Bermain Pintu Belakang di Solusi Pengurangan Emisi

Fabby Tumiwa dalam Konferensi Pers Climate Action Tracker

Jakarta, 6 Desember 2023 – Climate Action Tracker (CAT) kembali merilis laporan terbaru terkait ambisi dan aksi iklim 42 negara, termasuk Uni Eropa. Hasil penilaian CAT menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan sejak tahun lalu terhadap upaya penurunan suhu global. 

CAT memodelkan empat skenario peningkatan temperatur bumi berdasarkan kebijakan dan aksi saat ini, target penurunan emisi pada 2030, target net zero emission (NZE) dan skenario optimis. Keempat skenario tersebut berujung pada naiknya suhu bumi, sekitar 1,8℃ hingga 2,7℃ pada tahun 2100.

Bill Hare, CEO Climate Analytics mengatakan bahkan berdasarkan inventarisasi global atau global stocktake, dunia sudah keluar dari jalur untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5℃.

“Seharusnya emisi gas rumah kaca sudah menurun sekarang dan seharusnya menurun dengan cepat, tetapi justru terus meningkat. Isu utama dalam COP ini dan global stocktake adalah untuk mencapai kesimpulan tentang penghentian penggunaan bahan bakar fosil. Tanpa kesepakatan tersebut, saya ragu akan ada peningkatan terhadap upaya membatasi suhu bumi,” ungkap Bill Hare pada konferensi pers CAT di Dubai (5/12).

Senada, Claire Stockwell, Senior Climate Policy Analyst, Climate Analytics berpendapat, target penurunan emisi negara-negara pada 2030 justru sangat lemah.

“Kami memproyeksikan bahwa negara-negara yang kami analisis akan dengan sangat mudah memenuhi target tersebut dengan kebijakan yang ada saat ini, termasuk Indonesia,” tutur Claire.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan turunnya peringkat indonesia menjadi sangat tidak memadai dalam hal kebijakan dan aksi iklim, disebabkan oleh peningkatan emisi Indonesia lebih dari 21% dibandingkan tahun lalu. Fabby menjelaskan naiknya emisi ini diakibatkan pembangunan PLTU baru dan pengoperasian PLTU yang sempat terjeda akibat Covid-19.

“Pemerintah Indonesia sebenarnya telah membuat beberapa kebijakan, misalnya, tahun lalu mengeluarkan peraturan presiden yang tidak mengizinkan penambahan pembangkit listrik tenaga batubara baru untuk perusahaan listrik, tetapi masih mengizinkan pembangunan PLTU captive dengan beberapa syarat. Jadi kami pikir peraturan-peraturan ini akan memiliki dampak, tetapi tidak sekarang, tetapi mungkin dalam waktu dekat,” kata Fabby.

Niklas Höhne, Ahli di New Climate Institute mengutarakan upaya pengurangan emisi yang tidak signifikan ini terjadi karena banyak negara mengusulkan pintu belakang untuk melanggengkan penggunaan energi fosil. Ia mencontohkan beberapa terminologi yang mencerminkan solusi pintu belakang, seperti unabated tenaga fosil atau tenaga fosil tanpa teknologi CCS/CCUS, mengalihkan fokus pada hanya emisi energi fosil, dan penurunan penggunaan namun tidak menghilangkan (phasing down) energi fosil. Sementara menurutnya, berdasarkan Persetujuan Paris, negara-negara telah bersepakat untuk menyeimbangkan emisi dan sumber, dan hal ini hanya bisa terjadi jika seluruh energi fosil diakhiri pengoperasiannya.

“Jika kita terus bertahan pada sesuatu yang tidak jelas, seperti istilah unabated, mengalihkan fokus pada emisinya saja, dan phasing down, maka hanya jadi langkah mundur dalam pengurangan emisi,” imbuhnya.

