Jakarta, 5 Juni 2023 – Advokasi pemuda menjadi salah satu cara yang paling efektif untuk mengusung perubahan. Untuk menggalang kesadaran dari pemuda, isu yang diperjuangkan harus dekat dan menarik diikuti. Misalnya saja menyambungkan topik dengan kegemarannya. Hal ini yang kemudian dilakukan oleh komunitas pemuda Kpop 4 Planet, yang berjuang untuk melawan krisis iklim dengan mengemasnya dengan musik pop korea (K-Pop). Berangkat dari kesamaan tujuan tersebut, Institute Essential Services Reform (IESR) mengundang Kpop 4 Planet untuk berbincang santai di Twitter Space mengenai PLTU batubara pada Senin (5/6/2023).
Ketertarikan yang sama antara Nurul Sarifah, aktivis Kpop4Planet dan koordinator kampanye di Jakarta, serta rekannya di Korea Selatan membawa mereka untuk membuat wadah untuk pemuda penikmat Kpop yang peduli iklim. Nurul memaparkan, sama seperti penggemar musik lain, penggemar Kpop juga ekspresif dalam mengungkapkan kegemarannya. Sehingga, perjuangan ini tidak terbatas pada penggemar Kpop saja. Ia juga menyatakan bahwa pemuda harus mulai awas, terutama dengan adanya dampak perubahan iklim nyata yang disebabkan oleh PLTU batubara.
“Di tahun saya lahir, hitungan partikel karbon dioksida di udara (parts per million) mencapai 368 ppm sementara sekarang sudah mencapai 416 ppm. Sedih untuk membayangkan bahwa seumur hidup kita harus merasakan kualitas udara yang tidak baik, dan bahkan akan memburuk jika kita terus menggunakan PLTU baru atau tidak memulai transisi energi,” jelas Nurul.
Untuk kedepannya, Kpop4Planet berharap bahwa salah satu pabrikan mobil Korea Selatan tidak lagi berencana untuk membangun PLTU baru sebesar 1,1 GW untuk menambang aluminum mereka selagi menunggu tenaga hidro yang baru mulai digunakan pada tahun 2029. Dengan tidak dipenuhinya tuntutan tersebut, pabrikan berpotensi untuk melakukan greenwashing pada konsumen.
Di sisi lain, terkait urgensi pemensiunan PLTU sendiri, Dr. Raditya Wiranegara, peneliti senior IESR, mengatakan bahwa kenaikan temperatur global saat ini sudah mencapai 1.1℃ dari ambang batas 1.5℃ yang berpotensi bencana. Untuk mengikuti komitmen menjaga kenaikan suhu di bawah 1.5℃ derajat tersebut, diperlukan pengurangan emisi sekitar 19-27 gigaton. Pengurangan ini bisa dimulai dengan mengurangi ketergantungan kita dengan bahan bakar fosil. Pilihan ini tentu memiliki imbas ekonomi. Misalnya saja ketenagakerjaan akan terdampak berikut dengan biaya yang diperlukan untuk mengalihfungsikan pekerja ke lapangan kerja baru. Sementara itu, tantangan terbesarnya justru terletak pada keperluan pendanaan yang besar.
“Pengakhiran operasional PLTU bisa mengikuti jadwal yang kompatibel dengan peta jalan IPCC. Pada tahap pertama, kita perlu memensiunkan 9.2 GW PLTU batubara, dilanjutkan dengan 21 GW PLTU di periode berikutnya, sehingga di 2045 bisa memensiunkan 12 GW. Selain itu, perlu dipikirkan juga pembangkit yang akan menggantikan dan proses pembangunannya sehingga tetap memenuhi kebutuhan energi. Kuncinya ada di perencanaan,” ungkap Raditya.
Di akhir diskusi, Raditya dan Nurul meyakini kemampuan pemuda dalam mengubah masa depan. Raditya menekankan perlunya generasi muda untuk terus mempertahankan semangat dan mengasah kemampuan untuk mempersiapkan diri untuk menyambut era energi bersih. Sementara, Nurul mengatakan bahwa generasi muda bisa mencari gerakan iklim yang sesuai dengan minat mereka masing-masing, karena melakukan apa yang kita pedulikan dan juga kita sukai akan menjadi kombo yang kuat untuk perjuangan iklim. Harapan keduanya, pemerintah dapat segera membuat peta jalan untuk memensiunkan PLTU dan suara pemuda juga didengar dalam keinginannya untuk bumi yang lebih asri.
Gambar oleh Markus Spiske di Unsplash
PLTU batubara, transisi energi, energi terbarukan, perubahan iklim, pemuda, Kpop4Planet, IESR, dekarbonisasi, net zero emission, pembangkit listrik tenaga surya, PLTS, advokasi, gerakan iklim, keberlanjutan, lingkungan, energi bersih, pemanasan global, generasi muda, partisipasi masyarakat, kebijakan energi, Indonesia