JAKARTA (IFT) – Subsidi listrik hingga kuartal III 2011 mencapai Rp 65,77 triliun, melebihi kuota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011 sebesar Rp 65,5 triliun. Besaran subsidi sepanjang Januari-September itu naik 57% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 41,89 triliun didorong kenaikan konsumsi bahan bakar minyak untuk pembangkitPT PLN (Persero).
Setio Anggoro Dewo, Direktur Keuangan PLN, mengatakan hingga akhir September, PLN mengeluarkan dana Rp 64,74 triliun untuk pembelian bahan bakar minyak, naik dari 65,1% periode yang sama tahun lalu Rp 39,2 triliun. Dana itu digunakan untuk membeli solar (high speed diesel) sebanyak Rp 52,5 triliun, residu Rp 12,09 triliun, minyak diesel (industrial diesel oil) Rp 92,2 miliar, dan bahan bakar minyak jenis lainnya Rp 42,7 miliar.
“Kenaikan pembelian bahan bakar minyak itu karena selain dari sisi volume kebutuhannya meningkat, tapi dari sisi harga juga naik. Awalnya, kami proyeksikan pembelian bahan bakar minyak dengan asumsi harga minyak US$ 85 per barel, tapi ternyata rata-ratanya US$ 111 per barel,” ujar Dewo kepada IFT, Rabu.
M Suryadi Mardjoeki, Kepala Divisi Bahan Bakar Minyak dan Gas PLN, menjelaskan realisasi konsumsi bahan bakar minyak untuk pembangkit perseroan hingga kuartal III 2011 mencapai 8,3 juta kiloliter atau 94% dari kuota yang ditetapkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2011 sebesar 8,8 juta kiloliter. Tingginya konsumsi bahan bakar minyak itu karena mundurnya penyelesaian proyek 10 ribu megawatt tahap I dan rendahnya realisasi konsumsi gas dan batu bara PLN.
Menurut Suryadi, keterlambatan pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap dalam proyek 10 ribu megawatt tahap I telah membuat konsumsi batu bara PLN tidak optimal. Realisasi konsumsi batu bara PLN hingga September baru 19 juta ton atau 48% dari alokasi batu bara di RKAP tahun ini 40 juta ton. Sementara konsumsi gas PLN hingga kuartal III mencapai 217 triliun British thermal unit atau sekitar 73% dari target RKAP 2011 sebesar 296 triliun British thermal unit.
“Keterlambatan pengoperasian pembangkit itu membuat PLN harus mengoperasikan pembangkit listrik berbahan bakar minyak untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat yang terus meningkat,” ujarnya.
PLN telah mengeluarkan dana sebesar Rp 88,66 triliun untuk pembelian bahan bakar pembangkit perseroan sepanjang periode Januari hingga September 2011, naik 44,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 61,3 triliun. Dari total pengeluaran tersebut, sekitar 73% atau Rp 64,74 triliun untuk membeli bahan bakar minyak. Sisanya, sebesar Rp 23,7 triliun untuk membeli bahan bakar non minyak dan Rp 204,92 miliar untuk membeli minyak pelumas.
PLN, menurut Dewo, mengaku kesulitan menurunkan konsumsi bahan bakar minyak dalam jangka pendek. Namun secara jangka menengah, Dewo optimistis konsumsi bahan bakar minyak pembangkit PLN akan turun seiring mulai beroperasinya pembangkit listrik berbahan bakar non-minyak yang masuk dalam proyek 10 ribu megawatt tahap I dan II.
Tanggung Jawab
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Indonesia, menjelaskan dengan melihat realisasi subsidi listrik hingga September, realisasi subsidi listrik hingga akhir tahun diproyeksikan berkisar Rp 80 triliun-Rp 85 triliun. Pemerintah harus mencari sumber pendanaan untuk menutupi subsidi listrik yang melebihi kuota tersebut. “Pemerintah dan PLN harus bertanggung jawab atas meningkatnya subsidi listrik, karena dana Anggaran Perubahan merupakan dana publik,” katanya.
Tingginya konsumsi bahan bakar minyak di pembangkit PLN, menurut Fabby, disebabkan perseroan melayani seluruh permintaan listrik dari pelanggan dengan menghidupkan banyak pembangkit listrik tenaga diesel. Kebijakan itu dinilai bagus karena dapat meningkatkan rasio elektrifikasi nasional. Namun di sisi lain, ada konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan pemerintah melalui subsidi listrik. “Langkah itu bagus, tapi tidak rasional karena semua beban diserahkan ke publik,” ujar dia.
Herman Daniel Ibrahim, Anggota Dewan Energi Nasional, menyatakan kenaikan subsidi listrik PLN sudah dapat diprediksi sejak awal karena untuk menutupi kekurangan pasokan listrik, PLN mengoperasikan pembangkit listrik tenaga diesel.
Tingginya konsumsi bahan bakar minyak merupakan konsekuensi dari keterlambatan proyek 10 ribu megawatt tahap I. Menurut Herman, biaya pokok produksi listrik untuk pembangkit listrik berbahan bakar batu bara sekitar Rp 400 per kilowatt hour. Sedangkan biaya pokok produksi untuk pembangkit berbahan bakar minyak Rp 3.000 per kilowatt hour.
Untuk mendorong peningkatan pasokan gas bagi PLN, Herman menyarankan pemerintah turun tangan dengan mengatur harga beli gas oleh PLN. Harga gas yang ditetapkan pemerintah itu harus menguntungkan produsen gas, namun lebih murah daripada harga bahan bakar minyak.
“Misalnya kami membeli gas dengan harga US$ 10 per juta British thermal unit (mmbtu), itu kan biaya pokok produksinya sekitar Rp 900 per kilowatt hour. Kalau kami pakai minyak, biaya produksinya Rp 3.000 perkilowatthour,” kata dia.
Hingga kuartal III 2011, PLN membukukan laba bersih Rp 9,8 triliun, turun 15% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 11,51 triliun. Penurunan laba bersih akibat kenaikan beban usaha dan beban keuangan yang lebih tinggi dari kenaikan pendapatan.
Sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini, PLN membukukan pendapatan Rp 152,37 triliun, tumbuh 27,68% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 119,34 triliun. Kontribusi terbesar berasal dari penjualan listrik yang meningkat menjadi Rp 85,23 triliun dari Rp 76,51 triliun.
Sumber: Indonesia Finance Today.