Lebih jauh, ia juga menyoroti solusi-solusi teknologi yang juga bertujuan memperpanjang umur energi fosil, seperti hidrogen hijau dan menggunakannya dalam boiler gas, atau menggunakan listrik ramah lingkungan untuk menghasilkan amonia dan menggunakannya di pembangkit listrik tenaga batubara. Menurutnya pilihan teknologi tersebut  merupakan solusi yang salah, tidak efisien dan mahal.  

CASE IESR: Indonesia Perlu Dorong Komitmen Lebih Kuat Negara ASEAN Untuk Penurunan Emisi GRK di Kawasan

press release

Jakarta, 15 Agustus 2023 – Menjadi Ketua ASEAN pada 2023 dan mempunyai kekuatan ekonomi besar di ASEAN, Indonesia dapat mendorong negara anggota ASEAN lainnya agar mempunyai kesepakatan bersama untuk mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang selaras dengan Persetujuan Paris serta memobilisasi dukungan dari negara ASEAN lain untuk mempunyai target pengakhiran operasional PLTU batubara secara bertahap sebelum tahun 2050. Hal ini disampaikan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) pada media briefing berjudul “Mengukur Ambisi Iklim ASEAN pada Keketuaan Indonesia ASEAN 2023”.

Menurut Fabby, pengurangan bahan bakar fosil dengan pelarangan pembangunan PLTU baru di Indonesia namun tetap mengizinkan pembangunan PLTU baru untuk keperluan industri dapat menghambat pencapaian bauran energi terbarukan yang lebih tinggi. Ia menekankan pemerintah Indonesia dapat mendorong komitmen yang lebih tegas untuk pengakhiran operasional PLTU batubara di negara ASEAN. Selain itu, Indonesia perlu meningkatkan pertumbuhan energi terbarukan di ASEAN, terutama pengembangan energi surya. Ia mendorong pembahasan mengenai penyediaan rantai pasok yang terintegrasi patut disepakati pada ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) yang akan berlangsung dalam waktu dekat di Agustus 2023.

“Kami harapkan pada AMEM, Indonesia bisa mengusulkan Indonesia menjadi pusat manufaktur PLTS mulai dari teknologi polisilikon hingga modul surya. Beberapa negara ASEAN sudah mengembangkan manufaktur, namun masih terbatas di sel dan modulnya. Selain itu pengembangan manufaktur ini belum terintegrasi. Sementara di Indonesia, bahan baku untuk pembuatan komponen PLTS tersedia di Indonesia, misalnya pasir silika. Sebagai Ketua ASEAN 2023. Indonesia dapat merekomendasikan ini sebagai kesepakatan bersama untuk membangun rantai pasok yang terintegrasi,” ungkapnya.

Ia menambahkan ancaman iklim menjadi semakin serius bagi negara-negara ASEAN yang berdampak luas terhadap ketahanan pangan, ketahanan energi, dan kemajuan pembangunan di kawasan. Jika tidak ada upaya serius untuk mengurangi emisi global, maka dampak perubahan iklim akan membuat pertumbuhan ekonomi melebihi 6% di kawasan Asia Tenggara akan semakin berat.

Berlianto Pandapotan Hasudungan, Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Kementerian Luar Negeri RI mengakui selain tantangan geopolitik, krisis Myanmar, krisis iklim juga menjadi tantangan tambahan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di ASEAN. Ia memaparkan ketahanan energi melalui transisi energi ke energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada minyak bumi menjadi agenda penting dalam kepemimpinan Indonesia di ASEAN.

“Selain pengembangan kendaraan listrik, ASEAN sedang mengembangan interkoneksi energi antar negara anggota dan akan dimulai juga studi atas interkoneksi energi di kawasan,” jelasnya.

