Skip to content

Siaran Pers : “Climate Summit 2014 : Indonesia Harus Mendesak Negara Maju Melakukan Kewajibannya”

IESR-Siaran-Pers3-218x150-1-150x150

Author :

Authors

Negara-Negara Maju Harus Melakukan Pengurangan Emisi Domestik Mereka Secara Ambisius, Serta Menepati Kewajiban Mereka Dalam Penyediaan Pendanaan, Alih Teknologi dan Peningkatan Kapasitas

Jakarta, 22 September 2014 – Pertemuan Tingkat Tinggi Iklim (Climate Summit) yang diinisiasi oleh Sekjen PBB berlangsung 23 September 2014 di kantor PBB, New York mengundang pemimpin-pemimpin negara dari seluruh dunia untuk menyampaikan kontribusi untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Pada pertemuan ini, seluruh pemimpin negara yang hadir diharapkan mengumumkan kontribusi nasional mereka dalam bentuk aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada tingkat domestik.

Berdasarkan prinsip tanggung jawab historis (historical responsibility) dalam Konvensi Perubahan Iklim negara-negara maju (Annex 1 countries) wajib menurunkan emisi gas rumah kaca dan memberikan bantuan finansial, pengembangan kapasitas dan alih teknologi kepada negara-negara berkembang baik untuk mitigasi emisi dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Sayangnya, pelaksanaan kewajiban negara-negara maju sangat rendah yang ditandai dengan mundurnya sejumlah negara seperti Jepang, Rusia, Selandia Baru, dan Canada, dari Protokol Kyoto. Sebelumnya, sejak diratifikasi tahun 2004, Amerika Serikat yang merupakan salah satu negara pengemisi gas rumah kaca terbesar telah menolak meratifikasi Protokol tersebut.

Laporan Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC) yang ke-4 menyatakan bahwa untuk mencapai konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sebesar 450 ppm CO2-eq (setara dengan 2o C), negara-negara Annex 1 harus menurunkan 25%-40% emisi gas rumah kaca berdasarkan tingkat emisi di tahun 1990, dan 80%-95% di tahun 2050. Untuk negara-negara Non-Annex I, diharapkan adanya penurunan substansial di negara-negara Amerika Latin, Timur Tengah, Asia Timur serta negara-negara Asia Tengah pada tahun 2020. Sedangkan di tahun 2050, diharapkan akan ada penurunan signifikan untuk seluruh wilayah.

Negosiasi perubahan iklim di COP 17 di Durban menyepakati prinsip “Applicable to all Parties”, dimana negara-negara yang tergabung dalam UNFCCC harus menyatakan kontribusi mereka untuk mencegah kenaikan rata-rata temperatur dunia melebihi 2o C, sebagaimana direkomendasikan oleh laporan IPCC ke-4. Pernyataan ini disebut sebagai Intended Nationally Determine Contribution (INDC). Dalam konteks pengurangan emisi, beberapa pilihan INDC dapat dinyatakan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Salah satu contoh pengurangan emisi secara kualitatif adalah melalui kebijakan-kebijakan domestik yang menunjang penuh pada aksi-aksi penurunan emisi. INDC diharapkan dapat mulai dimasukkan pada kuartal pertama tahun 2015.

Indonesia sebagai salah satu dari 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia, diharapkan mengurangi laju pertumbuhan emisi gas rumah kaca. Potensi pengurangan terbesar ada pada emisi GRK di sektor kehutanan dan LULUCF yang mencapai 80% total emisi GRK nasional. Emisi dari sektor energi yang saat ini lebih rendah dari emisi sektor kehutanan dan LULUCF, memiliki kecenderungan naik sehingga perlu dikendalikan dalam 10-20 tahun mendatang. Tren kenaikan ini perlu diantisipasi dengan mengarahkan investasi untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca.

Dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya, tingkat pertumbuhan energi yang tinggi, biaya investasi yang diperlukan untuk melakukan mitigasi emisi GRK di sektor energi, Indonesia memerlukan dukungan masyarakat internasional untuk mempercepat alih teknologi bersih yang termasuk di dalamnya pendanaan untuk penelitian dan pengembangan teknologi, pengembangan kapasitas, serta investasi teknologi energi bersih. PLN mencatat, bahwa untuk pengembangan pembangkit energi baru terbarukan dari 2013 – 2021 diperlukan sekitar US$ 32 milyar1.

Fabby Tumiwa, Koordinator Indonesia Climate Action Network (ICAN), yang juga adalah Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan, “Rancangan Kebijakan Energi Nasional tahun 2014 mengindikasikan bahwa pasokan energi hingga 2050 masih akan tetap didominasi oleh energi fosil walaupun proyeksi pasokan energi terbarukan meningkat. Di sektor kelistrikan misalnya, bahan bakar fosil masih akan mendominasi 83% dari produksi tenaga listrik hingga tahun 2025, dimana pasokan energi terbarukan khususnya dari panas bumi dan tenaga air ditergetkan hingga 17%. Ini menunjukkan bahwa Indonesia masih mengandalkan bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan energi domestik, serta pertumbuhan ekonomi.”

Menurut Fabby, Indonesia harus waspada karena cadangan sumberdaya energi fosil semakin menipis dan diperkirakan dengan pola produksi dan konsumsi saat ini, Indonesia akan menjadi negara pengimpor energi netto pada tahun 2019/2020. Dengan demikian membangun low carbon energy system dengan merealisasikan target-target realisasi energi terbarukan dalam KEN secara tepat waktu, melakukan reformasi harga BBM, serta mengurangi laju ekstraksi batu bara untuk kebutuhan ekspor, akan meningkatkan ketahanan energi Indonesia pada dekade mendatang. Upaya-upaya untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan memerlukan dukungan dari negara maju berupa pendanaan, alih teknologi, serta peningkatan kapasitas. Selama ini alih teknologi menjadi isu yang tidak pernah putus karena negara-negara maju selalu berlindung pada isu Intellectual Property Rights (IPR). Presiden SBY didesak untuk menyuarakan tuntutan tersebut pada Climate Summit nanti.

Selainitu, hasil pertemuan organisasi masyarakat sipil yang diadakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) yang berlangsung pada 11 September 2014 di Jakarta juga meminta Presiden SBY nanti menyerukan perlunya dukungan dari negara maju untuk perbaikan akses dan kualitas data iklim di negara-negara berkembang sehingga dapat meningkatkan kapasitas untuk perencanaan dan tindakan aksi adaptasi perubahan iklim2.

Dukungan pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim sebagai bagian dari komitmen 100 milyar dollar hingga 2020 yang disepakati di Pertemuan COP 16 di Cancun perlu direalisasikan secara nyata, dan Indonesia yang terancam kehilangan ribuan pulau dan jutaan hektar kawasan pantainya, serta kerawanan pangan akibat perubahan iklim sangat berkepentingan dengan implementasi komitmen pendanaan ini.

Jakarta, 22 September 2014
Kontak: Henriette Imelda
Tel: 021-7992945
Alamat surat elektronik: imelda@iesr.or.id
Catatan kaki:

  1. Rencana Pengembangan Energi Terbarukan untuk Pembangkitan Listrik dan Kebutuhan Pendanaan, PLN, 21 Mei 2013
  2. Rekomendasi posisi Indonesia secara lengkap dapat dilihat di Annex.

Share on :

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Article

IESR-Secondary-logo

Dengan mengirimkan formulir ini, Anda telah setuju untuk menerima komunikasi elektronik tentang berita, acara, dan informasi terkini dari IESR. Anda dapat mencabut persetujuan dan berhenti berlangganan buletin ini kapan saja dengan mengklik tautan berhenti berlangganan yang disertakan di email dari kami. 

Newsletter