Kota-kota di daerah pesisir Indonesia menghadapi ancaman kenaikan muka air laut dan meningkatnya resiko rawan pangan akibat cuaca ekstrim dan kekeringan.
Jakarta, 30 September 2013 – Dampak perubahan iklim di kawasan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, diperkirakan akan meningkatkan ancaman terhadap ketahanan pangan, kesehatan manusia, ketersediaan air, keragaman hayati, dan kenaikan muka air laut. Demikian hasil kajian yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah panel ahli internasional yang ditunjuk untuk mengkaji aspek-aspek ilmiah tentang perubahan iklim dan memberikan masukan kepada UNFCCC.
Laporan Kelompok Kerja pertama IPCC tentang fakta-fakta ilmiah terjadinya perubahan iklim secara global, diluncurkan pada tanggal 30 September 2013. Naskah Rangkuman untuk Para Pembuat Kebijakan (Summary for Policy Makers) dirilis pada tanggal 27 September 2013. Rilis laporan ini merupakan rangkaian dari rilis seluruh laporan IPCC hingga tahun 2014 mendatang.
Laporan Kajian IPCC yang ke-5 (IPCC Fifth Assessment Report/AR-5) menggunakan pemodelan iklim dengan menggunakan skenario RCP, dimana model yang terparah ditunjukkan oleh RCP 8.5 (Representative Concentration Pathway). Skenario RCP 8.5 menggambarkan radiactive forcing yang terjadi mencapai 8,5 Watt/m2. Skenario ini serupa dengan skenario SRES A2 di laporan IPCC ke-4 tahun 2007. Skenario ini merupakan skenario tertinggi yang menggambarkan keadaan dunia dengan pertumbuhan populasi yang tinggi, namun sedikit sekali aksi signifikan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Skenario ini merupakan refleksi dari realita politik perubahan iklim yang saat ini terjadi, dimana pertumbuhan emisi gas rumah kaca meningkat dan diiringi dengan terbatasnya kemauan politis untuk melakukan aksi mitigasi gas rumah kaca yang drastis dalam waktu dekat. Laporan ini mencakup kajian atas 18 area regional secara global, dimana Asia Tenggara merupakan salah satunya. Laporan ini juga memberikan gambaran fakta dan data mengenai iklim, serta perkiraan mengenai pertumbuhan emisi gas rumah kaca ke depan beserta dampaknya.
Menurut IPCC, kenaikan temperatur global semenjak tahun 1901 mencapai 0,89C. Di kawasan Asia Tenggara, tercatat kenaikan temperatur pada kisaran 0,4-1C. Diperkirakan kenaikan temperatur di wilayah Asia Tenggara untuk jangka menengah di tahun-tahun mendatang (2046-2065) akan terjadi pada rentang 1,5-2C. Pada masa-masa ini, kenaikan temperatur yang paling tinggi akan terkonsentrasi di daerah-daerah bagian Barat Laut yaitu di negara-negara seperti Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Untuk jangka panjang (2081-2100), kenaikan temperatur akan berada di rentang 2-4C yang akan menyebar ke seluruh daratan secara merata. Suhu tertinggi di siang hari akan mencapai 3-4oC lebih tinggi dari temperatur rata-rata saat ini yang menyebar secara merata di seluruh daratan di kawasan Asia Tenggara.
Curah hujan diperkirakan akan meningkat di negara-negara seperti Indonesia dan Papua Nugini. Sedangkan di negara-negara seperti Thailand, Laos, Myanmar, Kamboja, dan Vietnam, curah hujan diperkirakan akan menurun sebesar 10%-20% di bulan Maret-Mei. Secara keseluruhan, curah hujan tahunan diperkirakan akan meningkat, kecuali di bagian Barat Daya Indonesia.
Kelembaban tanah akan meningkat hingga 1 mm di bagian Barat Daya dari kawasan ini (Papua Nugini) dan penurunan sekitar 0,6 mm di bagian barat region ini, yaitu di negara-negara Laos, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, sebagian Indonesia, dan sebagian Myamar.
Data dan temuan IPCC ini juga menguatkan laporan Bank Dunia dengan judul “Turn Down the HeatClimate Extremes, Regional Impacts and the Case for Resilience” yang dirilis pada bulan Juni 2013. Laporan tersebut menyatakan bahwa kawasan pesisir pantai di seluruh Asia Tenggara akan mengalami kenaikan muka air laut 10-15 persen lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kenaikan muka air laut global. Kenaikan muka air laut di tahun 2050 akan mencapai hingga 50 cm dan 100 cm di tahun 2090, dimana kota-kota besar di Asia Tenggara seperti Jakarta, Bangkok, Ho Chi Minh, Manila, dan Yangon, akan terkena dampak yang paling besar.
Laporan Kelompok Kerja 1 IPCC ke-5 ini mengutip bencana-bencana yang telah diprediksi dalam laporan Bank Dunia, yaitu meningkatnya kerentanan aquaculture, pertanian, dan juga tangkapan ikan dikarenakan kenaikan muka air laut, meningkatnya intensitas angin puting beliung tropis, serta intrusi air laut. IPCC juga mencatat adanya kemungkinan terjadi panas ekstrim dan gelombang panas (heatwaves) di Asia. Kawasan Asia juga akan kehilangan keanekaragaman hayati berupa terumbu karang hingga 88% akibat dari pemutihan untuk 30 tahun mendatang. Resiko pemutihan tahunan terumbu karang akan terjadi mulai dari tahun 2030. IPCC mencatat bahwa fenomena perubahan iklim yang sedang terjadi merupakan fenomena yang terjadi karena perbuatan manusia dan bukan bencana alam.
