Jakarta Kompas — Pasca reformasi pada 1998 atau sejak 20 tahun lalu, pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih menyisakan pekerjaan rumah. Komoditas tambang, minyak dan gas bumi masih dianggap sebagai sumber penerimaan negara, bukan sebagai sumber penggerak perekonomian. Namun, ada sejumlah perbaikan dalam hal tata kelola pemerintahan.
Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia, koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas sumber daya ekstraktif, Maryati Abdullah mengatakan, paradigma pengelolaan sumber daya alam Indonesia masih menganggap sebagai komoditas yang menjadi sumber penerimaan negara. Ketergantungan itu cukup tinggi dilihat dari rerata kontribusi minyak sebesar 64 persen dan gas 25 persen untuk keseluruhan PNBP sektor sumber daya alam untuk periode 2004-2016.
“Tantangannya adalah bagaimana 20 tahun setelah reformasi, kita bisa mengurangi ketergantungan pada cara berpikir sumber daya alam sebagai komoditas,” kata Maryati dalam diskusi bertajuk “Catatan Pengelola Energi dan Sumber Daya Alam #20TahunReformasi”, Jumat (25/5/2018), di Jakarta.
Sejumlah daerah penghasil migas, misalnya, lebih dari separuh APBD mereka bergantung pada Dana Bagi Hasil (DBH) migas. Anggaran di daerah tersebut menjadi defisit tatkala harga komoditas jatuh. Situasi tersebut, menurut Maryati, menunjukkan ada yang tidak tepat dalam hal pengelolaan sumber daya alam di dalam negeri.
Beberapa hal yang menunjukkan perbaikan pasca reformasi, lanjut Maryati, adalah meningkatnya ruang aspirasi dan akuntabilitas, serta efektivitas pemerintahan yang turut membaik. Namun, di sisi lain, masih terdapat pekerjaan rumah dalam hal kualitas perundangan, penegakan hukum, dan kontrol terhadap korupsi.
Menurut Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, salah satu hal yang cukup menonjol dalam hal pengelolaan energi dan sumber daya alam di Indonesia adalah ketidakkonsistenan penerapan aturan. Ia mencontohkan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya mengenai larangan ekspor mineral mentah.
“Sempat dilarang (ekspor mineral mentah), ternyata berdampak pada merosotnya penerimaan negara. Akhirnya, keran ekspor dibuka lagi. Ini kan menunjukkan serba tidak pasti. Padahal, bisnis tambang itu butuh kepastian dengan sifatnya yang berbentuk bisnis jangka panjang,” ujar Enny.
Enny menambahkan bahwa ide pengelolaan seharusnya menempatkan sumber daya alam sebagai sumber energi dan berikutnya sebagai sumber penerimaan negara (devisa). Ia juga mengingatkan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus sesuai amanat konstitusi, yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sementara itu, Ridaya Laode Ngkowe, pemerharti isu sumber daya alam sekaligus aktivis ’98, mengatakan, reformasi belum membawa Indonesia pada jalur pengelolaan sumber daya alam yang baik dan benar. Selain dilanda euforia, Indonesia belum memiliki model tepat dan contoh yang cocok dengan kondisi di Indonesia saat itu. Akibatnya, seperti yang dikatakan panelis sebelumnya, Indonesia belum sepenuhnya berdaulat dalam mengelola sumber daya alamnya.
Tama Satrya Langkun, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan pada Indonesia Corruption Watch (ICW), menambahkan, era reformasi yang menjadi titik awal era otonomi daerah justru menyuburkan praktik korupsi di daerah. Banyak kepala daerah terjerat korupsi terkait obral perizinan tambang disertai suap di daerah tersebut. Belum lagi persoalan kerusakan lingkungan akibat deforestasi yang masif yang juga berawal dari obral izin.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, mengatakan, era sebelum reformasi sangat kental dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) terkait pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Namun, kendati reformasi sudah berlangsung sejak 20 tahun lalu, hal itu tidak menjamin pengelolaan sumber daya alam bebas dari praktik KKN. Isu pengelolaan sumber daya alam di Indonesia juga bergeser yang semula anti liberalisasi ke anti (investasi) asing.
Sumber: Kompas.id