Transisi energi menjadi kata yang semakin populer pada tahun 2022. Hal ini merupakan suatu pertanda baik untuk menyebarkan isu transisi energi pada semakin banyak orang. Saat ini kita hidup di masa yang membutuhkan aksi cepat untuk penanganan krisis iklim yang sudah terjadi di depan mata. Transisi energi merupakan suatu solusi sistematik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang menjadi penyebab kenaikan suhu bumi sehingga menyebabkan krisis iklim.
Berbagai kelompok ilmuwan seperti Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah memperingatkan bahwa waktu kita untuk menahan laju kenaikan suhu bumi semakin sempit. Saat ini suhu bumi telah naik 1,1 derajat celcius dari masa pra-industri, dan seluruh dunia sedang berupaya untuk menahan laju kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, hingga tahun 2030 kita harus memangkas 45% emisi GRK global. Sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia, Indonesia mendapat tuntutan untuk mengurangi emisi terutama sektor energi dan penggunaan lahan.
Dari sektor energi, untuk menekan emisi GRK dan selaras dengan tujuan 1,5 derajat, Indonesia harus mempensiunkan 9,2 GW PLTU hingga 2030 dan secara bertahap memensiunkan seluruh kapasitas PLTU pada 2045. Penurunan jumlah kapasitas PLTU ini juga harus dibarengi dengan peningkatan pembangkit energi terbarukan secara masif serta peningkatan kualitas jaringan transmisi dan distribusi.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam forum Muda Bersuara yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) menyatakan bahwa jika Indonesia tetap mengembangkan energi fosil maka emisi dari sektor energi akan terus meningkat.
“Jika kita terus mengembangkan energi fosil, emisi kita akan naik hingga 3 kali lipat. Untuk menghindari hal itu maka PLTU harus dihentikan dan energi terbarukan harus terus ditambah,” jelas Fabby.
Kuki Soejachmoen, Co-Founder dan Executive Director Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) menyoroti tentang kebijakan transisi energi yang belum harmoni di berbagai level.
“Ada beberapa kebijakan yang tidak saling mendukung. Contohnya, di forum internasional kita komitmen mau transisi, tapi kebijakan pendukung dan enabling environment-nya tidak ada. Jadi komitmennya tidak bisa dijalankan,” jelas Kuki.
Kuki juga menambahkan bahwa Indonesia sedang dalam masa pembangunan yang berarti permintaan akan energi diprediksi akan terus naik, jika pembangunan energi masih berbasis bahan bakar fosil tentu hal ini akan membuat emisi Indonesia terus naik.
Melissa Kowara, aktivis Extinction Rebellion Indonesia, menilai bahwa, meskipun terminologi transisi energi sudah semakin populer digunakan, namun secara kebijakan masih belum terlihat.
“Walaupun pemerintah Indonesia dan negara-negara di dunia sudah menjadikan transisi energi sebagai isu prioritas namun dalam pelaksanaannya masih belum mewujudkan transisi energi bahkan beberapa cenderung ‘salah arah’ seperti adanya rencana penggunaan CCS/CCUS untuk PLTU,” tutur Melissa.
Menanggapi hal ini Fabby Tumiwa mengatakan memang dibutuhkan dorongan publik supaya terjadi reformasi kebijakan untuk transisi energi.
“Saat ini ada beberapa perubahan kebijakan, yang jika dilaksanakan dengan baik dapat membantu kita menjalankan transisi energi. Di sini salah satu peran publik dapat menjadi pengawas bagaimana pemerintah melaksanakan aturan-aturan tersebut dan ikut mengingatkan saat ada kelalaian,” pungkas Fabby.