Latar Belakang
Indonesia telah mendeklarasikan komitmennya untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050, yang diformalkan dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC) yang diajukan kepada Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). E-NDC mencakup target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% tanpa syarat, atau hingga 43,2% dengan dukungan internasional, pada tahun 2030 dari kondisi dasar bisnis seperti biasa. Sektor ketenagalistrikan, yang menyumbang sekitar 50% dari total emisi energi, ditargetkan mencapai netral karbon pada tahun 2060, idealnya pada tahun 2050, sejalan dengan Perjanjian Paris.
Tujuan aspiratif ini didukung oleh berbagai inisiatif, seperti Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP), yang secara resmi diluncurkan Indonesia pada November 2022 bersama mitra internasional. Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP), yang diterbitkan pada November 2023, menetapkan peta jalan strategis untuk dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan Indonesia. Di antara komitmen inti JETP adalah mencapai puncak emisi sektor kelistrikan on-grid pada tahun 2030 dengan tidak lebih dari 250 juta ton CO₂, mencapai emisi nol bersih di sektor kelistrikan pada tahun 2050, dan memastikan bahwa energi terbarukan menyumbang setidaknya 44% dari pembangkit listrik on-grid pada tahun 2030.
Terlepas dari komitmen-komitmen ini, kemajuan dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih belum memadai. Hingga tahun 2025, pangsa energi terbarukan dalam bauran energi nasional masih di bawah 15%, jauh di bawah target 23% yang ditetapkan untuk tahun 2025. Sektor kelistrikan Indonesia masih didominasi oleh batu bara, didukung oleh subsidi bahan bakar fosil yang mengakar dan penetapan harga yang diatur yang mendistorsi sinyal pasar. Selain itu, sejumlah besar pembangkit listrik tenaga batu bara baru masih dalam tahap perencanaan berdasarkan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL) yang ada, terutama yang tercantum dalam Rencana Usaha Ketenagalistrikan (RUPTL) 2025–2034. Lebih lanjut, investasi tahunan dalam energi terbarukan masih jauh di bawah kebutuhan, yang diperkirakan sekitar USD 1,5 miliar per tahun, dibandingkan dengan USD 8–25 miliar yang dibutuhkan setiap tahun untuk mencapai target transisi energi.
Ketidakpastian kebijakan dan regulasi masih berlanjut akibat ketidakpastian implementasi skema pengadaan yang ada, sikap dan perencanaan pemerintah pusat terkait target transisi energi, serta tumpang tindih perizinan kelembagaan nasional dan daerah, di antara faktor-faktor lainnya. Proses pengadaan itu sendiri kurang transparan dan prediktabilitas, terutama bagi Produsen Listrik Swasta (IPP), yang sering menghadapi penundaan, proses tender yang tidak jelas, dan akses informasi yang terbatas. Pengadaan energi terbarukan di Indonesia secara tradisional bergantung pada metode penunjukan langsung atau seleksi langsung, yang biasanya didasarkan pada pengaturan antarpemerintah, proposal yang tidak diminta, atau nominasi pengembang yang terkait dengan lokasi proyek tertentu.
Meskipun skema harga tertinggi telah diperkenalkan—terakhir melalui Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022—struktur penetapan harga sebagian besar masih didasarkan pada patokan biaya pembangkitan regional PLN (Biaya Pokok Produksi/BPP), yang tidak selalu mencerminkan kondisi pasar atau tren biaya teknologi. Lebih lanjut, pengembangan proyek seringkali terhambat oleh isu-isu seperti kendala pembebasan lahan, persyaratan konten lokal yang ketat, dan risiko investasi yang tinggi akibat terbatasnya kemampuan bank dan ketidakpastian regulasi. Hambatan-hambatan ini secara kolektif berkontribusi pada lemahnya alur proyek dan mengurangi kepercayaan investor. Pengadaan cenderung reaktif daripada strategis, sehingga gagal mencapai skala dan efektivitas biaya yang dibutuhkan untuk mencapai target energi terbarukan nasional.
Mengingat isu-isu ini, reformasi kebijakan dan kelembagaan dalam pengadaan energi terbarukan semakin mendesak. CIPP di bawah JETP secara eksplisit menekankan perlunya peningkatan mekanisme pengadaan untuk memastikan proses yang transparan, kompetitif, dan agnostik teknologi yang dapat menarik investasi swasta berskala besar.
Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI), yang didukung oleh Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai aspek analisis mengenai pendekatan inovatif dalam pengadaan energi terbarukan guna mengatasi hambatan utama, mengurangi ketidakpastian biaya, dan meningkatkan kelayakan proyek—sehingga mempercepat penerapan energi terbarukan di Indonesia untuk mencapai target NZE-nya.
Timeline Proposal
Calon penyedia jasa harus menyerahkan paket proposal yang terdiri dari proposal teknis (latar belakang, tugas yang akan dilaksanakan, metodologi, jadwal), proposal biaya (total tarif tenaga kerja yang diusulkan dan biaya lainnya), serta resume & portfolio yang relevan. Semua penawar juga diharuskan untuk menyerahkan dokumen penawaran administratif, yang dapat diunduh melalui tautan ini s.id/documentsrfpcommsiesr.
Proposal akan diterima paling lambat pukul 17:00 Waktu Indonesia Barat (WIB, GMT+07) pada hari Minggu, 3 Agustus 2025. Setiap pengajuan yang diterima setelah tanggal dan waktu tersebut akan dianggap tidak dapat diterima. Mohon sampaikan pengajuan kepada Manajer Program Green Energy Transition Indonesia (GETI) di erina@iesr.or.id, dan CC ke warih@iesr.or.id & alifiadarmayanti@iesr.or.id, Jika terdapat pertanyaan lebih lanjut mengenai RFP ini dapat mengajukan pertanyaan di warih@iesr.or.id. Tolong cantumkan “RFP Response – Research Consultant for RE Procurement Study” pada subjek Email.