Jakarta, Di saat negosiasi Indonesia dicederai pada Pertemuan Para Pihak (COP-15) dalam Kerangka Kerja PBB atas Konvensi mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Copenhagen, ternyata harapan masih berlanjut di COP-16 Cancun, Mexico yang berakhir minggu lalu.
“Setelah Copenhagen, Indonesia masih berdarah pada saat itu karena kegagalan negosiasi. Hilang harapan pada UNFCCC sebagai wadah yang dapat menyelesaikan masalah iklim yang sedang terjadi. Namun, Cancun menjadi titik penting apakah Indonesia akan terus melanjutkan perundingan atau tidak. Ternyata harapan itu masih ada,” ujar Agus Purnomo, Kepala Sekertariat Dewan Nasional Perubahan Iklim, pada Sarasehan Iklim yang diadakan Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) (16/12).
“Bila dibandingkan dengan Copenhagen, COP-16 di Cancun lebih baik. Tentu saja karena mereka menggunakan building blocks dan Bali Road Map yang merupakan langkah-langkah esensial sebagai jalan untuk menghasilkan keputusan yang adil, ambisius, dan mengikat,” ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
Selain membahas mengenai posisi Indonesia, pada kegiatan ini juga membicarakan poin-poin penting yang dihasilkan di Durban. Masih menurut Agus Purnomo, Cancun menghasilkan keputusan penting. Salah satunya adalah mengenai MRV (Monitoring, Reporting, and Verification) penurunan emisi yang dibedakan dari negara maju dan negara berkembang yang melakukannya secara sukarela.
Keputusan penting yang diambil oleh seluruh pihak pada COP-16 di Cancun adalah mekanisme REDD+ diterima oleh seluruh negara. Sebetulnya Bolivia merupakan satu-satunya negara yang menolak skema REDD+. Namun, melalui permufakatan disepakati bahwa penolakan tersebut dianggap menjadi catatan kaki (footnote) bagi COP-17 yang akan berlangsung di Durban pada tahun 2011.
Pada kegiatan ini, Adianto P. Simamora dari The Jakarta Post juga memberi masukan untuk akses informasi bagi pers yang meliput pertemuan iklim UNFCC, terutama yang baru saja berlangsung di Cancun. Menurutnya, ada perbedaan kemudahan akses informasi dengan COP-15 yang berlangsung tahun lalu di Copenhagen. Di Cancun, mendapatkan informasi dari Delegasi RI cukup sulit. Belum lagi, ada kebijakan satu pintu bagi para delegasi yang akan membuat pernyataan, sehingga cukup sulit bagi wartawan untuk mengetahui siapa saja dari delegasi yang dapat dimintai informasi mengenai isu khusus.
Proses negosiasi yang berlangsung di Cancun, masyarakat juga perlu mengetahui mengenai komitmen pemerintah Indonesia dan kesiapannya dalam merespon perubahan iklim. Terutama di sektor mitigasi dan adaptasi.
Seperti paparan dari Departemen Kelautan dan Perikanan yang menyatakan bahwa sampai pada tahun 2020, terumbu karang di kepulauan Indonesia rentan terhadap pemutihan akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, diperlukan adaptasi di sektor kelautan dan perikanan karena merupakan sektor yang rentan.
Perubahan iklim juga dimasukan ke dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir dan wilayah laut. Departemen Kelautan dan Perikanan membuat skema Climate Resilient Village (CRV) yang merupakan skema penempatan tempat tinggal warga pesisir yang dapat dengan mudah dipindahkan mengikuti kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim.