Latar Belakang
Sejak penandatanganan Perjanjian Paris pada tahun 2016, Indonesia telah aktif terlibat dalam diplomasi iklim internasional, berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% tanpa syarat, dan hingga 43,2% secara bersyarat dibandingkan dengan tingkat tahun 2010 (Kontribusi Nasional yang Ditingkatkan Indonesia, ENDC). Sektor energi diharapkan memberikan kontribusi sebesar 12,5% dari pengurangan ini, dengan sektor limbah, IPPU, dan sektor pertanian & FOLU masing-masing memberikan kontribusi sebesar 1,4%, 0,2%, dan 17,7%. Dalam pembaruan baru, diharapkan bahwa ENDC kedua akan selaras dengan Strategi Ketahanan Iklim dan Rendah Karbon Jangka Panjang (LTS-LCCR) 2050 yang memiliki visi Indonesia untuk mencapai nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat. Meskipun demikian, telah terungkap bahwa rencana yang ada dan yang akan datang, baik bersyarat atau tanpa syarat, jauh dari apa yang seharusnya dicapai Indonesia berdasarkan batas pemanasan 1,5 ° C dari Perjanjian Paris. Menurut Laporan Transparansi Iklim, jalur yang ditempuh saat ini dapat mengakibatkan peningkatan suhu sebesar 4°C pada tahun 2060.
Seiring dengan dimulainya perencanaan nasional baru yang disebut Indonesia Emas 2045, terjadi perubahan dalam hal pertumbuhan ekonomi serta target pengurangan emisi yang tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Telah dicanangkan bahwa pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi yang kuat—menargetkan pendapatan nasional bruto sebesar USD 30.300 pada tahun 2045—dan mengharapkan sektor manufaktur dan maritim untuk meningkatkan kontribusi PDB masing-masing menjadi 28% dan 15%. Pada saat yang sama, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 93,5% pada tahun 2045 dibandingkan dengan tingkat tahun 2025.
Kementerian Perindustrian sebagai kementerian teknis utama yang mengatur operasi sektor industri, mengatasi tantangan ganda ini dengan memulai pengembangan peta jalan industri emisi nol bersih yang mempertimbangkan target ekonomi dan pengurangan emisi, memperkuat regulasi pelaporan emisi, mengembangkan standar industri hijau, serta menyiapkan kerangka kerja untuk dekarbonisasi yang digerakkan pasar. Namun, upaya ini masih dalam tahap perencanaan dan memerlukan percepatan implementasi.
IESR melihat pemantauan berkelanjutan terhadap kemajuan dekarbonisasi oleh sektor industri sebagai kunci untuk memastikan pencapaiannya menuju nol bersih dan memastikan daya saingnya di pasar global. Inisiatif masa lalu, yang sedang berlangsung, dan masa depan para pelaku industri serta proyek-proyek yang sedang berjalan sering kali diabaikan untuk diperhitungkan dalam tahap perencanaan pengembangan peta jalan nasional. Oleh karena itu, IESR saat ini mengundang para ahli untuk membantu menilai baseline emisi sektor industri seperti biasa setelah target ekonomi baru dalam Indonesia Emas 2045 dan pertumbuhan 8% pada akhir masa jabatan presiden Prabowo pada tahun 2029, serta untuk mengembangkan rencana aksi dekarbonisasi yang berfokus pada hasil berdasarkan teknologi yang telah terbukti untuk membantu proses pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan.
Seluruh dokumen yang dipersyaratkan dapat diunduh melalui tautan ini (http://bit.ly/4kt4uf1) dan proposal diharapkan diterima paling lambat pukul 22.00 Waktu Indonesia Barat (WIB, GMT+0700) pada hari Rabu, 4 Juni 2025, dan ditujukan kepada faricha@iesr.or.id (Industrial Decarbonization Coordinator for Technology and Policy, IESR) dengan cc ke: juniko@iesr.or.id (Industrial Decarbonization Manager IESR) dan dhifan@iesr.or.id (Energy Research Analyst IESR). Mohon cantumkan “RFP Expert Modeler for Indonesia’s Net-Zero Industrial Roadmap Aligned with the 1.5°C Paris Agreement Target” pada subject email. Seluruh proposal harus diajukan oleh organisasi resmi atau perwakilan yang ditunjuk oleh organisasi tersebut.