Rugi Kurs Rontokkan Laba Bersih PLN

BY NURSEFFI DWI WAHYUNI & RAHMA OKTORIA

JAKARTA (IFT)- PT PLN (Persero), badan usaha milik negara di sektor kelistrikan, mencatat penurunan laba bersih pada semester I 2012 sebesar 99,7% menjadi Rp 31 miliar, dari realisasi periode yang sama tahun lalu Rp 10,3 triliun. Bambang Dwiyanto, Manajer Senior Komunikasi Korporat PLN, menuturkan penurunan drastis ini terutama akibat adanya rugi selisih kurs dan kenaikan beban keuangan.

Rugi kurs PLN pada paruh pertama 2012 sebesar Rp 6,74 triliun, berbanding dengan keuntungan Rp 257,4 miliar pada semester I 2011. Beban keuangan juga meningkat 40,5% (year on year) menjadi Rp 11,48 triliun, dari sebelumnya Rp 8,15 triliun.

“Kerugian karena selisih kurs mata uang asing yang umumnya berasal dari translasi asset dan kewajiban moneter perusahaan dalam mata uang asing,” ujar Bambang.

Meskipun laba bersih turun, sebenarnya pendapatan usaha perseroan pada semester 1 2012 tercatat meningkat 11% menjadi Rp. 111,3 triliun, dari pendapatan usaha semester 1 2011 sebesar Rp. 98,5 triliun. Peningkatan pendapatan usaha ini, terutama berasal dari kenaikan penjualan tenaga listrik yang ditopang penambahan jumlah pelanggan dan penambahan volume penjualan.

PLN mencatat peningkatan penjualan listrik sebesar 10,24% pada semester I 2012 menjadi 84,74 terawatt hour (TWh), dari 76,87 TWh pada periode yang sama tahun lalu. Hal itu dipicu peningkatan konsumsi listrik, terutama di sektor industri dan rumah tangga.

Pertumbuhan konsumsi listrik pelanggan rumah tangga terbesar yakni pelanggan listrik berdaya 1.300 volt ampere (VA), yakni tumbuh menjadi 28,2% dari periode yang sama tahun lalu 24,2%. Penambahan konsumsi listrik pelanggan rumah tangga ini dipicu adanya sambung daya gratis dari pelanggan 900 VA ke 1.300 VA.

PLN telah menambah 2,18 juta pelanggan baru hingga semester I 2012, atau sekitar 87,2% dari target penambahan pelanggan baru tahun ini 2,5 juta.

Sementara beban usaha sepanjang semester 1 2012 tercatat sebesar Rp 94,9 tiliun, meningkat 8% dibandingkan semester 1 2011 yang mencatatkan angka Rp. 86,7 triliun. Meningkatnya beban usaha ini karena peningkatan konsumsi bahan bakar dan pelumas dan pembelian tenaga listrik untuk memenuhi peningkatan permintaan listrik dari masyarakat. Meningkatnya beban usaha juga karena adanya peningkatan penyusutan akibat meningkatnya jumlah aset perseroan.

Dengan margin subsidi dari pemerintah sebesar 7% pada tahun ini, PLN membukukan laba usaha perseroan sebesar Rp 16,4 triliun pada semester 1 tahun 2012 atau naik 28% dibanding periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 11,7 triliun.

Dari laporan posisi keuangan, tercatat jumlah aset tidak lancar mengalami kenaikan dari Rp 409,5 triliun pada akhir 2011 menjadi Rp 443,8 triliun pada semester I 2012. Hal ini terutama karena pada semester 1 tahun 2012 mulai beroperasi beberapa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang merupakan bagian dari proyek percepatan 10 ribu megawatt tahap 1 seperti PLTU Lontar Unit 2 dan 3 di Teluk Naga Tangerang serta PLTU Paiton.

Sementara aset lancar naik dari Rp 58,2 triliun pada 31 Desember 2011 menjadi Rp 67,1 triliun pada 30 Juni 2012. Sehingga total jumlah aset perseroan pada semester I 2012 sebesar Rp 510,9 triliun atau naik 8% dari Rp 467,7 triliun pada 31 Desember 2011.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menyatakan rugi kurs disebabkan adanya sejumlah transaksi yang dilakukan perseroan menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat, sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Ameka Serikat melemah. Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi 3,89% selama paruh pertama 2012.

“Karena utangnya dalam dolar Amerika Serikat, jadi bayar bunga dan cicilan pokoknya pakai dolar Amerika Serikat. Selain itu, pembelian bahan bakar gunakan mata uang dolar Amerika Serikat,” jelas dia.

Dengan margin yang diberikan pemerintah sebesar 7% dan pendapatan Rp 111 triliun, seharusnya PLN dapat membukukan laba sekitar Rp 7 triliun. “Kemungkinan besar disebabkan dana subsidi blm dibayar semua,” jelas dia.

Komaidi Notonegoro, Deputi Direktur ReforMiner Institute, menyatakan keterlambatan pengoperasian sejumlah PLTU dalam proyek 10 ribu megawatt tahap I juga telah mendorong peningkatan beban usaha. Biaya sewa pembangkit dan pembelian listrik swasta oleh PLN meningkat untuk memenuhi pertumbuhan konsumsi listrik di masyarakat yang tidak disertai dengan penambahan kapasitas.

“Pengoperasian proyek 10 ribu megawatt tahap I sudah dihitung masuk dalam komponen penurun biaya pokok produksi, tapi ternyata rencananya gagal total sehingga akhirnya biaya produksi listrik meningkat dibandingkan asumsi,” papar dia. (*)

Share on :