Untuk mengatasi ancaman perubahan iklim global ini diperlukan kerjasama negara maju dan berkembang dalam hal meningkatkan amibisi aksi mitigasi dan adaptasi. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) sekaligus koordinator Indonesia Climate Action Network (ICAN), mengutip laporan DNPI dan McKinsey tahun 2009 menyatakan bahwa walaupun saat ini emisi GRK Indonesia masih dibawah mayoritas negara-negara maju; namun, pada tahun 2030, emisi gas rumah kaca Indonesia diperkirakan mencapai 5% dari total emisi global.
Komitmen Indonesia yang disampaikan oleh Presiden SBY tahun 2009 lalu untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% secara sukarela, dengan tambahan 15% apabila ada bantuan internasional merupakan langkah maju dan bentuk ketaatan Indonesia pada konvensi perubahan iklim. Walaupun demikian, dampak pada penurun emisi GRK hanya terjadi jika komitmen ini diwujudkan dengan aksi yang nyata dan konsisten.
IESR dan Indonesia Climate Action Network (ICAN) mendesak Pemerintahan SBY untuk melaksanakan implementasi yang nyata atas Rencana Aksi Nasional mengenai Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dengan kegiatan-kegiatan yang konkrit dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.
IESR juga mendesak agar prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam implementasi program dan kegiatan dalam RAN dan RAD GRK yang menggunakan dana dari APBN dan APBD, serta dukungan dari lembaga donor dapat dipertanggunjawabkan kepada publik baik atas dana yang terpakai, maupun hasil penurunan emisi GRK yang terjadi. Aplikasi dari mekanisme Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan (PEP) yang sedang dikembangkan Bappenas untuk RAN/RAD hendaknya dapat memberikan informasi yang akurat kepada publik tentang kedua hal ini.
IESR mendorong pemerintah dan berbagai kalangan untuk lebih serius mengantisipasi dampak perubahan iklim yang telah dan akan menimpa Indonesia dengan skala yang lebih besar. Penyusunan Rencana Aksi Nasional untuk Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API), sebagai panduan untuk membangun dan meningkatkan daya lenting masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan iklim di kawasan-kawasan yang sangat rentan, terutama di wilayah pesisir sebagaimana yang telah diprediksi oleh IPCC, merupakan langkah awal yang perlu segera dllaksanakan. Penyusunan RAN-API hendaknya melibatkan publik secara luas, khususnya kelompok masyarakat rentan (petani, nelayan, masyarakat pesisir).
Pengintegrasian kajian kerentanan perubahan iklim dengan prioritas dan rencana pembangunan nasional jangka pendek, menengah dan panjang, perlu segera dilakukan, sehingga program dan proyek pembangunan dapat menjadi sarana untuk mengurangi tingkat kerentanan sekaligus meningkatkan daya lenting masyarakat.
IESR juga mendesak agar dilakukan pengkajian dari MP3EI. Kajian tersebut harus segera dilakukan dengan mempertimbangkan resiko perubahan iklim dan dampak terhadap peningkatan kerentanan masyarakat di tingkat akar rumput serta dampak terhadap meningkatnya kerentanan kawasan secara keseluruhan.
Nazir Foead, Direktur Konservasi WWF-Indonesia, “Laporan IPCC menggarisbawahi peran manusia sebagai penyebab utama perubahan sistem lingkungan, termasuk iklim. Salah satunya dari penggunaan bahan bakar fosil. Untuk itu, WWF meminta pemerintah agar serius melakukan percepatan pemanfaatan energi terbarukan dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk kepentingan ini. Tidak ada pilihan lain kecuali bertindak.”
Nur Amalia, dari Pelangi Indonesia menambahkan, “Pemerintah juga harus membatasi laju pembangunan yang sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam serta konversi lahan secara besar-besaran, terutama di wilayah pulau-pulau kecil, sebagaimana yang terjadi di kabupaten kepulauan Aru, dimana ada rencana untuk melakukan konversi lahan hutan menjadi perkebunan tebu. Bagi Jakarta sendiri, harus disadari bahwa kondisi penurunan tanah yang terjadi saat ini, akan semakin memperparah kondisi.”
Laporan IPCC ke-5 ini juga menjadi peringatan bagi dunia internasional akan dampak perubahan iklim yang akan dialami pada jangka menengah, maupun jangka panjang. ICAN menyatakan bahwa negara maju harus memenuhi kewajiban mereka sebagaimana tercantum dalam Konvensi, baik untuk memimpin negara-negara berkembang dalam menurunkan emisi domestik mereka, dan pada saat yang bersamaan memenuhi komitmen mereka untuk memberikan pendanaan bagi negara berkembang baik untuk melakukan upaya mitigasi, maupun adaptasi.
Hal-hal ini harus dilakukan secara bersamaan dan dengan segera oleh semua pihak. Gagal dalam melakukan mitigasi akan menyebabkan kegiatan untuk melakukan adaptasi akan semakin besar dan semakin sulit. Kegagalan dalam melakukan adaptasi akan menimbulkan kerusakan permanen (irreversible damage), dimana biaya dan upaya yang diperlukan untuk dapat bertahan akan lebih besar.