JAKARTA – Rencana PT PLN (Persero) mengakuisisi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dinilai bakal mengganggu program Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam membangun pembangkit listrik 35.000 Mega Watt (MW).
Fabby Tumiwa, pengamat energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan tidak ada keuntungan yang diperoleh PLN dari akuisisi PGE. Misalnya saja dari sisi biaya produksi listrik.
Menurut Fabby, PLN sempat menyampaikan bahwa dengan akuisisi tersebut biaya produksi listrik akan menjadi lebih rendah. Namun dengan kapasitas PGE yang sampai akhir tahun ini ditargetkan hanya mampu memasok geothermal untuk pembangkit 600 MW, jumlah itu dinilai masih jauh dari kebutuhan PLN.
Sehingga tidak mungkin itu bisa menekan biaya produksi listrik. “Kalau menurunkan biaya panas bumi bagi PLN sih iya, tapi kalau menurunkan harga produksi masih sulit,” kata Fabby kepada Sindonews, Senin (22/8/2016).
Menurut Fabby, akuisisi tersebut justru bisa mematikan PGE. Sebab akan sulit bagi PLN dalam memberikan permodalan agar PGE melakukan ekspansi dan mengembangkan bisnisnya. “Kalau sekarang PGE di bawah Pertamina justru kelihatannya bisa lebih lincah,” ujarnya.
Untuk itu, PLN disarankan fokus pada pembangunan pembangkit listrik. Saat ini saja baru sekitar 13.000 MW pembangkit yang selesai proses tendernya, sedangkan yang lain masih jalan di tempat.
Dengan lambatnya proses tender dan berujung pada keterlambatan konstruksi tentu ujung-ujungnya bakal berdampak pada krisis listrik.
Padahal mestinya jika ditargetkan pada 2019 sudah harus ada tambahan pembangkit 19.000 MW, maka pembangunan pembangkit sudah harus dilakukan saat ini untuk memenuhi kebutuhan di tahun tersebut.
Sayangnya, saat ini banyak tender pembangkit yang nasibnya justru tidak ada kejelasan. Bahkan beberapa tender batal dilaksanakan. Seperti PLTU Jawa 5, PLTU Sumsel 9, PLTU Sumsel 10, PLTMG Pontianak, dan PLTMG Scattered. Bahkan untuk PLTGU Jawa 1, PLN telah melakukan dua kali perpanjangan penawaran.
Untuk PLTGU Jawa 1, di mana pengajuan dokumennya akan ditutup pada 25 Agustus ini, juga minim peminat. “Kita lihat saja nanti hingga akhir tenggatnya berapa konsorsium akan memasukkan penawaran. Kalau jumlah konsorsiumnya sedikit, itu menunjukkan procurement PLN mungkin bermasalah,” kata Fabby.
Untuk itu, Fabby menyarankan Kementerian ESDM, untuk benar-benar mengawasi PLN dalam menjalankan program ini. Jika kondisinya dibiarkan seperti ini, akan berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Kalau ketertinggalan suplai dengan demand terus terjadi, maka pengaruhnya adalah 2018-2019 itu di beberapa tempat krisis listrik akan bertambah parah. Di tahun 2018 saja, diperkirakan sudah ada ancaman defisit pasokan listrik untuk wilayah Jawa-Bali.
PLN tentu harus sadar bahwa potensi defisit pasokan listrik dan elektrifikasi di Indonesia disebabkan oleh dua area bisnis utama yang saat ini menjadi tanggung jawabnya, yakni pembangkitan dan transmisi-distribusi listrik. “PLN jangan sampai lupa bahwa tanggung jawab dan fokus bisnisnya adalah pembangkitan dan transmisi-distribusi,” ujarnya.
Hingga saat ini di sektor pembangkitan dan transmisi-distribusi kinerja PLN masing-masing hanya 1% dan 6%. Jika PLN tidak fokus pada tanggung jawabnya serta menjalankan pola serta kerjanya seperti saat ini maka bukan tidak mungkin pada 2019, kinerja PLN di area pembangunan pembangkit hanya 10.000 MW atau tak mencapai sepertiganya dari target. Sementara di sektor transmisi dan distribusi yang dicapai hanya di bawah 20.000 km atau hanya sekitar 40% saja. (ven)
Sumber: sindonews.com.