2009), menyatakan kebutuhan sebesar 8,3 milyar dolar Amerika untuk menurunkan 26%, dan 16,8 milyar dolar Amerika untuk 41% (830 juta – 1,68 milyar dolar Amerika per tahun), serta beberapa studi lainnya. Studi-studi tersebut menyimpulkan bahwa dana publik yang ada di Indonesia sebenarnya tidak cukup untuk membiayai upaya penurunan emisi domestik sebesar 26%. Itu sebabnya, peran serta dan investasi dari swasta dan pasar diperlukan, demikian juga dengan mobilisasi dana-dana internasional. Sumber lainnya yang memungkinkan adalah lewat mekanisme REDD+. Bapak Irfa juga menegaskan, bahwa dengan skenario pendanaan yang ada sekarang, Indonesia sebenarnya hanya bisa menurunkan emisi sebesar 16%; dimana angka ini merupakan angka estimasi awal, dan akan diperluas lagi di studi berikutnya. Itu sebabnya, kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas harusnya kegiatan-kegiatan yang paling efisien, dengan kebutuhan pendanaan yang rendah.

Walau demikian, sebelum bisa menentukan kegiatan prioritas tersebut, konsultasi publik akan dilakukan, serta analisis activity cost-effective. Misalnya aktivitasnya apa saja, dari situ akan dihitung penurunan emisinya, juga kebijakan yang ada, serta ketersediaan dari hutan, misalnya (apabila kegiatannya akan memberikan prioritas pada hutan). Masalah terbesar adalah anggaran yang terbatas, terutama dari subsidi bahan bakar minyak, yang mengambil anggaran negara sebesar 20%. Tentunya, pengurangan subsidi BBM sebesar setengahnya, akan membuat cerita menjadi berbeda. Salah satu kegiatan yang juga akan sangat berguna adalah kegiatan efisiensi energi. Menurut studi cost-effectiveness yang ada, pemberlakukan efisiensi energi akan memberikan cost effectiveness sebesar Rp 300.000/ton CO2-ek atau sekitar 30 dolar Amerika per ton CO2-ek.

Bapak Agus Sari kemudian memberikan gambaran kemajuan dari REDD+ di Indonesia. Dalam pemaparannya, Bapak Agus Sari memberikan komposisi penurunan emisi sebagaimana yang tercantum dalam RAN GRK, dimana hampir 90% dari komposisi tersebut berasal dari kegiatan-kegiatan di kehutanan dan lahan gambut. Dalam pengembangan kelembagaannya, terdapat beberapa fase dari REDD di Indonesia; fase persiapan (tahun 2010), fase transformasi (tahun 2011-2013), fase implementasi (2014). Pada saat itu, adalah Satgas REDD+ yang melakukan, namun setelah 2012 berakhir, pekerjaan akan diambil alih oleh lembaga baru yang disebut dengan REDD+ agency (dengan penyesuaian nama).

Beberapa materi untuk diunduh: