Semarang, 6 Februari 2025 – Industri Kecil dan Menengah (IKM) perlu didorong agar naik kelas untuk memetik manfaat ekonomi yang lebih besar. Untuk itu, sejumlah rentetan upaya perlu terjadi agar IKM menjadi bagian pada rantai pasok manufaktur baik skala provinsi, nasional, maupun internasional.
Untuk bisa meningkatkan kontribusi IKM maka IKM harus tumbuh bisnisnya dan menjadi bagian dari rantai pasok nasional maupun global. Perkembangan IKM ini penting untuk dilakukan selain untuk kepentingan industri tersebut juga untuk meningkatkan kontribusi IKM pada pertumbuhan ekonomi nasional. Saat ini, IKM berkontribusi pada PDB Nasional kira-kira 3,7%. Untuk bisa mencapai pertumbuhan 8% sesuai cita-cita Presiden Prabowo Subianto, kontribusi PDB dari industri paling tidak harus di atas 25%.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam Forum Peningkatan Daya Saing IKM dan UMKM Provinsi Jawa Tengah menjelaskan bahwa salah satu tantangan yang dimiliki industri kecil dan menengah untuk menjadi rantai pasok industri besar salah satunya adalah ketidakmampuan memenuhi standar, seperti batas maksimal emisi suatu produk.
“Pelaku industri perlu peningkatan kapasitas, berinvestasi pada teknologi bersih, mengolah, mengidentifikasi teknologi; serta membangun rantai pasok yang lebih efisien,” kata Fabby.
Fabby juga menambahkan penting untuk membentuk satu institusi yang dapat membantu industri kecil untuk melakukan transformasi bisnisnya. Institusi ini perlu mendapat dukungan, harus melekat dengan instansi pemerintah dan mendapat dukungan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan tentunya pelaku industri yang akan memanfaatkan fasilitas ini.
Esti Wulandari, Kepala Bidang Industri Non Agro Dinas Perindustrian Jawa Tengah, mengatakan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah industri di Jawa Tengah sebanyak 916.996 industri, terdiri dari 912.421 atau 99,5% merupakan industri kecil dan 4.575 atau 0,05% adalah industri skala menengah dan besar.
Sejumlah tantangan untuk transformasi menuju industri hijau diungkapkan Esti yaitu, pertama, belum adanya kesadaran dari pelaku usaha untuk menerapkan industri hijau. Kedua, minimnya pengetahuan tentang pengolahan limbah, tata letak pabrik, dan desain produk termasuk kemasan. Ketiga, kemampuan pegawai maupun pelaku usaha yang masih terbatas karena masih fokus pada produksi dan penjualan secara konvensional. Keempat, modal dan investasi yang terbatas.
“Maka kami sepakat perlu adanya forum industri daerah untuk memfasilitasi pelaku usaha dalam mentransformasikan usahanya,” katanya.
Iwan Indrawan, Disperindag Jateng mengatakan bahwa pihaknya mendorong pelaku usaha meningkatkan ekspor dan melakukan pendampingan bagi industri.
“Kami menyadari bahwa proses untuk menjadi green industry itu tidak mudah dan tidak murah tapi saat ini menjadi kebutuhan dan perhatian khusus,” katanya.
Budi Setiawan, Direktur Industri Kecil Menengah, Kimia, Sandang dan Kerajinan, Kementerian Perindustrian menjelaskan bahwa Kementerian Perindustrian mendorong adanya kemitraan antara IKM dengan industri besar.
“Beberapa hal yang ingin kami tingkatkan secara tematik di tahun 2025 adalah bagaimana IKM menjadi pemasok barang dan bahan baku untuk industri yang ada di kawasan. Kami juga bekerjasama dengan Pusat Industri Hijau dan dinas-dinas di provinsi untuk mempersiapkan IKM untuk mendapat sertifikasi industri hijau,” jelas Budi.
Bambang Riznanto Kepala Perumusan, Penerapan, dan Pemberlakuan Standarisasi Industri (P4SI) menjelaskan pentingnya industri kecil juga memahami dan memenuhi standar industri agar produknya dapat semakin bersaing.
“Kami di Kemenperin bekerja sama dengan BSN merumuskan beberapa standar yang tujuannya untuk memperhatikan keselamatan; keamanan dan kelestarian lingkungan. Jadi hubungannya bukan hanya dengan konsumen (user), tetapi juga dengan keberlanjutan lingkungan,” kata Bambang.
Putra Maswan, Analis Keuangan dan Ekonomi IESR mengatakan bahwa selain produk yang ramah lingkungan, proses produksi juga mesti melibatkan isu lingkungan dan sosial serta mendukung program ekonomi hijau dan penurunan emisi karbon.
“Kami melihat beberapa manfaat ekonomi dari peralihan IKM konvensional menjadi IKM hijau. Pertama, efisiensi sumber daya dan penghematan biaya produksi; kedua, akses pasar (market access). Misalnya, di beberapa negara telah diberlakukan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) di mana produk yang masuk harus sudah bersertifikat hijau. Ketiga, skema pembiayaan hijau. Terakhir, insentif. Jadi ada insentif yang khusus diberikan untuk IKM yang sudah hijau,” jelas Maswan.