Mengenalkan Serba-Serbi PLTS Atap pada Siswa SMK Negeri 7 Semarang

Semarang, 6 Juni 2023 – Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah mengadakan pelatihan teknis pembangunan dan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia di bidang ketenagalistrikan, energi baru dan terbarukan, konservasi energi, khususnya untuk instalasi pemasangan PLTS atap.  Pelatihan PLTS atap diikuti oleh 30 perwakilan siswa-siswi kelas 12 (dua belas) Program Studi Teknik Ketenagalistrikan, SMK Negeri 7 Semarang.

Kepala SMK Negeri 7 Semarang, Haris Wahyudi, menyambut baik inisiatif Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah ini dan berpendapat bahwa pelatihan PLTS ini merupakan keterampilan yang tepat untuk siswa-siswanya. 

“Pelatihan ini adalah hal yang sangat tepat untuk bekal peserta didik kita, baik yang akan magang kerja maupun menghadapi dunia kerja. Kompetensi ini sangat diperlukan dan tepat sekali dengan tren saat ini. Kami bersyukur dan berterima kasih diberikan kesempatan atas terselenggaranya kegiatan ini di SMK Negeri 7 Semarang,” katanya.

Haris menambahkan bahwa pihaknya berharap pelatihan ini dapat memotivasi dan bermanfaat, sehingga tingginya peluang kerja PLTS atap di masa mendatang bisa diisi oleh anak-anak dengan keahlian dan bekal yang baik.

Kegiatan pelatihan PLTS atap ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Dinas ESDM untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian generasi muda, agar mampu untuk ikut andil dalam menghadapi transisi energi. 

Boedyo Dharmawan, Plt. Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah dalam sambutannya mengatakan bahwa Jawa Tengah memiliki potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang cukup banyak dan melimpah, praktik-praktik pemanfaatan EBT sudah banyak dibangun dan dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa Tengah. Dia berharap generasi-generasi muda mampu memahami dan siap menghadapi perubahan-perubahan transisi energi yang terus terjadi saat ini.

“Tiga puluh lima kab/kota di Provinsi Jawa Tengah memiliki potensi energi PLTS yang begitu banyak, dan kedepannya kita akan berangsur-angsur meninggalkan energi fosil karena ketersediaannya yang terus berkurang, ini adalah sebuah keniscayaan, kita perlu bersiap diri dan siap menghadapinya,” kata Dharmawan. 

“Harapannya dengan adanya pelatihan PLTS ini, adik-adik bisa membangun dan merawat dengan baik pengelolaan PLTS. Karena jika kita hanya terus mendorong dan masifnya pembangunan energi solar, tetapi pemeliharaan dan perawatannya kurang, kedepannya ini bisa menjadi kesempatan dan peluang kerja bagi adik-adik di masa mendatang,” lanjutnya

Selain itu, Darmawan juga berharap agar program-program EBT dapat didukung dari semua pihak termasuk lingkungan pendidikan di Provinsi Jawa Tengah.

“Kami sangat berharap dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendorong program-program pengembangan energi terbarukan, sehingga siswa-siswi SMK Negeri di Jawa Tengah siap menghadapi konversi energi di masa mendatang,” imbuhnya

Rizqi M Prasetyo, staf Program Regional Jawa Tengah, Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR) berpartisipasi menjadi salah satu pembicara dalam kegiatan pelatihan teknis PLTS atap, dengan tema “The Green Superheroes: Solar Team is Saving the Planet!”. Pemberian materi diawali dengan kuis peluang kerja PLTS di masa mendatang, yang diikuti dengan antusias oleh peserta.  

“Materi yang disampaikan jelas, cara penyampaiannya lebih seru, jadi kita gak bosen mendengarkan, diselingi kuis lewat HP sehingga apa yang diberikan mudah dimengerti, karena cara penyampaiannya yang enak gitu,” kata Aditya Arya Permata, salah satu siswa kelas 12 SMK Negeri 7 Semarang.

Rizqi juga memberikan gambaran-gambaran bagaimana kondisi iklim dan lapangan pekerjaan di masa sekarang dan masa mendatang. Dirinya berharap peserta pelatihan dapat melek dan memiliki kesadaran yang tinggi bahwa pengembangan energi terbarukan, khususnya energi surya, dapat membuka lapangan pekerjaan baru yang ramah lingkungan. 

“Kami berharap dengan adanya pelatihan PLTS di SMK ini dapat mendorong dan memotivasi generasi muda menjadi generasi yang sadar lingkungan dan paham pentingnya transisi energi, sehingga kedepannya mampu berkontribusi, berinovasi, serta memimpin proses transformasi ekonomi rendah karbon melalui energi surya,” ungkap Rizqi.

Selain IESR, materi pelatihan juga disampaikan oleh Dinas ESDM Provinsi dan PPSDM EBTKE. Pelatihan ini berlangsung dari 6 – 8 Juni 2023 dengan materi meliputi Kebijakan dan Pengembangan PLTS atap di Jawa Tengah, Regulasi dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) PLTS, Sistem dan Komponen PLTS dan diakhiri dengan praktik pemasangan instalasi PLTS atap.

Memahami Konteks Transisi yang Adil di Daerah Penghasil Batubara

Jakarta, 10 Mei 2023 – Upaya global untuk beralih dari sumber daya listrik berbasis fosil akan mengarah pada peralihan dari batu bara. Transisi ini tidak hanya membawa perubahan drastis pada sektor hulu yaitu produksi batubara, tetapi juga mata pencaharian dan aktivitas ekonomi di daerah penghasil batubara.

Srestha Banerjee, direktur program Just Transition iForest India, selama webinar berjudul “The Just Transition Toolbox for Coal Regions — Knowledge needs in the South-East-Asian context” menekankan bahwa masalah transisi lebih merupakan masalah politik daripada masalah teknis.

