#WeThePeopleHaveThePower:
Rooftop Solar dan Demokrasi Energi di Indonesia
Karena energi adalah kebutuhan mendasar manusia modern, idealnya, masyarakat juga memiliki hak untuk mendapatkan dan menggunakan energi bersih dan terbarukan. Bagaimana rooftop solar dapat menjawab tantangan ini di Indonesia?
Kontributor: Marlistya Citraningrum, Program Manager – Sustainable Energy Access
Sebagai negara yang terletak di khatulistiwa, potensi energi surya di Indonesia terbilang besar dan berlimpah sepanjang tahun. Potensi teknis pembangkitan listrik energi surya (fotovoltaik) di Indonesia mencapai 559 GW, dan beberapa lokasi di Indonesia dapat menghasilkan listrik fotovoltaik hingga 1.680 kWh per tahun untuk setiap 1 kWp (kilowatt peak) panel surya terpasang. Dengan potensi yang tinggi dan perkembangan teknologi yang sangat pesat yang berkontribusi pada meningkatnya akses pada produk fotovoltaik dan turunnya harga pembangkitan listrik fotovoltaik, tren penggunaan energi surya semakin meningkat setiap tahunnya.
Energi surya adalah satu dari sedikit jenis energi terbarukan yang secara langsung dapat diakses masyarakat dan dapat digunakan dengan variasi skala yang beragam. Tidak hanya untuk pembangkitan listrik skala besar yang membutuhkan tanah yang luasnya berhektar-hektar (di atas 10 MW), energi surya dapat dinikmati masyarakat umum dengan penggunaan rooftop solar berkapasitas beberapa kWp hingga sekecil lampu meja dan power bank. Tidak berlebihan bila energi surya disebut sebagai “sumber energi yang demokratis” karena dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan berbagai bentuk dan skala kapasitas.
Penggunaan energi surya dalam bentuk rooftop solar di Indonesia sendiri masih sangat terbatas. Meski secara global telah menjadi tren yang terus berkembang setiap tahunnya, masyarakat Indonesia masih belum memiliki akses yang komprehensif dan merata pada informasi dan variasi produk rooftop solar. Hingga bulan Januari 2019, PLN mencatat pelanggannya yang menggunakan rooftop solar tersambung jaringan (on-grid) baru mencapai 609 orang. Informasi mengenai rooftop solar, baik dari informasi teknis, produk, hingga kebijakan dan regulasi, masih terbatas di kalangan tertentu; kebanyakan didominasi kalangan menengah ke atas dan mereka yang terpapar pada isu energi atau ketenagalistrikan. Selain itu, harga produk rooftop solar masih dianggap tinggi. Dengan rata-rata harga USD 1,000/kWp, pelanggan rumah tangga yang ingin menggunakan energi surya masih enggan untuk memasang panel surya karena mereka harus mengeluarkan sejumlah uang dalam jumlah besar dan belum dimungkinkan untuk dibayar dengan skema cicilan.
Tren penggunaan rooftop solar oleh pelanggan listrik rumah tangga mulai terlihat signifikan sejak tahun 2013. Sebelum 2013, tidak ada aturan yang secara khusus mengakomodasi pelanggan listrik rumah tangga yang memasang panel surya di rumahnya, dan karenanya dapat memicu masalah dengan PLN sebagai satu-satunya perusahaan yang secara hukum berkekuatan legal untuk memproduksi dan menjual listrik di Indonesia. Untuk melindungi pelanggan listrik rumah tangga yang memasang rooftop solar di rumah mereka, PLN mengeluarkan Peraturan Direksi No. 0733.K/DIR/2013 yang mengatur pemanfaatan listrik fotovoltaik dengan skema net-metering. Pelanggan PLN dapat mengoperasikan rooftop solar secara paralel dengan sistemn PLN dan diizinkan untuk mengirimkan kelebihan produksi listriknya ke jaringan PLN. Meter ekspor-impor dipasang di rumah pelanggan dan jumlah listrik yang dikirim ke jaringan PLN akan di-offset dengan listrik PLN yang digunakan pelanggan, dengan nilai 1:1 (setara tarif dasar listrik pelanggan). Kelebihan listrik dari ekspor-impor akan dijadikan deposit untuk bulan berikutnya dan diberlakukan rekening minimum sesuai daya terpasang bagi pelanggan.
