Mengupayakan Ruang untuk Energi Terbarukan

Jakarta, 15 Juni 2022 – Indonesia telah berkomitmen untuk tidak lagi membangun batubara kecuali yang sudah dalam proses kontrak. Dalam COP 26 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyampaikan bahwa Indonesia siap mempensiunkan 9,2 GW PLTU batubara jika ada bantuan internasional. Kementerian ESDM membidik PLTU tua yang efisiensinya telah menurun. Untuk mengejar bauran energi 23% pada 2025, selain mengeksekusi rencana penambahan kapasitas energi terbarukan dalam RUPTL, masih dibutuhkan setidaknya 18 GW energi surya hingga tahun 2025 untuk memenuhi target 23% energi terbarukan pada bauran energi nasional.

Alternatif lain yang dapat diambil yaitu mengintegrasikan energi terbarukan pada sistem kelistrikan yang ada sekarang dengan memodifikasi PLTU menjadi lebih fleksibel. Dalam laporan terbaru Institute for Essential Services Reform, berjudul Flexible Thermal Power Plant: An Analysis of Operating Coal-Fired Power Plants Flexibly to Enable the High-Level Variable Renewables in Indonesia’s Power System, dijelaskan bahwa operasi PLTU secara fleksibel dapat dilakukan di Indonesia dengan terlebih dahulu melakukan retrofit pada unit PLTU tersebut. 

Proses retrofitting PLTU akan membuat operasi PLTU menjadi lebih fleksibel dengan mengurangi beban minimum (minimum load). Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya operasional yang muncul akibat bertambahnya proses start-up/shutdown sebagai konsekuensi bertambahnya variabel energi terbarukan dalam jaringan. Dua negara yang telah melakukan operasi PLTU secara fleksibel adalah Jerman dan India.

“Di Jerman PLTU yang diretrofit adalah PLTU tua. Salah satu strategi yang dilakukan adalah memberikan insentif pada pembangkit listrik thermal. Sementara di India, operasi PLTU fleksibel masih dalam tahap pilot project, dan saat ini sedang menyiapkan instrumen kebijakan pasar seperti Jerman,” jelas Raditya Wiranegara, penulis laporan Flexible Thermal Power Plant. 

Raditya menambahkan bahwa biaya pembangkitan PLTU fleksibel lebih rendah daripada gas turbine atau combine cycle sehingga dapat dipertimbangkan sebagai opsi untuk pembangkit dalam periode transisi dengan efisien dan mengusahakan ruang untuk energi terbarukan.

Bayu Nugroho, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM, menyatakan operasi PLTU fleksibel ini sangat mungkin dilakukan di Indonesia, namun perlu dilakukan sejumlah persiapan sebelumnya. 

“Untuk mencapai NZE 2060 kita harus menempuh berbagai upaya. Salah satunya yang saat ini sedang disiapkan pemerintah adalah mekanisme pajak karbon. Skema ini juga bisa dilakukan, kami (Kementerian ESDM) perlu meramu semuanya agar dapat berjalan maksimal,” jelas Bayu dalam diskusi panel peluncuran laporan ini.

Arief Sugianto, VP Pengendalian RUPTL PLN, mengemukakan sejumlah prasyarat jika ingin membuat PLTU di Indonesia beroperasi secara fleksibel.

“Pertama kita perlu memikirkan insentif apa yang akan diberikan pada PLTU yang akan dioperasikan secara fleksibel, dan siapa yang akan menanggung subsidi tersebut,” katanya.

Arief menambahkan, untuk konteks PLN yang menggunakan skema take or pay dalam jual beli listrik dengan IPP agak sulit untuk langsung menerapkan operasi PLTU fleksibel ini sebab biaya retrofit yang harus dikeluarkan di awal akan membebani pemerintah atau pelanggan. 

Dengan kondisi PLTU yang masih mendominasi pembangkitan listrik di Indonesia saat ini, terdapat beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah untuk meningkatkan bauran energi terbarukan antara lain mengurangi kapasitas PLTU dan mengoperasikan PLTU secara fleksibel.

