TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Dahlan Iskan, selaku mantan Direktur Utama PLN mengungkapkan terlambatnya proyek pembangkit listrik 10.000 Megawatt (MW) tahap pertama juga menjadi akar terjadinya inefisiensi sebesar Rp37,6 triliun di tubuh PLN pada masa kepemimpinannya seperti ditemukan BPK.
Menteri BUMN ini menegaskan bahwa inefisiensi di tubuh perusahaan plat merah berlambang petir itu tidak hanya karena masalah pasokan gas. Melainkan juga salah satu akar penyebabnya molornya proyek percepatan pembangkit listrik 10.000 MW.
“Saya setuju sekali bahwa semuanya ini ada kaitannya juga dengan keterlambatan proyek 10.000 MW. Seandainya proyek 10.000 MW itu sesuai dengan scedule (rencana), saya kira biar pun gasnya agak berkurang mungkin ceritanya akan berbeda,” ungkap Dahlan dalam Rapat di Panja Hulu Listrik Komisi VII DPR, Jakarta, Selasa (13/11/2012).
Dia juga mengajak untuk persoalan ini dibahas secara mendalam dan dilakukan evaluasi mengenai proyek 10.000 MW.
Bahkan, Dahlan mendorong persoalan terlambatnya proyek percepatan pembangkit listrik 10.000 MW di forum bersama di DPR.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melihat, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) terlambat membangun proyek pembangkit listrik 10.000 MW. Kondisi ini yang membuat BPK memberikan penilaian inefisiensi dalam tubuh PLN. Inefisiensi ini membuat PLN berpotensi merugikan negara sebesar Rp 37 triliun.
“PLN tidak merencanakan, membangun PLTU percepatan 10.000 MW sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan,” tulis BPK dalam laporan hasil auditnya.
Sementara itu, menurut Pengamat kelistrikan dan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform IESR Fabby Tumiwa proyek pembangkit listrik 10.000 Megawatt (MW) sudah dari awalnya bermasalah. Dan inisiatif program ini sendiri ada di pemerintah. Bukan PLN, apalagi Dahlan Iskan sebagai Direktur Utama PLN saat 2009-2010.
“Menurut saya memang dari awal proyek 10.000 MW itu tidak visible. Terus kalau dalam implementasinya terlambat, itu dikarenakan proyek itu tidak direncanakan dengan baik. Tetapi kan inisiatifnya kan, dari pemerintah. April 2006 itu, Pak JK (wakil presiden saat itu) merekomendasikan, datang ke PLN, baru dibuat tim percepatan 10.000 MW,” ungkap Pengamat kelistrikan ini saat diwawancara Tribunnews, Jakarta, Selasa (13/11/2012).
Karena itu, menurut dia, program 10.000 MW sudah susah untuk berjalan tepat waktu. Karena ketika program itu dicetuskan sudah tidak ada studi kelayakan, tidak ada studi mengenai lokasi-lokasinya yang tepat. Rencana pembangunan transmisinya pun belum sinkron.
“Apalagi urusan pendanaan. Untuk dua kontrak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton dan Suralaya saja itu dua proyeknya bermasalah. Baru renegosiasi berkali-kali,” jelasnya.
Lanjutnya, mundurnya proyek 10.000 MW itu bukan karena salah tender. Tetapi lebih pada proyek itu sendiri kacau sejak awalnya dan memang dari sisi pemerintahnya juga tidak bisa memproses dengan cepat.
Karenanya, saran dia terkait proyek 10.000 MW pemerintah dan DPR harus melakukan evaluasi. Bahkan melakukan audit secara komprehensif tentang program 10.000 MW.
“Ini untuk melihat sebenarnya efektif tidak program-program seperti ini. Apa dampaknya kepada ketenagalistrikan nasional? menurut pengamat kelistrikan ini.