Jakarta, 24 Oktober 2023 – Pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dinilai krusial dalam pemenuhan target transisi energi. Untuk itu, pemerintah merilis aturan pembiayaan untuk mempercepat pensiun dini PLTU batubara dan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan. Hal tersebut tertuang di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 tentang Pemberian Dukungan Fiskal Melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan. Aturan mulai berlaku pada tanggal diundangkan 13 Oktober 2023. Berdasarkan aturan tersebut, sumber pendanaan platform transisi energi dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengapresiasi adanya peraturan tersebut. Namun demikian, terbitnya peraturan tersebut bukanlah suatu momen mengejutkan karena ketika tahun lalu Energy Transition Mechanism (ETM) dibuat, Pemerintah Indonesia telah menunjuk PT SMI sebagai ETM Country Platform Manager dan di dalam kerangka ETM tersebut disebutkan pula sumber pendanaan pensiun dini PLTU batubara bersumber dari APBN.
“Saya kira PMK tersebut mengukuhkan secara hukum. Secara legal, hal tersebut dimungkinkan sehingga harus dianggarkan di APBN. Mengacu PMK tersebut juga, ada klausul yang menyatakan sesuai dengan kemampuan APBN. Hal-hal mengenai prioritas anggaran dan sumber pendanaan serta lainnya,” ujar Fabby Tumiwa dalam acara “Energy Corner” di CNBC Indonesia pada Selasa (24/10/2023).
Lebih lanjut, Fabby Tumiwa memaparkan, pensiun dini PLTU batubara menjadi langkah krusial karena adanya ancaman perubahan iklim di mana Indonesia sebagai penghasil emisi terbesar ke-7 di dunia dengan mengeluarkan 1,24 Gt CO2e pada 2022. Untuk itu, Indonesia perlu ikut serta untuk menurunkan emisi. Salah satu sumber emisi terbesar di Indonesia yakni sektor energi, dengan dominasi pengoperasian PLTU batubara. Fabby berharap dengan melakukan suntik mati PLTU batubara membuat Indonesia dapat berkontribusi dalam komitmen menurunkan emisi.
“Pendanaan dari sumber APBN diperlukan dalam rangka membuat transaksi dari pengakhiran operasi PLTU tersebut layak secara finansial. Kita tidak ingin banyak utang, dengan APBN dimungkinkan hutangnya kecil dan transaksinya menjadi lebih visible. Mengingat sumber pendanaan untuk satu PLTU yang dipensiunkan tidak hanya dari APBN, ada juga beberapa sumber pendanaan lainnya. Tergantung nanti dari jenis transaksinya. Diharapkan masuknya dana APBN, biaya pensiun dini PLTU batubara menjadi lebih rendah,” kata Fabby Tumiwa.
Menurut Fabby Tumiwa, pengakhiran operasi PLTU batubara merupakan satu proses yang harus direncanakan, tidak lakukan semuanya dalam satu waktu. Dasar untuk melakukan pengakhiran dini PLTU batubara sudah ditetapkan juga dalam Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022. Fabby menegaskan, tidak semua PLTU batubara akan dipensiunkan dini karena beberapa PLTU yang akan memasuki masa berakhir kontraknya atau usia ekonomisnya sudah habis.
“Dalam memilih PLTU batubara mana yang akan dipensiunkan dini, beberapa hal bisa menjadi pertimbangan di antaranya penghasil emisinya tinggi dan tingkat efisiensinya rendah, serta usianya di atas 15 tahun. Sebelum 15 tahun itu biasanya pengembalian investasi dan negosiasinya akan lama. Harus diingatkan juga agar satu PLTU layak dipensiunkan perlu sumber pendanaan campuran (blended finance, red) yang artinya bukan hanya dari APBN, tetapi sumber pendanaan lainnya juga serta pendanaannya distrukturkan sehingga membuat sebuah PLTU menjadi layak secara finansial dan teknis untuk bisa dihentikan operasinya lebih awal,” tegas Fabby.
Selain APBN, kata Fabby, komitmen pendanaan dari negara maju seperti G7 melalui kerangka Kerjasama Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership, JETP) masih ada tetapi bagaimana harus bisa direalisasikan. Salah satu pembahasan di JETP yakni mengenai perbedaan nilai pasar (market value) dengan nilai buku (book value) untuk aset PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), hal ini menjadi kendala dan menyangkut banyak hal. Di sisi lain, negara G7 juga memfokuskan terhadap pendanaan energi terbarukan. Fabby menilai, dua hal tersebut dapat dikombinasikan serta membutuhkan perubahan regulasi. Misalnya saja pensiun dini PLTU, kalau usia ekonomisnya dari 30 tahun dipangkas menjadi 20 tahun, maka 10 tahunnya bisa dikonversi menjadi pembangkit energi terbarukan. Sayangnya, belum ada aturan tersebut di Indonesia. Apabila pemerintah nantinya mengatur hal tersebut, Indonesia bisa memperoleh manfaat biaya dari pensiun dini lebih rendah dan ada peningkatan kapasitas pembangkit energi terbarukan serta investasi mengikuti tersebut.