Jakarta, 11 November 2025 – Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah genap berjalan satu tahun pada 20 Oktober 2025. Di tahun pertama kepemimpinannya, Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat terhadap transisi energi. Komitmen ini disampaikan dalam berbagai forum nasional dan internasional seperti forum G20 Brasil 2024, pernyataan bersama dengan Presiden Brasil, serta pidato penting pada Sidang Umum PBB yang menegaskan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi dan mempercepat transisi menuju energi terbarukan. Hal ini diungkapkan Chief Executive Officer (CEO) Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam Media Briefing Energy Transition Policy Development (ETP) Forum yang bertajuk “Refleksi Transisi Energi dan Ambisi Iklim di Tahun Pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran” pada Senin (10/11).
“Pada semester pertama 2025, total bauran energi terbarukan Indonesia telah mencapai 16%, dengan tambahan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan (ET) sebesar 876,5 MW. Meskipun masih jauh dari target yang diinginkan perkembangan ini menunjukkan langkah positif dalam mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 402,4 triliun untuk meningkatkan ketahanan energi dimana Rp37,5 triliun dialokasikan untuk mengakselerasi pengembangan energi terbarukan,” jelas Fabby.
Namun, beberapa tantangan masih ada, lanjut Fabby, salah satunya adalah target bauran ET yang belum cukup ambisius dan tidak sepenuhnya selaras dengan komitmen yang telah disampaikan oleh Presiden Prabowo, serta belum selaras dengan kebijakan yang sudah. Misalnya saja target bauran 36-40% ET pada tahun 2040 dalam KEN dianggap tidak cukup ambisius, mengingat Presiden Prabowo telah berkomitmen untuk mencapai 100% energi terbarukan pada tahun tersebut dan di sisi lain merujuk pada RPJPN target bauran ET sebesar 70% pada tahun 2045.
“Di tahun kedua pemerintahan Prabowo – Gibran, setidaknya ada tiga tantangan transisi energi yang dihadapi. Pertama, Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan antar kementerian dan lembaga terkait transisi energi dapat terkoordinasi dengan baik untuk mencegah fragmentasi kebijakan dan mempercepat implementasi di lapangan. Kedua, penguatan payung hukum, dimana perlunya peraturan yang lebih kuat dalam mendukung pengembangan energi terbarukan, salah satunya dengan mengesahkan RUU EBET (Energi Baru dan Terbarukan). Komitmen politik yang kuat perlu didukung oleh regulasi yang jelas untuk meningkatkan kepercayaan investor. Ketiga, pemerintah perlu mengintegrasikan strategi pembangunan ekonomi dengan akselerasi transisi energi, seperti fokus pada pengembangan sektor energi hijau, pembangunan infrastruktur terkait, serta kesiapan sumber daya manusia yang mumpuni,” kata Fabby.
Dengan berbagai tantangan tersebut, Energy Transition Policy Development Forum (ETP) yang terdiri dari Climateworks Centre, Centre for Policy Development (CPD), Institute for Essential Services Reform (IESR), International Institute for Sustainable Development (IISD), Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), dan Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) memberikan sembilan rekomendasi untuk Pemerintahan Prabowo – Gibran. Pertama, reformasi subsidi energi menuju skema subsidi langsung berbasis penerima manfaat melalui Data Tunggal Subsidi Energi Nasional (DTSEN) untuk meningkatkan ketepatan sasaran dan efisiensi fiskal. Kedua, memperluas akses energi bersih di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) melalui investasi hasil penghematan subsidi untuk pembangunan jaringan mikro, mini, dan off-grid berbasis komunitas dan koperasi.
Ketiga, memisahkan dengan tegas peran regulator dan operator bisnis energi guna meningkatkan transparansi, efisiensi, serta kepercayaan investor terhadap pasar energi nasional. Keempat, pembentukan Satuan Tugas Transisi Energi di bawah Presiden untuk memperkuat koordinasi lintas lembaga, mensinergikan kebijakan, dan mempercepat pengambilan keputusan strategis.
Kelima, perluasan implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) ke sektor industri dan transportasi serta harmonisasi dengan RUU EBET untuk memperkuat kepastian hukum dekarbonisasi. Keenam, penegasan komitmen pada pengembangan energi terbarukan dalam KEN, RUKN, dan RUPTL agar selaras dengan visi 100% energi terbarukan pada 2040 dan net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.
Ketujuh, meningkatkan investasi riset dan teknologi bersih seperti baterai kendaraan listrik, hidrogen hijau, dan amonia sebagai langkah percepatan transformasi energi dan kemandirian industri nasional. Kedelapan, penerapan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam hilirisasi mineral kritis untuk memastikan manfaat ekonomi berjalan seiring dengan perlindungan lingkungan. Kesembilan, integrasi aspek sosial, GEDSI, dan kerangka transisi yang adil (Just Transition Framework) guna menjamin perlindungan pekerja, kelompok rentan, dan keberlanjutan sosial dalam proses transisi energi nasional.