Jakarta, 26 Agustus 2025 – Saat ini negara-negara global selatan (global south) membutuhkan triliunan dolar untuk membiayai proyek ketahanan iklim dan transisi berkeadilan. Konvensi Pajak PBB (UN Tax Convention) yang baru adalah kesempatan untuk mencari pendanaan inovatif melalui kerjasama multinasional, dan memastikan kelompok individu kaya membayar pajak lebih tinggi secara adil, serta untuk menyelaraskan arsitektur perpajakan dengan target iklim yang dimiliki oleh suatu negara.
Arief Rosadi, Manajer Diplomasi Iklim dan Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam webinar regional “Financing Climate Action & Green Development in Asia Through Innovative Taxation & Global Tax Reform” menyampaikan bahwa transisi energi mencakup multi sektor termasuk keuangan. Mengingat kebutuhan investasi transisi energi yang besar, IESR mendorong adanya reformasi kebijakan terkait pajak dan keuangan di tingkat global untuk meningkatkan kapasitas fiskal untuk pendanaan iklim dan energi.
“Harapan kami negara-negara Asia mengambil momentum global ini untuk membangun infrastruktur pendanaan dan peluang pendanaan, sehingga negara-negara Asia bukan hanya mendapatkan pendanaan yang hijau namun juga adil dan setara,” kata Arief.
Selomi Garnaik, Climate and Energy Campaigner Greenpeace India, menekankan bahwa negara-negara Asia terdampak dengan krisis iklim paling besar, meskipun kontribusi emisi dari kawasan Asia relatif lebih kecil.
“Namun, pemerintah di kawasan Asia masih mendukung kebijakan yang berpihak pada penggunaan energi fosil. Hal ini mengirimkan sinyal yang lemah (mixed signal) pada pengusaha maupun lembaga keuangan tentang keseriusan pemerintah untuk beralih ke energi terbarukan,” kata Selomi.
Jeannie Manipon, Senior Program Manager for Development Partner APMDD, menjelaskan penting bagi masyarakat sipil dan elemen masyarakat untuk terus mendesak pemerintah dan pembuat kebijakan agar mereformasi pajak dan memberikan alokasi pendanaan bagi aksi iklim.
“Kita telah melihat bahwa kerangka kebijakan (pendanaan) iklim yang ada saat ini tidak mendukung aksi iklim yang progresif, kita memiliki pilihan untuk mendesak adanya reformasi sistem pajak untuk mewujudkan aksi iklim yang lebih ambisius,” kata Jeannie.
Jeannie menambahkan bahwa upaya ini merupakan suatu upaya panjang yang harus mengkombinasikan upaya audiensi dengan pemerintah, aksi masyarakat sipil, dan pengarusutamaan topik ini pada media massa.
Aoi Hariuchi, Senior Advocacy Officer, JANIC mengatakan bahwa dengan menarik pajak lebih tinggi pada kelompok kaya (super rich billionaire), akan menghasilkan dana sebanyak USD200 -250 miliar per tahun, dan dana ini kemudian dapat digunakan untuk mendukung aksi iklim global.
“Namun, pemerintah Jepang melalui Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa saat ini Pemerintah Jepang lebih fokus pada memastikan aspek transparansi, netralitas, dan fairness dalam sistem perpajakan Jepang,” jelasnya.