“Kami melihat terdapat 5 GW kapasitas PLTU yang sudah tua (di atas 35 tahun) sebagai low-hanging fruit yang dapat dipensiunkan segera, sebab secara efisiensi sudah turun dan sarat emisi,” terang Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby menambahkan bahwa mengoperasikan PLTU secara fleksibel dapat membuka ruang bagi energi terbarukan untuk masuk dalam jaringan.

Dimitri Pescia, Program Lead Southeast Asia, Agora Energiewende, mengingatkan bahwa PLTU fleksibel bukanlah sumber energi bersih meskipun mungkin menghasilkan emisi yang lebih kecil dari PLTU biasa.

“PLTU fleksibel bukanlah sumber energi bersih, namun hal ini memberi ruang integrasi bagi energi terbarukan secara efisien, maka dapat dijadikan solusi sementara untuk bertransisi menuju sistem energi terbarukan,” tutur Dimitri.

Dimitri menjelaskan lebih lanjut bahwa teknologi yang digunakan dalam operasi PLTU fleksibel cukup kompleks dan tetap menghasilkan emisi, maka instrumen nilai ekonomi karbon menjadi elemen penting untuk menjaga keseimbangan dan harus segera beralih ke sistem energi terbarukan.

Tunjukkan Komitmen, Indonesia Siap Pensiunkan Dini PLTU Batubara

Sepanjang tahun 2021, merespon desakan global terhadap aksi iklim yang selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia telah memutakhirkan beberapa dokumennya seperti NDC yang menargetkan netral karbon di tahun 2060 lebih cepat dan merilis ‘green’ RUPTL yang diklaim memberi ruang lebih banyak bagi energi terbarukan. Terbaru, Indonesia mengumumkan untuk mengkaji peluang memensiunkan PLTU batubara lebih dini. Meski belum ambisius untuk sejalan dengan target Persetujuan Paris, keputusan Indonesia tersebut patut diapresiasi dan dikawal implementasinya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Arifin Tasrif, pada gelaran KTT Perubahan iklim COP-26, menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Statement. Menteri ESDM menyetujui 3 dari 4 butir deklarasi yaitu, (1) mendorong pengembangan energi terbarukan & efisiensi energi; (2) transisi meninggalkan PLTU pada 2040an; dan (3) memperkuat upaya domestik dan internasional untuk mendukung transisi energi yang berkeadilan.

Arifin menjelaskan bahwa Indonesia sedang melakukan simulasi untuk melakukan pensiun PLTU sebesar 9,2 GW sebelum 2030. Sebanyak 3,7 GW dari 9,2 GW pembangkit akan pensiun dini dan diganti dengan pembangkit listrik energi terbarukan. Rencana progresif ini menuntut peta jalan yang komprehensif untuk transisi batubara. 

Ditemui terpisah, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menegaskan bahwa transisi untuk meninggalkan batubara di Indonesia perlu dipersiapkan dengan matang. 

Menurutnya, peta jalan transisi batubara yang komprehensif perlu disiapkan untuk memastikan bahwa transisi yang terjadi adalah transisi yang mempertimbangkan kebutuhan semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari ditinggalkannya batubara untuk suplai energi, serta memastikan semua orang mendapat akses energi yang tangguh (reliable) dan terjangkau (affordable).

Dalam acara “From Coal to Renewables: the Energy Transition in Emerging Markets” yang diselenggarakan oleh Accenture dalam rangkaian COP-26 di Glasgow, Fabby Tumiwa menjelaskan, sebagai salah satu  negara penghasil  batubara terbesar di dunia, 60% batubara Indonesia diperuntukkan untuk ekspor. Hal penting lain yang harus dicatat adalah, 85% produksi batubara Indonesia hanya terkonsentrasi pada 4 provinsi. 

“Peran batubara di Indonesia bukan sekedar sebagai penghasilan bagi negara, namun juga penghasilan pokok untuk provinsi penghasil batubara. Ketika dilakukan transisi, dan batubara perlahan akan ditinggalkan, daerah-daerah ini perlu diperhatikan sebab jika tidak akan terancam collapse,” jelas Fabby. 

