Organisasi Masyarakat Sipil walk-out dari ruang konsultasi publik ADB-
Jakarta, 28 Juli 2010,
Organisasi Masyarakat Sipil melakukan aksi walk out dari rapat konsultasi tentang implementasi kebijakan PCP (Public Communication Policy– Kebijakan Komunikasi Publik) dari Bank Pembangunan Asia (ADB- Asian Development Bank), yang dilakukan di Jakarta, Rabu, 28 Juli 2010.
Sementara di luar hotel dari kegiatan konsultasi PCP yang digelar ADB, sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya melakukan aksi demonstrasi yang menyerukan menolak apa pun proyek ADB dari Indonesia.
Walk out terjadi setelah Orchida Ramadhania, dari Solidaritas Perempuan, menyatakan pernyataan sikap organisasi masyarakat sipil dan menyerahkan submission terkait kebijakan PCP yang dikeluarkan oleh ADB. Saat membacakan pernyataan sikap juga dibentangkan poster protes yang menyebutkan: ADB Says: Kami ingin memberikan informasi, tapi…………..(disambung poster berikutnya) yang menyatakan: PCP “public” consultation non Transparent- Secret Consultation with governance – UN Democratic Process!!
Pernyataan sikap dan submission kemudian diserahkan langsung kepada pejabat ADB yang memimpin konsultasi yaitu Delphine Roch, Public Information and Disclosure Specialist in External Relations ADB, Shyamala Abeyratne, communication specialist ADB, dan Bob A Finlayson, Officer in Charge Indonesia Resdient Mission.
Dalam pernyataan sikap dan juga yang disebutkan dalam submission PCP, organisasi masyarakat sipil menilai bahwa implementasi kebijakan PCP (Public Communication Policy-Kebijakan Komunikasi Publik) dari Bank Pembangunan Asia (ADB-Asian Development Bank) yang pada garis besarnya memuat akses informasi dan aturan terkait hubungan eksternal ADB bagi masyarakat terutama bagi yang terkena dampak langsung oleh proyek-proyek pembangunan ADB lewat pemerintah Indonesia, telah mengalami kegagalan dalam menjamin adanya akses informasi yang efektif bagi masyarakat yang langsung terkena proyek ADB. Selain itu ADB dinilai tidak jelas dalam hal aturan Pengecualian pada peraturan PCP dan mekanisme bandingnya.
Hal ini mengakibatkan masyarakat yang terkena dampak proyek ADB sama sekali tidak mendapatkan akses informasi atas proyek yang mengenai hak atas tinggal, mencari nafkah, dan juga identitas jati diri mereka sebagai warga Negara. PCP selama ini juga dinilai masyarakat sipil telah membatasi kesempatan masyarakat lebih luas menggunakan haknya dalam berpartisipasi pada konsultasi kebijakan PCP.
“Banyak proyek ADB yang mengalami kegagalan karena tidak adanya keterbukaan informasi proyek kepada masyarakat terkena dampak khususnya perempuan. Madrasah Education Development Project (MEDP) misalnya, dimana perempuan tidak pernah diinformasikan dan terlibat dalam konsultasi proyek, Kami juga melihat proses serta substansi dari draft PCP belum mengakomodir kepentingan masyarakat khususnya kepentingan perempuan, bahkan semakin mempersempit makna keterbukaan informasi bagi masyarakat,” jelas Wardarina Thaib, Koordinator Program Solidaritas Perempuan.
Dalam hal lainnya, IESR (Institute for Essential Services Reform) menambahkan bahwa selama masa persiapan proyek, informasi yang diberikan kepada masyarakat yang terkena dampak sangatlah minim, terbatas, tidak lengkap atau bahkan tidak diberikan sama sekali. Padahal mereka (ADB) mengatakan bahwa mereka selalu menyediakan akses informasi dan implementasi PCP dalam proyek-proyek ADB di Indonesia, bagi masyarakat yang terkena dampak.
Diana Gultom dari debtWATCH Indonesia, sebuah lembaga yang melakukan pemantauan terhadap lembaga keuangan internasional seperti ADB, selanjutnya memaparkan “Masyarakat di bantaran Tarum Kanal Barat (Karawang-Bekasi) yang terkena dampak proyek ADB Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program (ICWRMIP) tidak mengetahui bahwa proyek yang akhirnya menggusur mereka adalah karena proyek ini.
Dalam kasus ini, masyarakat tidak diberikan informasi yang lengkap mengenai disain proyek dan lokasi tinggal mereka setelah digusur karena proyek. Bahkan, lanjutnya, ADB tidak dapat menjelaskan dugaan adanya pemalsuan tanda tangan masyarakat terkait dengan konsultasi yang wajib dilakukan dalam setiap proyek ADB sejenis. Fakta pelanggaran ini terjadi di lapangan, padahal kebijakan yang dimiliki ADB mewajibkan adanya konsultasi masyarakat terkena dampak dan semua prosesnya terikat dengan kebijakan yang dimiliki oleh ADB sendiri.”