“India telah menunjuk gugus tugas untuk merancang solusi yang berpusat pada manusia untuk transisi batubara. Selain menggali kebutuhan masyarakat melalui dialog dan diskusi, kita perlu contoh praktik transisi yang baik untuk meningkatkan kepercayaan diri masyarakat,” jelas Srestha.

Indonesia, negara eksportir batu bara terbesar, mengalami ketidakpastian transisi batu bara yang mendukung agenda transisi energi berkeadilan. Seiring melonjaknya harga batubara dunia tahun lalu, Indonesia menghadapi dilema antara mengurangi produksi batubara atau tetap menjalankan bisnis seperti biasa.

Marlistya Citraningrum, manajer program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform mengatakan, sejak tahun lalu pemerintah Indonesia mulai lebih mengandalkan energi terbarukan dalam perencanaan ketenagalistrikan PLN yaitu dokumen RUPTL, namun implementasinya masih menghadapi tantangan.

“Meninggalkan batu bara secara total dipandang sebagai pilihan yang jauh lebih sulit karena secara langsung akan berdampak pada situasi ekonomi dan pendapatan daerah,” katanya.

Citra, demikian ia biasa disapa, menambahkan bahwa pada tahap perencanaan, pemerintah perlu memahami konteks transisi dan dampaknya terhadap aspek sosial ekonomi. Mendengarkan secara aktif diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.

Chalie Charoenlarpnopparut, associate professor, Sirindhorn International Institute of Technology, Thammasat University Thailand sepakat bahwa dialog akan menjadi kunci untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan untuk mencapai target pengurangan emisi dan dampak sosial ekonomi dari meninggalkan batubara.

“Kita perlu memberi tahu masyarakat bahwa perubahan ini mutlak akan terjadi, dan kita perlu bersiap atau kita akan mengalami dampak negatif yang lebih besar dari transisi batubara,” kata Charlie.

Menyadari bahwa transisi energi dan transisi batubara khususnya merupakan masalah yang banyak bersifat teknis dan teknokratis, pengarusutamaan gender selama proses tersebut menjadi sangat penting. Chalie menambahkan, di Thailand, keterlibatan perempuan dalam masa transisi sudah mulai terlihat.

“Perempuan lebih memiliki sense of sustainability sehingga mereka lebih bersemangat untuk terlibat dalam suatu aksi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat dalam sisi penelitian dan akademik dalam transisi ini,” ujarnya.

Keterbatasan Pilihan Energi Bersih untuk Penduduk Terpencil

Konsumen dapat memilih sumber energi yang lebih bersih, namun bagaimana jika pilihan itu terbatas? Atau bahkan tidak ada sama sekali?

Komitmen pemerintah untuk mempromosikan energi terbarukan di Indonesia dapat ditelusuri sejak beberapa tahun lalu. Terlebih lagi, penandatanganan Persetujuan Paris pada 2015 untuk membatasi kenaikan temperatur global di batas 1,5℃ membuat pemerintah Indonesia lebih serius untuk bertransisi dari energi fosil ke energi bersih dengan memfokuskan pembangunan sektor listrik menggunakan energi terbarukan. Pada saat yang sama, penilaian Climate Action Tracker (CAT) pada 2 tahun sebelumnya menunjukkan bahwa kebijakan, komitmen, dan target penurunan emisi milik pemerintah Indonesia dinilai Sangat Tidak Memadai, atau bahkan mengarah ke kenaikan emisi.

Dengan celah yang cukup besar antara target 2025 dan hasil dari penilaian CAT Indonesia yang menunjukkan inkonsistensi dengan Persetujuan Paris, transisi energi harus terus didorong menuju pencapaian yang lebih tinggi, terutama karena celah yang cukup ‘besar’ ke arah bauran energi terbarukan 23%. Partisipasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang lebih ambisius kemudian diharapkan dapat memberi nafas baru ke dalam kebijakan energi bersih untuk masyarakat sebagai penerima jasa.

Transisi energi, dalam kenyataannya, dapat memberikan optimisme pada masyarakat Indonesia bahwa memang ada sumber energi yang lebih bersih dan lebih lestari untuk digunakan dibandingkan dengan energi fosil, energi dengan kualitas emisi rendah. Kemerataan akses energi untuk semua komunitas, terutama di area terpencil, adalah poin penting yang dijunjung dalam transisi energi.

Apakah Diesel Masih Menjadi Pilihan Baik?

Karena umumnya pemadaman listrik yang terjadi di area Pulau Adonara, Flores Timur, NTT, maka Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan generator diesel masih menjadi ‘teman baik’ dari masyarakat di sana, setidaknya selama 4 tahun terakhir. Pemadaman listrik yang terjadi 2-3 kali sehari dengan periode yang tak tentu membuat mereka dengan kemampuan ekonomi yang ‘lebih baik’ memprioritaskan memiliki generator pribadi. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak termasuk kalangan tersebut? Cahaya lilin kemudian menjadi penerangan utama di rumah mereka, atau mereka dapat menikmati akses listrik dari generator tetangga jika keadaan mengizinkan.

62 unit dari 85 total pembangkit listrik PLN yang tertera dalam RUPTL 2021-2030 menunjukkan banyaknya penggunaan PLTD di NTT sebagai solusi pengaliran energi dari pemerintah. PLTD kerap digunakan pemerintah untuk mengalirkan listrik ke daerah yang sulit dijangkau. Tentunya, beragamnya tipe energi terbarukan dapat membantu individu dalam memilih sumber energi yang lebih hijau, dalam skala kecil (PLTS atap, biomassa, dan mikro-hidro) ataupun skala besar (tenaga air, PLTS tanam, geotermal).

Terlebih lagi, ini dapat membantu kesulitan PLN dalam hal mobilitas pemasangan jaringan listrik di daerah terpencil karena sulitnya akses daerah, lokasi yang jauh dari jaringan listrik yang telah ada, dan infrastruktur jalanan yang belum mendukung.

