Jakarta, 28 November 2025 – Pertemuan para pihak (Conference of Parties – COP) 30 yang dilaksanakan di Belem, Brazil disikapi secara beragam meski cukup banyak yang merasa hasil COP30 mengecewakan. Hal ini tidak mencerminkan urgensi dunia saat ini untuk segera membendung kenaikan pemanasan global dan peran COP yang seharusnya memperkuat komitmen iklim global.
Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam webinar Debrief COP30: Menakar Ambisi Iklim, Pendanaan Iklim, and Transisi Berkeadilan Indonesia mengatakan bahwa beberapa isu penting seperti transisi dari energi fosil tidak masuk dalam dokumen kesepakatan.
“Dokumen Global Mutirao Belem dapat dikatakan tidak cukup kuat untuk mendorong negara-negara dan memperkuat ambisi iklimnya dan bergerak lebih cepat dalam dekade ini,” kata Arief.
Koordinator kebijakan Iklim IESR, Delima Ramadhani menyatakan bahwa tahun ini merupakan tahun yang penting mengingat diadopsi Global Stocktake (GST) pertama. Global Stocktake adalah mekanisme untuk menilai sejauh mana implementasi aksi iklim, besaran ambisi iklim, dan posisi dunia terhadap target 1,5°C.
“Hasil GST menunjukkan bahwa dunia harus mengambil aksi untuk penurunan emisi yang cepat dan konsisten (rapid and sustained emissions reduction) dan dunia harus mengurangi emisi sebesar 43% pada tahun 2030,” kayanya.
Delima menambahkan untuk mengejar target inilah target penurunan emisi yang tertuang pada NDC menjadi penting dan kontekstual. Sayangnya, berdasarkan target terbaru berdasarkan NDC yang telah diserahkan pada UNFCCC, dunia masih mengarah pada kenaikan panas lebih dari 2°C.
Untuk konteks Indonesia, SNDC Indonesia banyak bergantung pada sektor hutan untuk menyerap emisinya. Upaya lain cenderung BAU dan masih akan mengeluarkan emisi. Target penurunan emisi Indonesia ditopang oleh sektor penyerapan karbon oleh hutan. Hal ini bukan hal yang baik secara strategi, sebab jika penyerapan emisi oleh hutan tidak mencapai target, maka target SNDC Indonesia tidak tercapai.
Selain itu, tidak ada komitmen yang jelas untuk phase out bahan bakar fosil, dan masih ada referensi terkait “clean coal” dan co-firing biomassa dalam bauran kebijakan. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, target energi terbarukan Indonesia tidak sejalan dengan kebutuhan global untuk tripling renewable energy.
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, menyoroti inisiatif Tropical Forest Future Facility (TFFF) yang akan memberikan dana pada negara-negara yang berhasil menahan laju deforestasi hutan tropis.
“Indonesia berpeluang mendapatkan pendanaan ini. Sebagai prasyarat, Indonesia harus membuat perencanaan yang terperinci sehingga terdapat dokumen NDC investment and implementation plan yang kredibel dengan estimasi biaya FOLU, energi, dan adaptasi berbasis data,” kata Nadia.
Giovani Pradipta, Policy Advisor Germanwatch, menjelaskan bahwa UNFCCC meluncurkan inisiatif Just Transition Work Programme (JTWP) untuk membantu negara-negara menyiapkan rencana transisi yang adil.
“Transisi berkeadilan merupakan upaya komprehensif multisektor. Beberapa negara mulai mengirimkan pejabat setara menteri urusan sosial ekonomi dalam perundingan COP. Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara mulai memahami bahwa transisi bukan hanya soal lingkungan dan iklim saja namun juga menyangkut soal sosio ekonomi,” katanya.