Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bisa jadi kian khawatir soal masa depan kondisi keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Dia pun menuliskan surat ke Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri ESDM Ignasius Jonan pada 19 September. Dia menuliskan kekhawatiran itu ke dalam lima poin.
Surat itu bocor dan beredar di media sosial. Kementerian Keuangan akhirnya mengatakan pihaknya akan mengusut siapa pembocor surat tersebut ke publik.
Namun pada inti surat itu, Sri Mulyani menilai kondisi keuangan PLN tak bakal mampu menopang proyek 35.000 MW yang digagas Presiden Jokowi.
Salah satunya karena soal kinerja keuangan PLN tengah surut. Ini lantaran penjualan listrik tak mencapai target dan diiringi dengan kebijakan pemerintah yang tak ingin harga setrum berubah hingga akhir tahun nanti.
Akibatnya, ini tak bisa menunjang kas operasional perusahaan, yang berakibat pada kemampuan perusahaan untuk melunasi utang.
Ani, panggilan akrab Sri Mulyani, pun mengharapkan bahwa kebijakan untuk menahan harga listrik perlu didukung regulasi yang mendorong penurunan biaya produksi tenaga listrik.
Tak hanya itu, ia juga berharap Kementerian BUMN dan ESDM bisa meninjau kembali proyek 35 ribu MW.
“Selain itu, kami mengharapkan saudara dapat mendorong PT PLN untuk melakukan efisiensi biaya operasi (utamanya energi primer) guna mengantisipasi peningkatan risiko gagal bayar di tahun-tahun mendatang,” tulis Ani dalam suratnya.
Surat ini macam ‘ancaman’ proyek setrum Jokowi.
Butuh Rp585 Triliun
Pada 2014, Jokowi dihadapkan pada angka rasio elektrifikasi sebesar 84,35 persen. Presiden berharap, angka ini bertambah jadi 97 persen ketika masa pemerintahannya berakhir pada 2019 mendatang.
Direktur PLN Syamsul Huda mengatakan, PLN butuh anggaran Rp585 triliun demi untuk menyukseskan program 35.000 MW.
Uang itu sebagian besar digelontorkan untuk pembangunan jaringan kelistrikan sebesar Rp385 triliun, sementara pembangkitnya membutuhkan dana Rp200 triliun.
Oleh karenanya, tak heran jika PLN menutup kebutuhan pendanaan tersebut dengan utang. Sejak 2015 hingga September 2017, PLN telah memperoleh pembiayaan sebesar Rp117,4 triliun.
Kemudian, perusahaan juga berencana menambah pinjaman Rp50,1 triliun untuk tahun ini dan berniat mencari pendanaan sebesar Rp349,6 triliun antara 2018 hingga 2021.
“Secara bertahap kami akan cari pendanaannya. Karena secara formal, belum ada revisi 35 ribu MW,” ungkapnya.
Kendati demikian, Kementerian BUMN memastikan bahwa PLN akan tetap mencari pendanaan yang aman.
Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah mengatakan, PLN mengaku berkomitmen untuk mendapatkan pinjaman melalui lembaga multilateral development bank guna mendapatkan biaya dana yang lebih murah.
Direktur Eksekutif Institute Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, wajar saja Sri Mulyani menyoroti potensi gagal bayar PLN di masa depan.
Sebab, jika utang PLN, utamanya yang berbentuk global bond dinyatakan gagal, maka itu akan berpengaruh terhadap peringkat utang Indonesia.
Terlebih, pemerintah juga membutuhkan utang untuk menambal defisit anggaran yang dipatok 2,19 persen di dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun depan.
Di tahun depan saja, pemerintah berencana menarik utang Rp399,19 triliun. Bahkan, sebagian dari pembiayaan itu juga akan diteruskan ke PLN sebesar Rp5,24 triliun untuk menyelesaikan 21 proyek ketenagalistrikan.
Wajar saja, Sri Mulyani kemudian ketar-ketir dibuatnya.
“Yang ditakutkan sebetulnya cross default, di mana potensi gagal bayar ini bisa berimbas ke anggaran. Sementara, Indonesia kan juga butuh uang untuk menambal APBN,” ujar Fabby.
Meski demikian, harapan pemerintah tak boleh susut. Memang, utang tak bisa dibendung, tapi tentu ada cara untuk mengurangi risiko gagal bayar utang PLN sembari melanjutkan program 35 ribu MW.
Biaya Energi Primer
Dalam jangka pendek, Fabby menuturkan, PLN bisa melakukan efisiensi biaya energi primer yang harganya fluktuatif. Apalagi, 81,4 persen dari pembangkit di Indonesia menggunakan tenaga energi primer. Tapi, agar efisiensi bisa berjalan, tentu dibutuhkan regulasi dari pemerintah ihwal harga energi primer.
Di sisi lain, anggota Komisi VII DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Rofi Munawar mengatakan, PLN juga harus mengefisiensikan beban energi primer dan perlu cermat dalam melakukan diversifikasi bauran energi.
Jika tidak, maka keuangan PLN bisa semakin kronis.
Menurutnya, langkah ini sangat krusial di tengah langkah pemerintah yang tidak menghendaki kenaikan tarif listrik sejak awal tahun lalu. “Apa yang disampaikan oleh Menteri Keuangan tentu saja mengonfirmasi kondisi terkini atas beragam potensi yang terjadi,” ujarnya.
Selain itu, dia menganggap kasus ini bisa jadi pembelajaran bahwa segala proyek pemerintah yang bersifat populis wajib memiliki persiapan yang matang.
Oleh karenanya, sudah sepatutnya risiko gagal bayar PLN ini diketahui oleh Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM agar keduanya bisa punya perencanaan lebih baik di masa mendatng.
“Dengan surat tersebut sebenarnya semakin menegaskan kekhawatiran publik selama ini terhadap kinerja PLN sebagai tulang punggung dalam program 35 ribu MW,” jelasnya.
Sumber: cnnindonesia.com.