Pembangunan Kapasitas dan Keberlanjutan

Jikalau kita hanya bergantung pada orang luar untuk pemeliharaan, terutama di daerah terpencil- yang telah menjadi masalah terberat PLN dalam menciptakan akses listrik- kemudahan akses dan pertumbuhan keberagaman sumber energi terbarukan akan terhambat. Tanpa mengesampingkan hak pemerintah untuk menyediakan listrik secara merata seperti tertera dalam ayat 2 paragraf (2) dari UU 30/2009 mengenai listrik, peran dari komunitas lokal amat besar dalam membantu keberlanjutan dari pembangunan energi terbarukan.

Pemerintah juga harus mendorong komunitas lokal untuk berpartisipasi dalam aspek teknis dari pembangunan energi terbarukan sehingga di masa depan, komunitas lokal sebagai konsumen akhir tidak hanya sebagai ‘penerima’ namun juga ‘ahli’, dengan potensi menjadi ‘pelopor’ yang mampu menciptakan energi secara mandiri.

Kesenjangan pengetahuan dalam komunitas lokal mengenai kendala teknis dapat diisi dengan pengembangan kapasitas dari pemerintah dan rekan ahli dengan waktu yang cukup, sehingga komunitas tersebut dapat mandiri atau dengan pengawasan minimal dari pusat, dibandingkan dengan hanya berlangsung satu periode dan tidak dilanjutkan.

Satu contoh dari pembangunan kapasitas komunitas lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah dan ahli adalah program Patriot Energi. Dalam kurang lebih setahun berjalannya program, kemandirian energi dapat ditingkatkan dalam basis komunitas. Dalam kurun waktu tertentu, kemungkinan daerah yang tidak mandiri energi sepenuhnya tentu masih ada. Namun, ekspektasi adanya komunitas lokal yang dapat menelusuri dan menggunakan energi terbarukan dengan ahli lokal berkemampuan teknis seharusnya bisa menyingkirkan keraguan di atas. Di masa depan, tentu amat mungkin bahwa teknologi energi terbarukan dapat dipelopori oleh desa terpencil di mana dahulu listrik dibangkitkan dengan energi yang tidak bersih.

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Menginspirasi Generasi Muda: CASE Indonesia Mengajar Tentang Pentingnya Transisi Energi di Sekolah Bogor Raya

Bogor, 4 April 2023 – Proyek Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) bersama Sekolah Bogor Raya meluncurkan kegiatan Teaching for the Future (T4F) yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya isu transisi energi sebagai mata pelajaran pada pendidikan formal.

Kegiatan Teaching for the Future (T4F) yang diselenggarakan oleh CASE Indonesia diadakan kedua kalinya di Sekolah Bogor Raya. T4F pertama kali diadakan di Sekolah Santa Ursula BSD tahun 2022. Tahun ini T4F hadir untuk memberikan pelatihan bagi murid kelas 7,8 dan 11 yang berjumlah 150 peserta dan difasilitasi oleh 15 mentor dengan tujuan utama untuk meningkatkan pemahaman serta memberikan tantangan bagi murid-murid untuk mencari solusi bagi permasalahan transisi energi yang dialami Indonesia. 

Akses energi berkelanjutan, efisiensi energi, transportasi berkelanjutan, pertanian berkelanjutan dan transisi energi berkeadilan merupakan 5 topik yang difasilitasi oleh mentor-mentor dalam diskusi yang berlangsung. Pada akhir kegiatan, seluruh peserta di setiap kelompok akan berikan tugas untuk membuat kampanye atau proposal kegiatan pada topik yang telah dipaparkan. Kampanye atau proposal kegiatan ini nantinya akan dipresentasikan oleh setiap kelompok tanggal 14 April 2023 pada acara Pameran Hari Bumi yang diselenggarakan oleh Sekolah Bogor Raya.

Dominic, salah satu peserta program T4F memberikan tanggapannya akan hal baru yang ia pelajari, “Satu hal baru yang saya pelajari dari sesi ini adalah kekeringan yang terjadi di Danau Toba. Saya pun berfikir bagaimana kekeringan ini sangat berdampak pada masyarakat di sana, terutama dalam mengakses air bersih. Pendidikan seperti ini sangat penting untuk kami (siswa), terutama untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan isu energi berkelanjutan.”

Agus Tampubolon, Manajer Proyek CASE Indonesia, kembali menyuarakan pentingnya isu transisi energi sebagai salah satu mata pelajaran di pendidikan formal. 

“Pendidikan tentang perubahan iklim dan energi bersih harus diberikan pada generasi muda, karena mereka yang akan meneruskan perjuangan menuju transisi energi yang sukses di masa depan,” kata Agus.

Aditya Rao, Koordinator Kurikulum di Sekolah Bogor Raya bercerita bahwa hampir seluruh mata pelajaran yang ada di SBR didasarkan pada prinsip Sustainable Development Goals (SDGs) dan sejak sekolah dasar, siswa-siswi telah diberikan mata pelajaran mengenai perubahan iklim dan transisi energi. Aditya menambahkan, melalui kegiatan T4F, Ia berharap siswa-siswi dapat memahami isu transisi energi dan perubahan iklim dari sudut pandang praktis, tidak hanya secara teori, dan dapat terinspirasi untuk memberikan solusi. 

Note: CASE for Southeast Asia merupakan program kolaborasi antara  Institute of Essential Services Reform (IESR), GIZ Indonesia dan Kementerian PPN/Bappenas yang memiliki mandat untuk merubah narasi transisi energi di Indonesia yang fokus pada dekarbonisasi pada sektor energi, meningkatkan bauran energi terbarukan dan efisiensi energi, mencapai transisi energi yang berkeadilan, serta keuangan berkelanjutan.

