Sepertinya tidak realistis untuk berharap COP 16 Cancun menghasilkan kesepakatan kunci untuk mencegah kenaikan suhu permukaan bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius, tetapi cukup realistis untuk berharap agar COP 16 Cancun menjadi momentum untuk membangun kepercayaan negara maju dan berkembang dalam perundingan multilateral perubahan iklim dibawah UNFCCC, serta menjadi pijakan untuk tercapainya kesepakatan yang ambisius, adil dan mengikat pada COP 17 di Afrika Selatan, dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan iklim.
Berbagai kajian ilmiah menunjukkan bahwa kenaikan suhu permukaan bumi sebesar 2 derajat Celcius akan memiliki konsekuensi besar terhadap keseimbangan ekosistem, dan keberlanjutan umat manusia. Selama dua abad lebih, rata-rata permukaan suhu bumi telah naik hingga 1 derajat Celcius, dan apabila tidak ada tindakan drastis dilakukan maka sebelum pertengahan abad ini, kenaikan sebesar 2 derajat Celcius akan tercapai.
Fabby Tumiwa dari IESR menyampaikan, dari hasil analisis atas janji (pledge) penurunan emisi GRK yang disampaikan oleh berbagai negara yang mendukung Copenhagen Accord memberikan indikasi kegagalan untuk mencegah kenaikan suhu permukaan dibawah 2 derajat Celcius.
Sebaliknya diperkirakan kenaikan temperatur sebesar 3,5 derajat Celcius pada akhir abad ini. Adapun negara-negara maju gagal menunjukkan kepemimpinan dan tanggung jawab penurunan emisi. Hanya 2 dari 10 submisi target penurunan negara maju yang dianggap cukup untuk menghindari kenaikan temperatur dibawah 2 derajat Celcius.
Setelah kegagalan COP 15 dalam menghasilkan kesepakatan yang mengikat untuk target penurunan emisi paska Protokol Kyoto, putaran perundingan perubahan iklim dimulai dengan ekspektasi yang relatif rendah. Sebelum COP 16 di Cancun, yang akan berlangsung 29 November – 10 Desember 2010, telah dilakukan sejumlah putaran perundingan persiapan di Bonn (Bonn Climate Conference 1, 2 dan 3), dan Tianjin Climate Talks di China pada bulan Oktober 2010. Hasil Tianjin Climate Talks justru memberikan indikasi bahwa harapan untuk mencapai sebuah kesepakatan yang ambisius, adil, dan mengikat di COP 16 Cancun semakin pudar.
Menurut Fabby Tumiwa, salah satu faktor yang menyebabkan sukarnya perundingan perubahan iklim global memberikan hasil yang diharapkan dan berpihak pada kepentingan negara berkembang adalah posisi Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara maju sekutunya yang mengabaikan nilai-nilai dasar dari UNFCCC, tentang Common but differentiated responsibility (CBDR) dan memaksakan operasionalisasi Copenhagen Accord yang kontroversial.
Pendekatan AS dan sekutunya ini mengabaikan nilai keadilan iklim, karena negara-negara berkembang juga berkewajiban menurunkan emisi nasional mereka, walaupun rata-rata emisi per-kapitanya lebih rendah daripada emisi per kapita di negara-negara maju.
Selain itu, diferensiasi negara maju dan berkembang dalam tanggung jawab penurunan emisi GRK menjadi tidak jelas karena dalam prinsip Copenhagen Accord seluruh negara maju dan berkembang melakukan penurunan emisi secara bersama, padahal dalam konteks UNFCCC, negara maju sebagai penyebab krisis iklim bertanggung jawab melakukan penurunan emisi lebih dulu. Hal ini nantinya akan diikuti oleh negara berkembang setelah mendapatkan bantuan teknologi dan pendanaan.
Menurut IESR, walaupun peluang untuk mencapai kesepakatan yang substansial dalam hal penurunan emisi di COP 16 Cancun, tetapi hasil Cancun tetap penting sebagai dasar untuk membangun kepercayaan antara negara maju dan berkembang untuk mencapai adanya kesepakatan yang ambisius, adil dan mengikat di COP 17 Afrika Selatan tahun 2011.
Salah satu elemen yang penting adalah COP 16 Cancun perlu menyepakati bahwa target 2 derajat Celcius terlalu beresiko untuk keberlanjutan ekosistem, sehingga perlu mengkaji target penurunan emisi global untuk mencapai kenaikan temperatur dibawah 1,5 derajat Celcius. Selain daripada itu, Cancun kiranya dapat menyetujui mandat untuk menyepakati pendekatan pembagian penurunan emisi yang adil antara negara maju dan berkembang, berdasarkan prinsip CBDR, tanggung jawab historis negara maju, dan hak negara berkembang atas pembangunan berkelanjutan.
Dalam konteks posisi Indonesia, IESR mendesak agar posisi Indonesia merefleksikan keadilan iklim, yaitu mendesak negara maju untuk menurunkan emisi GRK sebesar 40% dari tingkat emisi tahun 1990, sebelum 2020; mendesak negara maju agar mewujudkan segera komitmen pendanaan, alih teknologi dan pengembangan kapasitas untuk aksi mitigasi dan adaptasi negara-negara berkembang dalam jangka pendek (fast-track financing, 2012) dan jangka panjang sesuai dengan kewajiban negara maju dalam UNFCCC.
Sebaliknya, Indonesia juga memberikan contoh bagi negara berkembang lainnya untuk menginisiasi terselenggaranya rencana aksi pembangunan rendah emisi (low carbon development action plan), sesuai dengan target penurunan emisi GRK 26% dari business as usual scenario pada tahun 2020, sebagaimana yang telah dicanangkan oleh Presiden SBY, yang dapat diukur, terlaporkan, dan diverifikasi oleh masyarakat sipil dan komunitas internasional.
Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi
- Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, E-mail: fabby@iesr-indonesia.org, HP: +62811949759
- Siti Badriyah, Staf Program Perubahan Iklim IESR, E-mail: siti@iesr-indonesia.org, HP: +6281584548966
- Cut Rindayu, Staf Komunikasi, Email: rinda@iesr-indonesia.org, HP: +62817823778