Shahnaz Nur Firdausi, Peneliti Iklim dan Energi, IESR memaparkan, kebijakan dan komitmen iklim Indonesia tidak konsisten dengan Persetujuan Paris yang ingin menjaga batas suhu 1,5°C, bahkan rawan menyebabkan peningkatan, bukan penurunan emisi. Hal ini bisa dilihat dari laporan Climate Action Tracker (CAT) yang menilai bahwa target dan kebijakan iklim Indonesia secara keseluruhan masih kategori sangat tak mencukupi (highly insufficient). Apabila semua negara mengikuti pendekatan kebijakan Indonesia, maka pemanasan global akan lebih dari 2°C hingga 3°C. 

“Untuk itu, kebijakan dan tindakan iklim Indonesia pada tahun 2030 membutuhkan perbaikan substansial agar konsisten dengan batas suhu 1,5°C. Indonesia perlu menaikkan target NDC menjadi 75% di bawah skenario NDC business as usual (BAU) di luar penggunaan lahan serta alih guna lahan dan kehutanan (bersyarat) dan 62% (tidak bersyarat). Terlebih lagi, emisi Indonesia dari penggunaan lahan dan kehutanan telah mencapai hampir 50% dari total emisi selama 20 tahun terakhir,” papar Shahnaz.

Manajer Program Clean, Affordable and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia, Agus Tampubolon dalam kalimat penutup kembali menyatakan pentingnya kerjasama antar negara anggota ASEAN untuk mengakselerasi transisi energi.

“Indonesia bisa memimpin transisi energi di ASEAN dengan leading by example. Negara-negara anggota ASEAN memiliki potensi besar, kita bisa bekerja sama untuk rantai pasok, contohnya adalah pengembangan PLTS. Kita juga perlu memikirkan kebijakan-kebijakan yang mendukung peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan, dan untuk meningkatkan target iklimnya,” ujar Agus.

Kendaraan Listrik dan Dekarbonisasi Sektor Transportasi Darat Indonesia

Siaran Pers

Transportasi darat sumbang emisi tertinggi dari total emisi gas rumah kaca sektor transportasi di Indonesia

  • Kurangi emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi, Indonesia perlu menerapkan instrumen kebijakan untuk meningkatkan jumlah kendaraan listrik dalam menggantikan kendaraan berbahan bakar fosil
  • Di saat harga minyak dunia sedang turun saat ini, pajak karbon yang diterapkan pada bahan bakar fosil merupakan suatu instrumen yang dapat diterapkan di Indonesia untuk meningkatkan jumlah kendaraan listrik sebagai upaya penurunan emisi gas rumah kaca

Jakarta— 29 Maret 2020 — Institute for Essential Services Reform sebagai anggota dari Climate Transparency melakukan kajian mengenai dekarbonisasi sektor transportasi, dengan menganalisis rangkaian instrumen kebijakan yang diperlukan untuk meningkatkan peran kendaraan listrik dalam mendorong ambisi negara mencapai Persetujuan Paris, agar dapat berada di jalur untuk mencapai batasan target kenaikan suhu 2/1,5°C.

Julius C. Adiatma, Clean Fuel Specialist IESR, memaparkan laporan “The Role of Electric Vehicles in Decarbonizing Indonesia’s Road Transport Sector” yang di luncurkan dalam kegiatan Webinar pada Minggu 29 Maret 2020 dan juga melibatkan panelis secara daring, Dr. Mohammad Mustafa Sarinanto, Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi, BPPT, dan Damantoro, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah Jakarta.

“Hasil pemodelan dari studi kami menunjukkan bahwa masuknya kendaraan listrik pada pasar mobil penumpang dan sepeda motor memiliki potensi menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi darat, terutama dari penggunaan kendaraan pribadi. Untuk mewujudkan potensi tersebut, dibutuhkan berbagai dukungan kebijakan dari pemerintah, baik kebijakan fiskal maupun non fiskal seperti penyediaan infrastruktur pengisian kendaraan listrik umum. Yang tidak kalah penting adalah mengganti pembangkit batubara dengan energi terbarukan supaya emisi gas rumah kaca tidak berpindah dari transportasi ke pembangkit” menurut Julius.