Privilese yang Tidak Seharusnya Ada

Malam itu, saya tengah tertidur. Tiba-tiba, seekor makhluk berbulu melompat ke ujung tempat tidur saya. Saya hampir berteriak – namun ketika mata saya sudah terbiasa dengan kegelapan di ruangan, saya tersadar bahwa makhluk tersebut adalah kucing gendut milik si empunya rumah. 

Itu adalah pengalaman saya menginap di Kepayang, sebuah desa di Kecamatan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Listrik desa dibangkitkan dari penggunaan generator diesel kecil, dan terbatas pemakaiannya dari pukul 6 sore sampai 10 malam untuk menghemat bahan bakar. Maka, selepas jam 10 semua rumah menjadi gelap; walau beberapa rumah memiliki generator mereka masing-masing, mereka jarang menggunakannya sehabis jam 10.

Tanpa jaringan listrik? Saya mencapai desa ini melalui jalur sungai – menggunakan kapal mesin kecil yang berangkat dari sungai Musi di Palembang, ibu kota provinsi. Perjalanan tersebut memakan waktu tiga jam, dengan pemberhentian singkat di pom Pertamina terapung di tengah perjalanan. Sejujurnya, saya sempat takut, namun rute tadi memakan waktu tersingkat – transportasi darat akan lebih panjang dan melelahkan. 

Penduduk desa tentunya mengharapkan akses energi yang lebih baik, bersih, dan terjangkau – dan ketika jaringan listrik yang luas belum akan datang ke desa dalam waktu dekat, energi terbarukan lokal dapat memberikan mereka pilihan pembangkitan listrik. Namun, mereka tidak tahu dari mana harus memulai. 

Saya bisa menceritakan lebih banyak lagi (dan saya senang menceritakannya), namun saya akan langsung ke poinnya: akses energi, terutama yang berkelanjutan, masih  menjadi tantangan besar di Indonesia. Dan ketika akses saja masih menjadi kemewahan, bisa disebut apa kemampuan seseorang untuk memilih sumber energinya? Utopia? 

*****

Di antara semua privilese (hak istimewa) yang saya punya dan pernah saya rasakan, memiliki akses energi adalah salah satu hal yang saya anggap biasa. Sebagai salah satu kebutuhan mendasar, listrik seharusnya tidak menjadi hak istimewa – namun ketika saya mendapat kesempatan untuk mengerti Indonesia (dalam konteks ketimpangan) dengan mendatangi beberapa desa terpencil di Indonesia, termasuk kepulauan Natuna (Anda tahu itu di mana?); secara pandangan helikopter atau angka yang menunjukkan akses listrik keseluruhan belum bisa menjadi representasi kenyataannya.

Di tahun 2019, IESR meneliti kualitas akses energi  di dua provinsi dengan rasio elektrifikasi terendah di Indonesia Timur menggunakan kerangka kerja multi-tingkat (MTF) yang dikembangkan oleh ESMAP milik Bank Dunia. Temuan IESR sesuai dengan hipotesis awal kami: akses tidak selalu berarti kualitas, dan indikator akses Indonesia sejauh ini yaitu rasio elektrifikasi (ER) tidak lagi sesuai untuk mempromosikan penggunaan dan pengembangan produktif. Lebih dari 70% rumah tangga yang disurvei menerima listrik hanya sekitar 4 jam/hari (akses listrik tingkat 1) dan hanya dapat digunakan untuk mentenagai peralatan kecil seperti lampu dan radio.

Sebelum studi ini, kami berargumen bahwa program lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE), yang membagikan perlengkapan lampu hemat energi pada komunitas terpencil dan tidak dialiri listrik, tidak seharusnya dihitung sebagai elektrifikasi, namun pre-elektrifikasi karena sifatnya yang terbatas untuk pemakaian produktif. Penting pula untuk mendefinisikan kembali akses energi dan melihat akses lebih dalam dari koneksi.  Rekomendasi dari kami termasuk mengoptimisasi penggunaan energi terbarukan lokal, karena dapat menjadi sumber energi yang demokratis. Selain itu, teknologi energi terbarukan termasuk energi surya yang sudah termasuk dalam arus utama kebijakan energi Indonesia, sudah lebih murah dibandingkan perluasan jaringan listrik dan generator diesel. 

Kemewahan dalam memilih sumber energi sendiri

Beberapa minggu yang lalu, saya melihat keramaian di Twitter mengenai fitur terbaru iPhone milik Apple: Pengisian Daya Bersih. Fitur ini hanya tersedia di AS dan menurut penjelasan resminya: “..iPhone Anda mendapatkan prediksi mengenai emisi karbon di jaringan listrik lokal Anda dan menggunakannya untuk mengisi daya iPhone Anda di saat produksi energi yang lebih bersih.” Membandingkan bagaimana kita memilih energi bersih di Indonesia dan di AS tentunya bagai membandingkan apel dengan jeruk – maka mari kita lihat lagi perjalanan Indonesia menuju demokrasi energi.

Indonesia memiliki sistem kelistrikan yang ketat dan terintegrasi secara vertikal yang dimiliki oleh satu perusahaan milik negara yaitu PLN, yang memiliki kepemilikan operasional tunggal atas pembangkitan energi, transmisi, dan distribusi (singkatnya – sebuah monopoli). Benar, secara teknis memang ada produsen daya independen dan perusahaan swasta yang memiliki lisensi bisnis wilayah usaha – namun kebanyakan dari kita sebagai konsumen individu akan mendapatkan listrik dari PLN (sehingga saya akan menyebut konsumen PLN sebagai konsumen). Pembangkitan daya kita masih didominasi energi fosil (dan ~60% dari batubara), sehingga tidak terlalu susah untuk menyimpulkan bahwa listrik yang kita pakai sekarang juga berbasis fosil. 

Tahun 2013, konsumer dapat secara ‘legal’ memilih sumber energi mereka sendiri – melalui instalasi PLTS atap. Tahun itu, Presdir PLN menetapkan regulasi internal yang memperbolehkan operasi paralel PLTS atap dengan jaringan listrik PLN. Syaratnya: net-metering, 1:1 tarif import, dan adanya tagihan dasar. Tanpa peluncuran besar, bahkan tanpa sosialisasi yang memadai – namun ini menjadi pencapaian besar.