Meski telah memiliki payung hukum, peraturan ini tidak disosialisasikan secara masif dan diterjemahkan secara berbeda oleh kantor-kantor regional PLN; sehingga pelanggan PLN yang hendak memasang rooftop solar di rumahnya dan menyambungkannya ke jaringan PLN belum tentu mendapatkan persetujuan kantor regional PLN setempat.
Dengan semakin pesatnya teknologi fotovoltaik dan persebaran informasi yang semakin luas, minat masyarakat juga semakin meningkat; tidak hanya dari kalangan rumah tangga melainkan juga dari pihak komersial dan industri. Perusahaan-perusahaan di Indonesia yang memiliki induk perusahaan multinasional, banyak memiliki kebijakan internal yang berkaitan dengan energi untuk merespon isu perubahan iklim. Beberapa perusahaan multinasional yang tergabung dalam Grup RE100, yaitu aliansi perusahaan yang berkomitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan dalam produksi mereka, memiliki lokasi produksi atau mitra produksi di Indonesia yang juga harus berkontribusi pada visi perusahaan. Penggunaan rooftop solar merupakan salah satu cara kontribusi yang mereka gunakan. Pembangkitan listrik mandiri ini seringkali terkendala dengan aturan operasi paralel PLN, yang mensyaratkan pelanggan untuk mematuhi aturan teknis tertentu dan membayar sejumlah biaya (parallel charge) setara dengan kapasitas listrik yang mereka bangkitkan.
Merespon peningkatan minat pemanfaatan rooftop solar ini, pada tahun 2017, Kementerian ESDM bersama dengan beberapa kementerian dan lembaga pemerintah lain, asosiasi, lembaga non-pemerintah (termasuk IESR), dan universitas mendeklarasikan inisiatif Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap/GNSSA, yang bertujuan untuk mendorong pencapaian target Kebijakan Energi Nasional (6,5 GW pemanfaatan energi surya pada tahun 2025). GNSSA sendiri memiliki target kapasitas kumulatif rooftop solar sebesar 1 GW pada tahun 2020. Deklarasi GNSSA dan sosialisasi yang dilakukan oleh beragam institusi mampu mendorong peningkatan pemanfaatan rooftop solar di Indonesia, terlihat dari kenaikan jumlah pelanggan PLN pengguna rooftop solar on-grid yang cukup signifikan. Semakin banyak pelanggan PLN golongan rumah tangga yang tertarik memasang rooftop solar dengan beragam alasan: menggunakan energi bersih dan terbarukan, menghemat tagihan listrik, mandiri energi, menerapkan gaya hidup berkelanjutan, hingga kebanggaan karena menggunakan teknologi yang maju dan modern. Skema net-metering dengan transaksi kredit listrik 1:1 merupakan salah satu daya tarik penggunaan rooftop solar, mengingat motivasi penghematan menjadi salah satu alasan utama mereka.
Perkembangan ini kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Menteri ESDM no. 49/2018. Payung hukum yang lebih kuat untuk pengguna rooftop solar dibandingkan Peraturan Direksi PLN sebelumnya ini merupakan salah satu milestone penting dalam agenda pencapaian target energi terbarukan Indonesia dan mendorong pertisipasi masyarakat luas untuk pencapaian target tersebut. Permen ESDM No. 49/2018 ini memuat banyak hal terkait pemanfaatan rooftop solar oleh pelanggan PLN, di antaranya aturan teknis mengenai kapasitas pemasangan rooftop solar, skema transaksi kredit listrik dengan PLN, prosedur perizinan dan pemasangan rooftop solar, serta prosedur penggunaan rooftop solar bagi pelanggan komersial dan industri.
Namun demikian, pokok bahasan yang diatur dengan Permen ESDM No. 49/2018 justru memiliki potensi menghambat adopsi penggunaan rooftop solar oleh pelanggan rumah tangga, komersial, dan dan industri. Mengapa?
- Nilai transaksi kredit listrik yang diekspor ke PLN oleh pelanggan dikali 65% dan dengan siklus 3 bulanan
Angka ini lebih kecil dibanding dengan nilai transaksi kredit listrik yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Direksi PLN No. 0733.K/DIR/2013 yang memberikan besaran transaksi 1:1. Studi pasar yang dilakukan IESR dengan GIZ-INFIS menunjukkan bahwa salah satu motivas masyarakat untuk menggunakan rooftop solar adalah potensi payback period yang pendek. Nilai transaksi kredit listrik yang lebih rendah dalam Permen ESDM No. 49/2018 akan memperpanjang payback period pengguna rooftop solar dan membuat investasinya kurang menarik bagi pelanggan. Pengakumulasian selisih kelebihan ekspor listrik rooftop solar ke PLN juga diperpendek dalam aturan ini; yang awalnya 1 tahun menjadi hanya 3 bulan. Pemendekan periode reset ini juga mengurangi daya tarik pemanfaatan rooftop solar.
