Jakarta, 5 Agustus 2021, Pasar kendaraan listrik di Indonesia masih belum tergarap dengan baik, meskipun dari segi industri terdapat kemajuan yang baik. Perkembangan industri kendaraan listrik di Indonesia secara khusus diatur dalam Perpres 55/2019 yang memberi landasan hukum untuk pengembangan kendaraan listrik. Disahkannya aturan ini merupakan hal yang baik untuk memberikan kepastian hukum sekaligus menunjukkan komitmen pemerintah dalam mendukung pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. Dua tahun sejak disahkannya Perpres 55/2019, terdapat perkembangan positif dari sisi industri yang semakin terintegrasi mulai dari industri baterai dengan dibentuknya Indonesia Battery Corporation (IBC), dan beberapa manufaktur mobil dan baterai yang menyatakan ketertarikannya untuk berinvestasi di Indonesia.
Kementerian Perindustrian menargetkan pada tahun 2030 penetrasi kendaraan listrik akan mencapai 600 ribu kendaraan roda empat dan 2,45 juta kendaraan roda dua. Untuk mencapai target penetrasi ini perlu membangun pasar dengan menumbuhkan minat untuk mengadopsi kendaraan listrik di masyarakat. Minat masyarakat untuk memiliki kendaraan listrik banyak dipengaruhi dengan harga dari kendaraan listrik itu sendiri. Perbedaan harga antara kendaraan listrik dengan mobil Internal Combustion Engine (ICE) saat ini cukup signifikan yang membuat minat masyarakat untuk mengadopsi kendaraan listrik.
Untuk menumbuhkan pasar kendaraan listrik, Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa pemerintah dapat mengambil beberapa langkah berikut seperti menerapkan sejumlah insentif misal dengan diskon pajak dan keleluasaan untuk memakai rute tertentu.
Tidak hanya itu, edukasi tentang teknologi dan keuntungan secara ekonomi dari memiliki kendaraan listrik perlu semakin digalakkan.Teknologi yang relatif baru ini masih belum dikenal masyarakat dengan baik. Di kalangan pemilik maupun peminat kendaraan listrik pun ada semacam range anxiety yakni perasaan kuatir tidak bisa sampai di tujuan dengan daya baterai yang dimiliki mobilnya. Keberadaan fasilitas pengisian daya yang belum merata antar satu tempat dengan tempat lain juga menjadi pertimbangan tersendiri. Memastikan ketersediaan fasilitas pendukung yaitu stasiun pengisian daya juga menjadi hal penting untuk mendukung adopsi kendaraan listrik.
Selain mengenalkan teknologi dan memastikan ketersediaan fasilitas pendukung, masyarakat perlu juga diajak membandingkan ongkos kepemilikan kendaraan (total ownership cost) antara kendaraan konvensional dan kendaraan listrik.
“Perbedaan signifikan ada pada biaya perawatan dan biaya bahan bakar per kilometer yang terhitung lebih hemat pada kendaraan listrik. Namun seringkali calon konsumen tidak menghitung sampai sejauh itu sebelum membeli kendaraan. Hal ini baik untuk mengedukasi masyarakat sekaligus promosi kendaraan listrik,” tutur Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Terkait dengan insentif yang akan diberikan pada pemilik kendaraan listrik, Fabby menekankan pemerintah harus memikirkan sungguh-sungguh bentuk insentif yang akan diberikan pada kendaraan listrik, mengingat kendaraan listrik ini sebenarnya tergolong barang mewah. Indonesia dapat merujuk pada beberapa negara seperti Cina dan Norwegia terkait jenis insentif yang diberikan untuk kendaraan listrik.