Di level individu, energi solar tetap menjadi satu-satunya energi terbarukan yang terjangkau yang dapat kita pakai untuk mentenagai aktivitas kita (saya punya satu di atap rumah saya!). Dengan landasan tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) memulai upaya awal untuk mengarusutamakan energi surya di tatanan energi Indonesia di 2016 – menyumbang bagian signifikan dalam dicetuskannya peraturan menteri (Permen) pertama mengenai PLTS atap, mendorong keterlibatan aktif dari stakeholder yang beragam dalam mempromosikan energi surya, mendorong regulasi yang lebih baik (Permen awal telah direvisi dua kali dan digantikan sekali), dan hingga kini, melawan kemunduran saat kementrian mencoba ‘membatasi’ adopsi PLTS atap.

Kami percaya bahwa energi adalah jasa esensial (yang lainnya sandang, pangan, papan, colokan, paketan), dan kami mendukung penuh ide bahwa konsumen seharusnya memiliki kebebasan untuk memilih sumber energi mereka – terbarukan dan lebih berkelanjutan yang mampu memberikan akses energi berkualitas. Tidak seharusnya ini menjadi hak istimewa atau kemewahan. Tahun 2019-2021, kami bertanya pada masyarakat sekitar Jawa-Bali apakah mereka berkenan untuk berpindah ke energi surya – dan hasilnya terdapat potensi pasar (pemakai dan pengikut awal) sebesar 13% di Jabodetabek, 19% di Surabaya, 9.6% di Jawa Tengah, dan 23.3% di Bali. Pengusaha juga memiliki ketertarikan serupa: 9.8% potensi pasar di Jawa Tengah dan 21.1% di Bali. Bukan angka yang kecil, kan?

Sekarang, apakah kebijakan yang kini berlaku, praktik bisnis, naratif, dan bahkan pandangan dan gaya hidup pribadi kita – cukup untuk mendukung hak konsumen, masyarakat, untuk memilih sumber energi berkelanjutan kita sendiri?

Saya cukup kesusahan menyarikan tulisan panjang ini – jadi saya hanya ingin mengucapkan terima kasih telah membaca tulisan ini dalam keseluruhannya dan mendukung karya kami. Anda dapat membantu kami lebih lanjut dengan membagikan tulisan ini ke sesama.

Sampai berjumpa lagi.

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

”Jangan Halangi Gotong Royong Masyarakat untuk Energi Bersih”

Jakarta, 21 Maret 2023 – Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani dan meratifikasi Persetujuan Paris pada tahun 2015, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisinya. Pada tahun 2022, menjelang KTT G20, Indonesia memperbarui komitmen penurunan emisinya dalam Enhanced NDC yang menargetkan penurunan emisi Indonesia dengan usaha sendiri  sebesar 31,89% pada 2030 dan target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2030. 

Energi surya dalam berbagai kesempatan disebut akan menjadi tulang punggung sistem kelistrikan Indonesia dalam pencapaian target bauran energ terbarukan dan penurunan emisi. Mengingat potensi teknisnya yang melimpah, kecepatan pemasangan, dan fleksibilitas ukuran yang dapat dengan mudah disesuaikan menjadikan surya sebagai pilihan yang pas untuk kondisi Indonesia saat ini yang harus meningkatkan bauran energi terbarukan dalam waktu sempit. 

Sayangnya, dalam perkembangan satu tahun terakhir, dukungan terhadap PLTS atap kurang baik dari sisi offtaker listrik (PT PLN). Sejak 2022, PT PLN melakukan pembatasan kapasitas memasang PLTS atap yaitu hanya sebesar 10%-15% dari kapasitas terpasang. Pembatasan ini berimbas pada nilai keekonomian dari PLTS atap yang menjadi kurang menarik, baik untuk konsumen maupun pengusaha PLTS atap. 

Dalam konferensi pers yang digelar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia (PERPLATSI), Asosiasi PLTS Atap (APSA), Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) dan Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), Fabby Tumiwa, Ketua Umum AESI menyatakan bahwa berbagai tantangan masih menghambat upaya akselerasi energi surya di Indonesia.

“PLTS skala besar di Indonesia sulit berkembang karena tidak adanya perencanaan jangka panjang di sistem ketenagalistrikan sebelum RUPTL 2021 – 2030, proses lelang yang kurang konsisten dan kurang kompetitif, skala keekonomian yang sulit tercapai karena lelang tersebar dan dalam skala kurang dari 20 MW, hingga aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang tidak didukung kesiapan industri dalam negeri,” tutur Fabby.

Kementerian ESDM mulai Januari 2023 melakukan revisi Peraturan Menteri ESDM 26/2021 tentang pelanggan PLN yang memasang PLTS atap. Revisi Permen ESDM 26/2021 ini menuai pro kontra salah satunya disampaikan Muhammad Firmansyah, Bendahara Umum PERPLATSI yang menyatakan bahwa poin revisi seperti peniadaan ekspor-impor listrik dari pengguna PLTS akan mengurangi minat calon pelanggan untuk beralih pada energi terbarukan. Perencanaan sistem kuota per sistem jaringan listrik juga dianggap dapat menghambat pengembangan PLTS atap. 

“Dengan diberlakukannya kuota untuk PLTS atap, hal ini seperti menunggu kematian datang. Sebab jika kuota di satu sistem sudah penuh maka pelanggan tidak bisa lagi memasang PLTS atap yang tersambung dengan jaringan tersebut,” jelas Firmansyah.

Yohanes Sumaryo, Ketua Umum PPLSA menyoroti perubahan perilaku pengguna PLTS atap. “Beberapa dari kami mulai mengubah sistem PLTS atap di rumah untuk tidak terkoneksi dengan jaringan PLN (off-grid), terutama untuk menghindari kendala perizinan dan persyaratan lain yang memberatkan. Umumnya calon pengguna juga bingung dengan aturan baru terkait pembatasan dan syarat baru seperti profil beban.” 

