Di tahun 2050, Indonesia akan mengalami dampak perubahan iklim yang lebih berat berupa cuaca ekstrim diantaranya meningkatnya intensitas angin puting beliung, gelombang panas (heat waves) dan kekeringan yang sangat sulit untuk ditanggulangi, demikian menurut laporan terbaru Bank Dunia (World Bank) yang menganalisis dampak perubahan iklim di wilayah Asia Tenggara.
Laporan, Turn Down the Heat – Climate Extremes, Regional Impacts and the Case for Resilience – yang baru diluncurkan oleh Bank Dunia pada tanggal 19 Juni 2013, mengingatkan bahkan kenaikan temperatur sebesar 2o C sejak masa pra-industri akan memberikan tantangan yang sangat besar bagi pembangunan di sebagian besar wilayah Indonesia. Namun, apabila kenaikan temperatur menjadi 4o C, dampak perubahan iklim di Indonesia akan bertambah parah; beberapa di antaranya adalah terjadinya badai tropis yang lebih ekstrim dan memberikan dampak signifikan pada sektor-sektor pariwisata, bisnis, dan pertanian.
Studi terkini Bank Dunia ini menunjukkan bahwa kawasan Asia Tenggara akan mengahadapi dampak yang serius dengan kenaikan temperatur permukaan bumi 2C sampai 4C. Pesisir pantai di seluruh kawasan Asia Tenggara akan mengalami kenaikan air laut 10-15% lebih tinggi dibandingkan rata-rata kenaikan muka air laut global. Kenaikan temperatur sebesar 4C akan menyebabkan kota-kota yang terletak di pesisir dengan kepadatan populasi yang tinggi akan terpapar oleh intensitas badai yang meningkat, kenaikan permukaan air laut dalam jangka panjang, serta banjir di pesisir seketika (sudden onset). Kenaikan muka air laut 50 cm lebih tinggi dari tinggi muka laut saat ini pada tahun 2060, dan 100 cm di tahun 2090. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bangkok, Ho Chi Minh, Manila, dan Yangon, dan kota-kota lain yang terletak di pesisir diproyeksikan menjadi kota-kota yang terkena dampak paling besar.
Resiko kenaikan muka air laut yang lebih besar juga terjadi akibat penurunan tanah (land subsidence) di kawasan pesisir pantai, seperti yang terjadi di Semarang. Diperkirakan daratan seluas 2,227 ha di wilayah pesisir kota Semarang akan berada dibawah permukaan air pada tahun 2020.
Laporan tersebut juga memprediksi terjadinya penipisan stok ikan di Laut Jawa, dikarenakan kenaikan temperatur air laut serta menurunnya kadar oksigen, yang akan menyebabkan menurunnya populasi ikan di tahun 2050. Hal ini dapat berimbas pada pendapatan masyarakat yang bergantung pada perikanan laut, dan ketersediaan bahan pangan bagi penduduk di Pulau Jawa.
Intrusi air laut juga diperkirakan terjadi secara lebih luas. Dalam kasus wilayah Sungai Mahakam, diperkirakan intrusi air laut dapat meningkat 7-12% pada skenario 4C. Intrusi air laut diyakini dapat mengakibatkan dampak pada kesehatan manusia diantaranya darah tinggi, keguguran, infeksi pernapasan akut, dan diare.
Koordinator Indonesia Climate Action Network (ICAN) dan juga Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyatakan bahwa pemerintah, kalangan bisnis/swasta dan masyarakat umum harus menanggapi serius dampak jangka pendek dan panjang dari perubahan iklim, yang berpotensi menghambat kemajuan pembangunan, meningkatkan kemiskinan, dan meningkatkan biaya mitigasi dan penanggulangan bencana yang dapat menggerus sumberdaya keuangan negara.
ICAN juga menekankan bahwa kegiatan adaptasi perubahan iklim sudah semakin mendesak untuk dilakukan di Indonesia. Adaptasi perubahan iklim harus diintegrasikan dalam strategi dan rencana pembangunan di pusat dan daerah.
Fabby mengkritik lambatnya penyelesaian dan sosialisasi Rencana Aksi untuk Adaptasi Perubahan Iklim untuk Indonesia. Padahal di beberapa tempat di wilayah Indonesia, masyarakat sudah mengalami dampak perubahan iklim, terutama untuk masyarakat pesisir, yang tak jarang kehilangan mata pencahariannya.
Pentingnya melakukan adaptasi bukan berarti melupakan kegiatan mitigasi. Dengan melakukan mitigasi sekarang maka akan semakin sedikit upaya adaptasi yang diperlukan, sehingga akan menghindari terjadinya kerusakan permanen. Biaya untuk melakukan mitigasi saat ini, akan lebih murah daripada biaya untuk melakukan adaptasi. Kelalaian dalam melakukan mitigasi dan lambatnya adaptasi perubahan iklim akan berdampak pada kerugian sosial ekonomi dan lingkungan yang tidak dapat dikembalikan lagi (irreversible)
Indonesia telah memberikan komitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% dibandingkan dengan Business as Usual dengan dana sendiri, dan akan menambahkan 15% lagi jika ada bantuan dana dari luar yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan telah ditindaklanjuti dengan terbitnya RAD-GRK di sebagian besar provinsi di Indonesia. Namun, setelah dua tahun semenjak peluncurannya, RAN-GRK maupun RAD-GRK belum diimplementasi secara penuh. Banyak instansi kementerian dan lembaga serta Pemerintah Daerah belum dapat melaksanakan rencana tersebut karena faktor perencanaan, kapasitas, dan pendanaan. Situasi ini tentunya berdampak pada efektivitas emisi GRK yang dapat dikurangi.
ICAN mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk dapat mengimplementasikan RAN GRK serta RAD GRK secepatnya dan dilakukan secara konsisten. Walaupun hingga saat ini Indonesia bukanlah negara yang wajib menurunkan emisi GRK tetapi hasil penurunan emisi GRK di Indonesia dapat memberikan kontribusi positif terhadap upaya penurunan emisi global dan mengurangi resiko kenaikan rata-rata temperatur melebih 2C bahkan 3C.
Jakarta, 20 Juni 2013
Untuk Informasi dan wawancara lebih lanjut dapat menghubungi anggota ICAN sbb:
- Fabby Tumiwa (IESR), Email: fabby@iesr.or.id HP: 0811949759
- Nyoman Iswarayoga (WWF), Email: niswarayoga@wwf.or.id HP: 08111284868
- Nur Amalia (Pelangi), Email: amalia_aim@pelangi.or.id HP: 081310372739