Salah satu alasan yang kekhawatiran yang muncul dari PLN adalah potensi kehilangan pendapatan (revenue loss), apabila banyak pelanggannya yang memasang rooftop solar di saat penjualan listrik PLN tidak mencapai target pertumbuhan sales. Simulasi IESR menunjukkan bahwa bila target GNSSA tercapai pada tahun 2020, persentase listrik yang dihasilkan dari rooftop solar hanya sebesar 0,42% dari total proyeksi pembangkitan listrik PLN dan PLN hanya akan kehilangan pendapatan sebesar 0,52% dari pendapatannya pada tahun berikutnya (2021), dengan nilai transaksi kredit listrik sesuai Permen ESDM No. 49/2018.
2. Perizinan yang lebih rumit
Dalam agenda percepatan pembangunan listrik surya atap di Indonesia termasuk di antaranya dengan mendorong partisipasi sebanyak mungkin pihak, pengajuan izin sebelum pemasangan ini sebaiknya tidak diberlakukan untuk pelanggan yang hendak memasang rooftop solar dengan kapasitas kecil (di bawah 200 kW). Mengingat mereka memasang rooftop solar di properti milik mereka sendiri, dengan biaya yang juga mereka keluarkan sendiri; pemerintah seyogyanya memberikan kemudahan untuk pengoperasian paralel instalasi tersebut dengan jaringan PLN. Idealnya, pelanggan hanya perlu memberikan notifikasi pengajuan penggantian kWh exim (ekspor-impor) pada PLN. Klausul izin dalam Permen ESDM No. 49/2018 ini memberikan kewenangan mutlak pada PLN setempat untuk menolak atau mengeluarkan izin pemasangan rooftop solar. Proses perizinan yang lebih rumit ini juga ditambah dengan persyaratan bahwa pemasang rooftop solar adalah Badan Usaha dengan sertifikasi tertentu, yang dapat menambah biaya investasi awal untuk pelanggan dan juga tidak tersedia secara merata di banyak lokasi di Indonesia.
3. Masih berlakunya charge untuk pelanggan industri
Aturan ini secara kontradiktif mengecualikan pelanggan industri untuk memasang PLTS Atap dari Permen ESDM No. 1/2017, namun masih menyebutkan adanya ketentuan mengenai capacity charge dan emergency charge. Dengan minat dari kalangan komersial dan industri yang cukup tinggi untuk menggunakan energi terbarukan dengan berbagai alasan, ketentuan ini menjadi disinsentif tersendiri karena menambah biaya yang lebih besar.
**
Dengan potensi energi surya yang tinggi dan pemanfaatan yang masih terbatas, Indonesia memiliki peluang dan tantangan yang besar untuk meningkatkan penggunaannya. Demokrasi energi di Indonesia harus didorong dengan pemanfaatan energi surya untuk melistriki lokasi-lokasi yang sulit terjangkau secara geografis dan tersedianya enabling environment untuk masyarakat yang ingin beralih ke energi terbarukan. Pemerintah harus mampu melihat kondisi ini sebagai tren masa kini dan masa depan yang diakomodasi dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung, baik dari segi perlindungan hukum, keteknisan, hingga insentif-insentif fiskal mau pun non-fiskal. PLN sebagai entitas bisnis juga dapat melihat peluang ini untuk terjun ke sektor energi terbarukan, tidak hanya menjawab meningkatnya minat masyarakat dan sektor komersial serta industri, melainkan juga untuk memodernisasi pembangkitan listrik dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
1 Comment
Varian
Hai,
Saya sangat tertarik membaca artikel-artikel di situs ini, sangat informatif dan memberikan pandangan baru terhadap energi surya.
Saya ingin menanyakan kurang lebih secara agregat kasar saja, berapa persen tingkatan penggunaan/pengaplikasian panel surya di sektor industri, bukan rumah tangga? dan kira-kira faktor apa sajakah yang membuat perusahaan memilih tidak menggunakan panel surya?
Terimakasih banyak untuk bantuannya, saya tidak perlu data yang komprehensif, hanya gambaran kasar saja untuk mengetahui market overview di Indonesia.