Menurut Yohanes, sudah banyak pengguna di kota dengan tarif daya cukup tinggi yang mulai berinvestasi baterai sehingga bisa menggunakan PLTS atap secara maksimal. Meski demikian, Permen ESDM No. 26/2021 perlu terus diperjuangkan untuk menaungi pengguna PLTS atap sebagaimana mestinya.

Tidak dilaksanakannya Permen ESDM No. 26/2021 berimbas pada berbagai sektor pendukung PLTS seperti industri panel surya yang menjadi sulit berkembang. Dikatakan Linus Sijabat, Ketua Umum APAMSI dalam kesempatan yang sama, aturan terkait TKDN masih menjadi tantangan untuk pengembangan industri panel surya dalam negeri. 

“Persoalan TKDN pada industri panel dalam negeri ini membutuhkan regulasi yang konsisten dan implementasi yang serius disertai dengan dukungan pendanaan dari pemerintah, perbankan, maupun lembaga finansial untuk meningkatkan kualitas panel surya dalam negeri dan menjadikan kualitasnya bersaing dengan panel surya impor,” katanya.

Sejak tahun 2013, APAMSI telah mengupayakan investasi dalam jumlah besar untuk memajukan industri modul surya dalam negeri namun belum berhasil karena captive market dan permintaan (demand) dari energi surya di Indonesia belum terlihat jelas.

Imbas pembatasan pemasangan PLTS atap juga dirasakan oleh masyarakat Bali. Beberapa kasus menyatakan bahwa masyarakat telah memasang sistem PLTS sesuai aturan Permen 26/2021 namun tidak dapat digunakan sepenuhnya.

“Di Bali sendiri sangat banyak kendala, contohnya instalasi PLTS yang sudah terpasang namun tidak disetujui sepenuhnya oleh PLN  sehingga sistem PLTS atap yang sudah terpasang menjadi tidak bisa digunakan sepenuhnya, padahal masyarakat memasang sesuai Permen ESDM 26/2021, yaitu 100% daya terpasang bangunan,” jelas Erlangga Bayu mewakili APSA Bali.

Banyak juga masyarakat yang bahkan sudah membayar DP (down payment) untuk pasang PLTS atap namun akhirnya membatalkan karena pembatasan kapasitas tersebut. Padahal masyarakat memasang PLTS atap dengan biaya dan kesadaran sendiri dengan motivasi untuk penghematan biaya listrik dan pelestarian lingkungan. Pembatasan kapasitas PLTS atap seakan mencekal  kontribusi nyata gotong royong masyarakat untuk pencapaian target energi terbarukan dan penurunan emisi gas rumah kaca.

Memperkuat Narasi Energi Surya

Jakarta, 9 Maret 2023 – Energi surya memiliki potensi untuk dikembangkan secara masif di Indonesia. Institute for Essential Services Reform dalam laporan bertajuk “Beyond 207GW” menyebutkan bahwa potensi teknis energi surya di Indonesia mencapai 20.000 GW. Sayangnya, pemanfaatan energi surya masih minim. Tercatat, kapasitas terpasang energi surya baru sekitar 270,3 MW hingga 2022.

Dalam talkshow “Bincang Energi Surya” kolaborasi enam institusi yaitu Institute for Essential Services Reform (IESR), Solar Scholars Indonesia (SSI), Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Australia, Asosiasi Peneliti Indonesia Korea (APIK), Institut Energi Surya Generasi Baru (Insygnia), dan Solarin, Anindita Satria Surya, Vice President Transisi Energi dan Perubahan Iklim PT PLN menyatakan bahwa pengembangan energi surya sangat diperlukan untuk pengembangan energi terbarukan. 

“Gambaran skenario JETP adalah pertama, membangun baseload yang besar seperti PLTA, kedua, membangun jaringan transmisi yang kuat, dan yang ketiga, membangun pembangkit pendukung seperti PLTS,” jelasnya menjelaskan gambaran besar rencana PLN dalam membangun pembangkit energi terbarukan dalam beberapa tahun ke depan. 

Selain rencana investasi komprehensif untuk pelaksanaan program Just Energy Transition Partnership, pembangunan pembangkit energi terbarukan juga berpedoman pada RUPTL. Dalam RUPTL 2021-2030, direncanakan bahwa Indonesia akan memiliki lebih dari 50% energi yang digunakan berasal dari sumber energi terbarukan. Energi surya sendiri direncanakan akan bertambah sebanyak 4,6 GW hingga tahun 2030. 

Widi Nugroho, Sub Koordinator Pengawasan Usaha Aneka EBT, Kementerian ESDM menegaskan untuk mengejar target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025 akan diutamakan pemenuhannya dengan energi surya. 

“Untuk pembangunan pembangkit EBT diutamakan sesuai RUPTL 2021 – 2030 di mana surya akan bertambah sebesar 4,6 GW di 2030,” jelasnya.

Berdasarkan perencanaan pemerintah, energi surya akan menjadi penopang utama sistem ketenagalistrikan Indonesia dengan kapasitas 461 GW pada tahun 2060. Terpilihnya Indonesia sebagai penerima dana transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP) membuka berbagai peluang pendanaan proyek energi terbarukan dan riset teknologi. 

Dalam kesempatan yang sama, Muhamad Rosyid Jazuli, Peneliti Kebijakan, Paramadina Public Policy Institute, menyatakan bahwa saat ini terdapat satu tantangan utama dari sisi kebijakan yaitu bertumpuknya sejumlah komitmen yang tidak dibarengi dengan regulasi turunan sehingga kemajuan untuk mencapai komitmen yang sudah dijanjikan tidak berjalan mulus.