Sebagai negara yang banyak bergantung pada energi fosil dan dengan situasi yang cukup kompleks, keterbukaan pemerintah untuk melakukan dekarbonisasi pada tahun 2060 atau lebih cepat, dinilai sebagai suatu maju dan dapat dicapai oleh Fabby Tumiwa.

“86% listrik di Indonesia dihasilkan oleh PLTU batubara. Melakukan transisi ke energi terbarukan dalam situasi ini tentu tidak mudah. Namun bukan berarti tidak mungkin,” tutur Fabby.

Sepakati Deklarasi Global Tinggalkan Batubara, Indonesia Perlu Siapkan Peta Jalan Transisi Batubara

Jakarta, 05 November 2021- Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim ke-26 atau COP-26, Indonesia menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Transition (Transisi Batubara Global Menuju Energi Bersih). Pada hari yang sama Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, juga menyatakan bahwa pemerintah mengkaji peluang mempensiunkan dini PLTU batubara dengan kapasitas total 9,3 GW sebelum tahun 2030 (4/11/2021) yang bisa dilakukan dengan dukungan pendanaan mencapai $48 miliar. 

Meski Indonesia memutuskan untuk tidak terikat pada butir ketiga Global Coal to Clean Power Transition, yang salah satunya menuntut untuk menghentikan penerbitan izin baru dan pembangunan proyek PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fired power plan), Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia, khususnya kepemimpinan yang ditunjukan oleh Menteri ESDM di COP-26, untuk mendorong transisi energi yang berkeadilan melalui pengembangan energi terbarukan seluasnya dan melakukan penghentian secara bertahap (phase out) PLTU batubara sebagai bagian dari aksi Indonesia untuk mencegah krisis global. 

“Keterbukaan pemerintah Indonesia untuk melakukan transisi energi, melalui salah satunya mengurangi PLTU secara bertahap patut diapresiasi. Pasca-Glasgow pemerintah dan Dewan Energi Nasional (DEN) harus mengakselerasi penyusunan peta jalan dan strategi transisi energi di Indonesia secara komprehensif. Ketergantungan pada energi fosil tidak akan berakhir  kalau kita tidak secara cepat meningkatkan kapasitas energi terbarukan. Fokus kebijakannya bukan lagi batubara sebagai pilihan pertama (coal as the first option), tapi energi terbarukan yang harus menjadi pilihan utama. Jadi transisi energi perlu dirancang benar-benar, dengan prioritas kembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan sebanyak-banyaknya dan mengoptimalkan efisiensi energi,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby menekankan bahwa keputusan untuk menghentikan secara bertahap bahan bakar fosil, terutama PLTU merupakan hal yang inevitable (tak terhindarkan), tidak saja dari perspektif penyelamatan iklim tapi juga dari sisi keekonomian teknologi.   

“Terutama dengan adanya inovasi dan harga teknologi energi terbarukan dan teknologi penyimpanan (storage) sudah lebih kompetitif terhadap energi fosil, pemanfaatan energi terbarukan untuk menjamin keandalan penyediaan energi untuk mencapai net-zero emission  menjadi semakin layak,” ungkap Fabby.

Hasil analisis IESR dari kajian Dekarbonisasi Sistem Energi di Indonesia memproyeksikan energi terbarukan yang dilengkapi dengan baterai penyimpanan akan meningkat signifikan pada tahun 2045. Pangsa baterai akan mencapai  52% dari total sistem penyimpanan, diikuti oleh hidrogen sebesar 37% dan sistem penyimpanan lainnya sekitar 11%. Pangsa permintaan listrik yang dicakup oleh penyimpanan energi meningkat secara signifikan dari sekitar 2% pada tahun 2030 menjadi 29% pada tahun 2045. Sedangkan untuk pengguna utama penyimpanan baterai akan berasal dari sistem skala utilitas, dan dalam skala yang lebih kecil dari kawasan komersial dan industri, serta sistem perumahan.

