Bandung, 26 Maret 2021-Terpilih menjadi Ketua Umum Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) masa jabatan 2020-2025, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil secara gamblang dalam pelantikannya mengatakan bahwa ADPMET akan berfokus pada pengembangan energi terbarukan atau biofuel berbasis sampah, kotoran hewan, dan tumbuhan.
Keseriusan ADPMET terhadap isu pengembangan energi terbarukan dan transisi energi tampak dari inisiatif Ridwan Kamil mengundang para pihak yang konsisten menyuarakan tentang kedua isu tersebut untuk berdiskusi mengenai RUU EBT di kantor Gubernur Jawa Barat (26/3). Institute for Essential Services Reform (IESR) yang termasuk dalam undangan tersebut, memberikan pandangan dan paparan terkait energi terbarukan dan RUU EBT.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menjabarkan bahwa, meski gerakan transisi energi sudah mengglobal secara signifikan dan banyak negara di dunia seperti Uni Eropa, India, RRT, Chile mengembangkan energi terbarukan secara massif, Indonesia masih mencatat pencapaian yang sangat rendah dalam hal target bauran energi terbarukan. Dari 23 persen di tahun 2025, Indonesia baru di angka 11,5 persen pada akhir 2020 lalu.
“Di tahun 2020 saja, hanya terdapat penambahan sebesar 187,5 MW kapasitas pembangkit energi terbarukan terpasang. Ini berarti hanya tumbuh sekitar 1,8 persen setiap tahunnya. Sangat lambat,” jelasnya.
Sementara, berdasarkan hasil kajian terbaru IESR tentang potensi teknis PLTS berjudul “Beyond 207 Gigawatts : Unleashing Indonesia’s Solar Potential”, Indonesia mempunyai potensi energi surya yang jauh melebihi angka resmi yang dirilis pemerintah Indonesia.
“Indonesia mempunyai potensi PLTS (fotovoltaik) mencapai 3.000 – 20.000 GWp. Potensi ini lebih tinggi 16 hingga 95 kali dibandingkan data resmi perkiraan potensi yang dirilis oleh Kementerian ESDM, yaitu 207 GWp (ESDM, 2016). Bila potensi teknis tersebut dimanfaatkan, maka dapat menghasilkan energi listrik sebesar 27.000 TWh per tahun, hampir 100 kali kebutuhan listrik saat ini,” ungkapnya.
Dalam penjelasannya, Fabby juga memaparkan potensi teknis yang provinsi Jawa Barat miliki berdasarkan hasil perhitungan IESR dengan menggunakan data geospasial yang mengidentifikasi lahan yang cocok untuk PLTS. Hasil pemetaan menunjukkan dengan luas maksimal 16.746 km2, Jawa Barat mempunyai potensi teknis tenaga surya maksimal sebesar 687 GWp.
Potensi energi terbarukan yang demikian besar seharusnya menjadi bintang dalam RUU Energi terbarukan. Hal ini juga tertulis dengan jelas sebagai dasar pertimbangan penyusunan RUU EBT dimana transisi energi perlu di akselerasi menuju sistem energi nasional yang berkelanjutan. Namun, RUU EBT yang masih menjadi perbincangan di DPR ini, memasukkan unsur energi baru sehingga menjadikan RUU ini tidak fokus untuk mendukung energi terbarukan saja. Energi baru sendiri mempunyai definisi sebagai energi yang dihasilkan oleh teknologi baru dengan sumber energi tidak terbarukan maupun terbarukan (PP 79/2014) seperti nuklir, pemrosesan energi fosil seperti gasifikasi batubara dan juga batubara tercairkan. Hal ini berarti UU EBT masih sarat dengan energi yang tidak terbarukan dan bertentangan dengan prinsip sistem energi berkelanjutan itu sendiri.
IESR memandang Indonesia butuh undang-undang yang fokus mendukung energi terbarukan. Indonesia dapat merujuk pada negara India atau Cina, yang sudah mempunyai UU Energi Terbarukan sehingga pengembangan energi terbarukan mereka sangat pesat.
“Keberadaan RUU Energi Terbarukan akan menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengembangkan energi terbarukan sehingga memberikan sinyal positif kepada stakeholder, khususnya investor. Saat ini, pengaturan mengenai energi terbarukan ada di tingkat aturan yang lebih lemah, seperti Peraturan Presiden, Peraturan Menteri sehingga rentan terhadap perubahan dan preferensi menteri sektoral,” imbuh Fabby.
Lebih lanjut dalam penjelasannya, Fabby mendorong agar RUU EBT secara khusus menyatakan kebijakan yang mendukung energi terbarukan. Ketegasan dalam kebijakan ini akan berguna dalam menciptakan pasar / permintaan energi terbarukan, penetapan harga energi terbarukan yang layak, pemberian insentif/dukungan bagi pengusahaan energi terbarukan, penyediaan dana pengembangan energi terbarukan, pembentukan tata kelola energi terbarukan dan pengaturan kelembagaan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan energi terbarukan.
Merespon penjelasan IESR, Ridwan Kamil mengungkapkan rasa terima kasihnya dan segera menunjuk Dinas ESDM Jawa Barat untuk menggali potensi teknis energi terbarukan di Jawa Barat untuk pengembangan yang lebih baik.