“Tingginya dominasi batubara pada sistem kelistrikan Indonesia dan harga batubara yang dianggap relatif lebih murah menjadi salah satu tantangan pengembangan energi terbarukan khususnya surya,” jelas Rosyid.

Rosyid juga menambahkan bahwa selain kebijakan persepsi masyarakat perlu dibangun terkait dengan energi terbarukan dan teknologi rendah karbon supaya terjadi perubahan perilaku. Saat ini energi terbarukan ataupun teknologi rendah karbon lain seperti kendaraan listrik ataupun PLTS atap belum menjadi pilihan utama masyarakat. Terbatasnya informasi terkait dengan teknologi dan harga yang masih relatif lebih mahal menjadi beberapa faktor pemberat di masyarakat.

Bincang Energi Surya merupakan serangkaian acara diseminasi publik seputar energi surya. Diseminasi tematik energi surya akan diselenggarakan secara regular, setiap dua minggu hingga Juni 2023 mendatang, yang mencakup topik; lanskap energi surya Indonesia, kebijakan terkini, teknologi, industri, sosio-ekonomi dan kesiapan sumber daya manusia dalam mendukung Just Energy Transition Partnership (JETP) dan target Net Zero Emission (NZE).

Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah Libatkan IESR dalam Penyusunan Rancangan Renstra Tahun 2024 – 2026

Semarang, 1 Maret 2023 – Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah libatkan Institute for Essential Services Reform (IESR) sebagai peserta dalam Forum Perangkat Daerah Penyusunan Rancangan Rencana Strategis (Renstra) tahun 2024-2026. Kegiatan ini dilaksanakan di Kantor Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, dibuka dengan sambutan Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko dan dihadiri oleh perwakilan Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (Sekjen DEN), perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tingkat kab/kota Provinsi Jawa Tengah serta beberapa stakeholder terkait.

Sujarwanto Dwiatmoko berpendapat keterlibatan berbagai stakeholder dalam forum perangkat daerah menjadi sangat penting dalam landasan kebijakan daerah. Selain itu, dikeluarkannya Perpres terkait Penguatan Daerah tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menjadi arus utama pembangunan dan semangat bagi Jawa Tengah untuk membangun transisi energi bersama rakyat. Rakyat secara bergotong royong diharapkan mampu mewujudkan penyediaan energi mandiri untuk mencapai kedaulatan energi.

Pertemuan tersebut membahas empat isu strategis dan prioritas pembangunan daerah Jawa Tengah tahun 2024-2026 yang berkaitan dengan sektor ESDM yaitu 1) Perekonomian tangguh yang berdaya saing dan berkelanjutan, 2) Sumber Daya Manusia (SDM) yang berdaya saing, berkarakter dan adaptif,  3) Ketahanan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup, 4) Tata kelola pemerintahan yang dinamis.

Sujarwanto menambahkan, ada beberapa poin yang perlu ditekankan dalam isu strategis seperti perekonomian yang tangguh, SDM Jawa Tengah yang berdaya saing, berkarakter, dan adaptif.

“Ekonominya tangguh, artinya dalam ketangguhannya kita tidak hanya memiliki daya saing (competitiveness), tetapi juga berorientasi berkelanjutan. Selain itu, SDM Jawa Tengah harus berkarakter, mampu beradaptasi dan memiliki perencanaan dalam menghadapi berbagai perubahan yang disruptif, penuh ketidakpastian, kerentanan dan kompleksitas skala nasional maupun global,” lanjut Sujarwanto.

Ia juga menekankan isu strategis untuk aspek SDA dan lingkungan hidup yang meliputi salah satunya aspek ketahanan energi.

“Pada aspek ketahanan energi, khususnya EBT di Jawa Tengah harus dipercepat perkembangannya, harus ada kesepakatan dari semua unsur dan negara harus ikut terlibat di dalamnya. Ini perlu ada perubahan persepsi dan mindset yang tinggi terkait EBT dari banyak pihak,” urainya lagi.

Ia menuturkan pula tentang  empat fokus ketahanan energi daerah yang mencakup 1) Ketersediaan sumber energi (availability), 2) Keterjangkauan biaya investasi energi (affordability), 3) Kemampuan mengakses energi (accessibility) dan 4) Penerimaan masyarakat terhadap energi (acceptability).

Lebih jauh, Sujarwanto menyebutkan bahwa Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah menitikberatkan pembangunan tiga tahun akan bergerak untuk mewujudkan ekonomi yang berdaya saing. 

Energy for economy, energy for productivity”. Ini diartikan bahwa energi yang ada saat ini di masyarakat tidak hanya dinikmati untuk penerangan, tetapi juga harus bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas mereka. Semakin banyak orang per kapita mengkonsumsi energi listrik, maka akan semakin produktif,” ungkapnya.

Kemandirian energi di tingkat masyarakat terus didorong melalui program Desa Mandiri Energi yang diinisiasi oleh Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah. Program ini memanfaatkan potensi sumber energi lokal yang dimiliki setiap kab/kota di Provinsi Jawa Tengah untuk mendorong kemandirian dan kedaulatan energi. Data menunjukkan bahwa sebanyak 2353 desa atau 27,48% dari 7809 desa di Jawa Tengah sudah memiliki inisiatif kemandirian energi dan termasuk dalam kategori Desa Mandiri Energi (DME). Terdapat sekitar 36 pendamping energi yang akan ditempatkan di kab/kota untuk memperkuat DME dan kedaulatan energi Jawa Tengah.

Melalui program DME, Jawa Tengah bertekad untuk bertransisi energi bersama rakyat dan 60% energi akan dibangkitkan dari rakyat yang berada di wilayah kab/kota. Ada dua hal yang akan didorong pada program ini yaitu peningkatan edukasi masyarakat dan pembangunan EBT di daerah dan pelosok, seperti pembangunan biogas, PLTMH, Biogenic Swallow Gas (BSG) dan pompa pertanian yang dikonversi menggunakan surya dilengkapi baterai atau Pompa Air Tenaga Surya (PATS).