“Kasus di atas hanyalah satu dari beberapa proyek yang termonitor, namun jelas telah membuat masyarakat menjadi resah dan khawatir. ADB memang menyediakan akses informasi melalui website. Tapi perlu dicatat, banyak masyarakat yang terkena dampak justru buta internet dan sulit mengakses internet.
Mereka juga sering menggunakan bahasa Inggris atau istilah yang tidak bisa dipahami masyarakat terkena dampak ketika bisa mengakses informasi tersebut. Informasi soal proyek bahkan cenderung tertutup, tidak kooperatif dan banyak yang tidak paham apa itu kebijakan PCP,”ujar Nadia Hadad dari Bank Information Center, sebuah lembaga yang memantau proyek, program dan kebijakan dari lembaga-lembaga keuangan internasional.
Dalam hal aturan pengecualian (exceptionalities) pada PCP juga terjadi seperti itu. Aturan pengecualian ini mengatur tentang dokumen-dokumen yang tidak menjadi milik publik.
“Aturan ini membatasi akses publik terhadap beberapa dokumen penting terkait proyek. Seharusnya ADB mengeluarkan seluruh informasi terkait proyek tanpa terkecuali. agar masyarakat bisa mengambil keputusan yang tepat, apakah harus menerima atau menolak proyek tersebut sesuai dengan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC).
Kami memandang ADB sebagai Asian Destructive Bank karena terlalu memproteksi sektor swasta, melegalkan pengrusakan lingkungan dan menegasikan hak hidup masyarakat Indonesia, karena itu sudah sewajarnya pemerintah menghentikan seluruh proyek yang dibiayai oleh ADB secara bertahap dengan menyusun langkah-langkah Exit Strategi dari ADB” ujar Teguh Surya dari WALHI.
Dalam kasus proyek ADB dengan Palyja, misalnya, ditambahkan Hamong Santono, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, West Jakarta Water Supply Development Project, yang dipantau oleh anggota Koalisinya, menemukan sebuah dokumen yang tidak dapat diakses oleh publik dengan alasan dokumen tersebut bersifat rahasia. Padahal masyarakat sipil membutuhkan dokumen tersebut untuk melihat dana hutang yang dikucurkan ADB kepada Palyja benar-benar digunakan sesuai dengan yang tertuang dalam Dokumen Informasi Proyek.
Sementara terkait dalam hal Proses Banding dimana masyarakat dapat melakukan pengaduan apabila terjadi penolakan pemberian informasi, ADB diminta organisasi masyarakat sipil ini, untuk memperbaiki mekanisme bandingnya, karena selama ini dinilai tidak independen. Setiap pengaduan terkait proses permintaan informasi dapat dimasukkan ke sebuah divisi bernama PDAC (Public Disclosure Advisory Committee), tapi saat ini, divisi tersebut ada di dalam struktur ADB sendiri, dan akan melaporkan kerjanya ke Presiden ADB. Artinya, keindependenan mereka dalam menyelesaikan persoalan sangat dipertanyakan.
Dari semuanya ini, sistem yang diciptakan haruslah diuji dalam segala konteks agar hak setiap orang dalam memperoleh informasi dapat dipenuhi’ demikian pungkas Norman Jiwan dari Sawit Watch.
Karena itu, kami menuntut ADB untuk mengakomodir kepentingan masyarakat luas dalam Public Communication Policy-nya dengan mengadopsi masukan dari masyarakat sipil. Kebijakan ini haruslah dibuat oleh pihak ADB dengan sungguh-sungguh mengedepankan prinsip partisipasi (FPIC), transparansi, dan akuntabilitas.
Sementara organisasi masyarakat sipil yang melakukan aksi demo anti ADB di luar hotel dimana kegiatan konsultasi PCP ADB di gelar menyatakan pernyataan aksinya bahwa Hingga Maret 2010, hutang Indonesia kepada ADB mencapai 11,24 miliar US$ atau 17,5% total hutang nasional.
Data Koalisi Anti Utang juga menyebutkan bahwa pemerintah telah mengalokasikan anggaran lebih dari Rp 100 triliun untuk pembayaran utang. Akumulasi utang ADB merupakan protes yang berlangsung sejak lama. Pada periode 1972-2006, ADB telah menggulirkan 18 proyek hutang luar negeri di sektor perikaman dengan alokasi pinjaman Rp 6,3 triliun. Pinjaman diperuntukkan bagi pembangunan perekonomian masyarakat pesisir, pengelolaan terumbu karang, hingga pertambakan intensif.
Contact Person:
- Diana Gultom (debtWatch): 0815-9202737
- Nadia Hadad (BIC): 0811-132081
- Teguh Surya (Walhi): 0811-8204362
- Musfarayani (IESR): 0815-8070717
- Hamong (Kruha): 0815-11485137
- Norman (Sawit Watc): 0813-15613536
- Wardarina (SP): 085920776141
debtWatch Indonesia, BIC (Bank Information Center), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), E-LAW Indonesia, Sawit Watch, KRuHA(Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air), IESR (Institute for Essential Services Reform), Solidaritas Perempuan, Perkumpulan Boemi, Komunitas Anti Globalisasi Ekonomi (KoAGE).