Jakarta, 24 Maret 2025 – Indonesia telah menetapkan target bauran energi terbarukan, pengurangan emisi gas rumah kaca, serta pencapaian status net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Sebagai upaya untuk mencapai berbagai target tersebut, investasi mutlak diperlukan. Namun, sejak 2019, realisasi investasi energi terbarukan selalu berada di bawah target yang telah ditetapkan.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam Diskusi Percepatan Reformasi Kebijakan untuk Net Zero Emission (NZE) dan Pertumbuhan Ekonomi Delapan Persen yang diselenggarakan oleh Proyek Green Energy Transition Indonesia didukung oleh Kedutaan Besar Inggris di Jakarta mengatakan bahwa iklim investasi yang kurang mendukung menjadi penyebab tidak tercapainya target investasi energi terbarukan dalam beberapa tahun ke belakang yang berujung pada tidak terpenuhinya target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 (target menurut PP KEN No. 79 Tahun 2014).
“Setidaknya ada empat hal dalam kebijakan yang perlu direformasi yaitu kerangka kebijakan, persepsi risiko, kestabilan regulasi, dan akses pendanaan untuk proyek-proyek energi terbarukan,” kata Fabby.
Fabby menambahkan bahwa para pelaku usaha menilai kualitas iklim investasi Indonesia masih rendah khususnya untuk hal yang menyangkut kebijakan dan regulasi. Hal ini termuat dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025.
Farah Heliantina, Asisten Deputi Percepatan Transisi Energi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menyatakan bahwa pemerintah telah menyusun roadmap dan strategi percepatan transisi energi sekaligus mengintegrasikannya dalam upaya mencapai target pertumbuhan delapan persen.
“Industri akan menjadi kunci transformasi ekonomi menuju Indonesia Emas 2045. Saat ini terdapat 14 program dan 11 proyek utama dengan berbagai skema pendanaan: dari APBN, BUMN, hingga swasta. Selain itu, ada 25 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang sedang dikembangkan, termasuk KEK industri solar panel di Batam,” katanya.
Tubagus Nugraha, Direktur Eksekutif Bidang Sinkronisasi Kebijakan Program Prioritas Ekonomi, Dewan Ekonomi Nasional, mengatakan bahwa karena transisi energi adalah konsep yang kompleks, diperlukan perencanaan komprehensif.
“Salah satu isu dalam menjalankan transisi energi, contohnya tingginya ekspor batu bara. Energi baru terbarukan akan berhasil jika market diregulasi termasuk disparitas harga. Saat ini sedang dipikirkan solusinya,” katanya.
Hendra Iswahyudi, Direktur Konservasi Energi, Kementerian ESDM menjelaskan arah prioritas Pemerintah saat ini terkait sektor energi, salah satunya dengan mendorong hilirisasi mineral nikel.
“Terkait upaya pengurangan emisi, selain sektor supply kita juga mendorong adanya pengaturan demand, salah satunya dengan melalui efisiensi dan konservasi energi yang diatur dalam PP 33/2023,” kata Hendra.
Dinamika kebijakan penting untuk dilihat secara serius sebab hal ini akan secara langsung mempengaruhi persepsi investor dan pemilik modal serta mempengaruhi keputusan investasi. Hal ini disampaikan oleh Elvi Nasution, Country Manager ING Bank Indonesia.
“Meski dinamika kebijakan bergerak menuju arah dekarbonisasi, kami melihat masih ada gap besar dalam hal implementasi. Proses yang menyangkut eksekusi proyek dan penegakan aturan kebijakan, perlu lebih diimplementasikan dengan detail dan konsisten,” katanya.
Indonesia mendapat pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) pada tahun 2022 dan telah menyusun dokumen Comprehensive Investment Policy Plan (CIPP) serta diluncurkan pada tahun 2023. Dokumen ini memuat sejumlah kebutuhan reformasi kebijakan untuk mendukung target JETP Indonesia yakni mencapai emisi puncak sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 dan mencapai bauran energi terbarukan sebesar 34% pada 2030.
Seiring dinamika kebijakan energi Indonesia, Sekretariat JETP Indonesia merasa bahwa dokumen CIPP JETP membutuhkan pembaruan. Paul Butarbutar, Kepala Sekretariat JETP Indonesia menyatakan bahwa dalam hal reformasi kebijakan (policy reform), terdapat beberapa tambahan item kebijakan yang membutuhkan pembaruan.
“Ada empat usulan kebijakan baru yang kami masukkan. Jadi terdapat total enam kebijakan yang kami usulkan. Pertama penurunan emisi sejak awal pada PLTU captive. Kedua, elektrifikasi dengan menetapkan proporsi mobil listrik. Ketiga, skema nilai ekonomi karbon yang dapat mendorong dekarbonisasi. Keempat, transisi berkeadilan dapat diadopsi semua sektor. Kelima, reformasi sistem pengadaan PLN yang lebih terukur agar dan dapat mengundang investor,” kata Paul.