Di Indonesia, emisi dari sektor transportasi hampir mencapai 30% dari total emisi CO2, dimana emisi tertinggi terutama berasal dari transportasi darat, yang berkontribusi pada 88% dari total emisi di sektor ini (IEA, 2015). Termasuk di dalamnya adalah mobil penumpang dan sepeda motor, yang tumbuh dengan pesat seiring dengan penggunaannya sebagai moda perjalanan utama di daerah perkotaan. Misalnya, penjualan mobil domestik telah bertumbuh lebih dari dua kali lipat dalam 15 tahun terakhir (dari 480 ribu unit pada tahun 2004 menjadi di atas 1 juta unit pada tahun 2019). Tren ini diprediksi akan terus meningkat, dan dengan demikian, sektor transportasi akan terus menjadi salah satu penghasil emisi utama di negara ini. Namun, rencana mitigasi dari pemerintah untuk sektor transportasi yang tercantum dalam NDC, masih terbatas pada pengalihan bahan bakar menjadi bahan bakar nabati dan perluasan stasiun pengisian bahan bakar gas bumi. Sementara itu, peran kendaraan listrik (termasuk hibrida, hibrida plug-in, dan kendaraan listrik baterai), yang banyak dilihat oleh beberapa pakar sebagai kunci dalam mengurangi emisi GRK di sektor ini, masih belum dimasukkan dalam NDC Indonesia.

Indonesia harus mengambil tindakan mitigasi perubahan iklim secara drastis di sektor transportasi. Menurut proyeksi The Climate Action Tracker, total emisi Indonesia (tidak termasuk LULUCF) setara dengan 3,75 – 4% dari total emisi global pada tahun 2030. Agar sejalan dengan 1,5°C, proporsi bahan bakar rendah karbon di bauran bahan bakar transportasi harus meningkat menjadi sekitar 60% pada tahun 2050.

Climate Action Tracker menjabarkan skenario 1,5°C yang kompatibel untuk Indonesia, yang membatasi emisi dari sektor transportasi menjadi 2 MtCO2e pada tahun 2050. Skenario ini mencakup peningkatan penggunaan transportasi umum, peningkatan ekonomi bahan bakar kendaraan konvensional, dan elektrifikasi 100% kendaraan penumpang darat (mobil, motor, dan bus) pada tahun 2050. Untuk mencapai 100% elektrifikasi kendaraan pada tahun 2050, Indonesia perlu menghentikan penjualan kendaraan berbahan bakar fosil antara tahun 2035 s.d. 2040, dengan asumsi masa pakai kendaraan 15 tahun. Dengan penetrasi pasar kendaraan listrik yang sangat rendah saat ini, maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang mendukung untuk mencapai target ini.

Di sisi lain, dengan bauran listrik saat ini, penetrasi kendaraan listrik akan meningkatkan emisi karbon di Indonesia. Peningkatan emisi ini, sebagian besar terkait dengan pembangkitan listrik dari sumber bahan bakar fosil. Selain itu, emisi juga berasal dari produksi komponen dalam kendaraan listrik, terutama baterai. Namun, sekalipun Indonesia dapat mencapai daya bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025, penggunaan mobil listrik diprediksi akan menghasilkan emisi karbon sekitar 2,6% lebih rendah dibanding mobil konvensional.

Erina Mursanti, Program Manager Green Economy IESR, mengatakan, dalam situasi rendahnya harga minyak dunia saat ini yang turun hingga lebih dari 50% (dari harga acuan yang tertera pada Nota Keuangan APBN 2020), pemerintah sebaiknya menerapkan pajak karbon pada pemakaian bahan bakar fosil, alih-alih menurunkan harga bahan bakar minyak dalam negeri; dimana hasil penerimaan pajak ini dapat digunakan untuk pengembangan industri kendaraan listrik.

Unduh siaran pers


Narahubung Pers:

Gandabhaskara Saputra, ganda@iesr.or.id