Imam Jauhari, perwakilan Bappeda Cilacap sepakat bahwa energi untuk kemampuan rakyat sangat penting. Senada, Sri Hartini, perwakilan Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah berpendapat program pompa air dengan tenaga surya (PATS) akan dapat membantu permasalahan masyarakat. 

“Harapan kami, tentunya sinergitas antara OPD terjalin dengan baik, misal mengatasi persoalan banjir di masyarakat berarti Dinas ESDM sinergi dengan PSDA. Kemudian dari pemerintah provinsi, kab/kota harus benar-benar koordinasi bisa memenuhi kebutuhan masyarakat,”kata Sri Hartini.

Selain itu, Wahyudin Noor Aly, perwakilan Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah juga menambahkan bahwa potensi yang ada di Jawa Tengah harus didorong dan ditingkatkan untuk mengejar dan mencapai target bauran energi Jawa Tengah. Menurutnya, perkembangan teknologi yang semakin pesat dan tingginya potensi SDA di Jawa Tengah, masih berhadapan dengan kurangnya praktik konservasi energi.

“Daerah harus merancang anggaran khusus untuk energi mandiri, kenapa, supaya energi ini bisa dinikmati semua warga Jawa Tengah. Satu desa bisa bikin energi sendiri, dipakai sendiri, bayar sendiri, ini akan lebih murah,” imbuh Wahyudin Noor Aly

Menurut Wahyudin Noor Aly, Dinas ESDM perlu melakukan terobosan dan memimpin dalam membuka peluang untuk menarik banyak investor. Permasalahan yang ada di daerah dan kab/kota perlu dilandaskan di Renstra dan Rencana Jangka Panjang (Renja). Sehingga, keterlibatan, keaktifan seluruh stakeholder dan dinas kab/kota berperan penting dalam menentukan rancangan Renstra dan Renja Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah.

Di sisi lain, IESR akan mendukung penuh program transisi energi di Provinsi Jawa Tengah Pada program DME, IESR akan ikut terlibat dalam pemberian edukasi kepada pendamping energi di 35 kab/kota melalui kegiatan capacity building. Melalui kegiatan peningkatan kapasitas ini, selain menambah pengetahuan juga dapat membangun kesadaran, mindset dan persepsi masyarakat untuk menggali peluang dan memanfaatkan potensi energi terbarukan di sekitar wilayah mereka.

Ikut Ber-“Gerilya” Energi Surya

Jakarta, 1 Maret 2023 – Transisi energi membutuhkan peran serta semua pihak untuk mewujudnyatakannya. Sektor pendidikan digadang-gadang menjadi salah satu pilar strategis untuk memastikan adanya tenaga ahli maupun teknisi yang siap berkiprah dalam ranah pengembangan energi terbarukan.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengingatkan pentingnya transisi energi dan pemanfaatan energi surya. 

“Saat ini untuk listrik 86% dari energi fosil, dan suatu saat akan habis. Dengan adanya transisi energi, kita ingin agar kualitas akan ketahanan dan kemandirian energi nasional meningkat, tidak lagi tergantung pada energi fosil. Kita punya sumber energi terbarukan, dan itu berlimpah. Artinya kalau kita ingin transisi dari fosil ke non-fosil, sumbernya sudah ada,” kata Rida pada peluncuran program Gerilya, Rabu 1 Maret 2023.

Rida juga menambahkan alasan mendesak yang kedua adalah adanya tekanan global bahwa saat ini perubahan iklim dan cuaca susah diprediksi, bahkan di negara tropis seperti Indonesia. Hal itu, karena adanya pemanasan global, akibat banyaknya GRK yang naik dan kemudian membuat suhu bumi naik, tidak saja tinggi permukaan laut yang naik, tetapi cuaca juga tidak dapat diprediksi, dan itu sudah dirasakan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral secara khusus membentuk GERILYA (Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya) sebagai bagian dari program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) hasil kolaborasi Kementerian ESDM dengan Merdeka Belajar Kampus Merdeka, Kemendikbud-Ristek

Dalam program GERILYA, mahasiswa ditempatkan pada berbagai lembaga dan perusahaan yang bergerak dalam berbagai aspek pengembangan energi surya. Dalam sambutannya pada kesempatan yang sama, Direktur Aneka Energi dan EBT, Kementerian ESDM, Andriyah Feby Misna menyatakan bahwa upaya transisi energi di Indonesia perlu diimbangi dengan ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten dan mumpuni. 

“Untuk itu program Gerilya terus memperbaiki diri dengan memperbaiki kurikulum energi surya dan kembali bergabung pada MSIB batch keempat ini,” jelas Feby. 

Perbaikan kurikulum yang dimaksud mencakup antara lain latar belakang keilmuan peserta yang awalnya hanya dari jurusan eksakta saat ini sudah dapat diikuti oleh mahasiswa jurusan sosial humaniora. Waktu mahasiswa untuk terlibat dalam proyek juga diperpanjang menjadi empat bulan dan waktu pembekalan dipersingkat menjadi satu bulan. 

Sebanyak 2.456 pendaftar dari 280 Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia telah diseleksi, dengan hasil 62 mahasiswa dari 34 Perguruan Tinggi dinyatakan lulus tahap seleksi GERILYA. Dari jumlah mahasiswa yang lulus tahap seleksi, 24 orang atau 38% di antaranya adalah perempuan. Hal ini merupakan wujud komitmen kesetaraan gender (gender equality) dalam pelaksanaan program GERILYA MSIB Batch 4.

 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mendukung program Gerilya sejak batch pertama dan menyediakan wadah untuk mahasiswa belajar tentang perubahan kebijakan terkait pengembangan energi surya dari sisi masyarakat sipil melalui kajian ilmiah. Pada batch 4 ini IESR akan menjadi tempat belajar bagi empat mahasiswa Gerilya.