Mengenai pensiun dini 9,3 GW PLTU batubara dengan rincian 5.5 GW pensiun dini tanpa pergantian ke pembangkit listrik energi terbarukan dan 3.2 GW pensiun dini dengan pergantian pembangkit energi terbarukan, Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi IESR, memandang ini merupakan langkah progresif untuk dekarbonisasi sistem energi Indonesia. Namun, menurut hitungan IESR, untuk mengejar target Persetujuan Paris dan menahan kenaikan temperatur rata-rata global dibawah 1,5 C,  ada sekitar 10,5 GW PLTU yang perlu dipensiunkan sebelum 2030. 

“Masih ada selisih 1,2 GW yang perlu dipensiunkan dan ini bisa ditargetkan mencakup PLTU di luar wilayah usaha PLN,” ungkap Deon.

Mengacu pada kajian Dekarbonisasi Energi Sistem Indonesia, setidaknya membutuhkan investasi energi terbarukan dan energi bersih lainnya sebesar USD 20-25 miliar per tahun hingga tahun 2030 dan semakin meningkat setelahnya untuk pembiayaan phase out batubara dan pengembangan energi terbarukan untuk mencapai bebas emisi pada 2050. Namun, semakin cepat phase out PLTU batubara akan dapat menghindarkan risiko kerugian finansial dari aset terdampar sektor PLTU batubara yang mencapai USD 26 miliar setelah tahun 2040.

Menyadari kebutuhan dana yang besar untuk kebutuhan penghentian PLTU batubara secara bertahap, Indonesia bekerja sama dengan ADB telah meluncurkan program Energy Transition Mechanism (ETM) diharapkan akan dapat mengumpulkan sekitar $2,5 hingga $3,5 miliar untuk menghentikan 2-3 pembangkit listrik tenaga batu bara per negara.

“Keberadaan ETM yang akan menyediakan platform pembiayaan diharapkan mampu memberi kejelasan sumber dana untuk mempensiunkan PLTU dan mendorong masuknya aliran investasi yang lebih besar di energi terbarukan. Hal ini penting agar Indonesia dapat merencanakan transformasi sistem energinya dengan optimal,” pungkas Deon.***

Negara-Negara G20 Telah Memutakhirkan Ambisi Iklimnya Namun Belum Selaras dengan Target Persetujuan Paris

Tahun 2021 ditandai sebagai tahun kembali naiknya emisi terutama di negara-negara G20 seiring dengan dimulainya kembali aktivitas ekonomi dan sosial. Sebelumnya pada tahun 2020, emisi di negara-negara G20 tercatat mengalami penurunan karena adanya regulasi pemerintah tentang pembatasan kegiatan sosial untuk mengatasi wabah Covid-19. Laporan Transparansi Iklim (Climate Transparency Report) 2021 menemukan bahwa beberapa negara seperti Argentina, Cina, India, dan Indonesia diproyeksikan akan melampaui tingkat emisi 2019 mereka. Meski 14 negara G20 telah mengajukan target net-zero yang mencakup sekitar 61 persen emisi GRK di dunia, namun masih belum sejalan dengan jalur 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan Paris Agreement. Dengan semakin sempitnya kesempatan untuk mengejar target Persetujuan Paris, negara-negara G20 perlu meningkatkan ambisi iklim mereka lebih tinggi lagi dan bergerak bersama untuk memerangi krisis iklim.

Laporan Transparansi Iklim merupakan laporan tahunan yang mengkaji ambisi dan kebijakan iklim negara-negara G20, mengungkapkan beberapa temuan kunci untuk laporan 2021 yang diluncurkan pada 14 Oktober 2021. Diantaranya adalah:

  • Ambisi Teranyar Belum Mematuhi Perjanjian Paris

Pada tahun 2021, 14 negara G20 memperbarui ambisi iklim mereka dan mengusulkan target net-zero emission. 13 NDC yang diperbarui telah diserahkan ke UNFCCC dan 6 dari negara-negara tersebut yaitu Argentina, Kanada, Uni Eropa (termasuk Prancis, Jerman dan Italia), Afrika Selatan, Inggris dan AS meningkatkan target NDC mereka. Sayangnya, semuanya belum cukup untuk memenuhi target 1,5 derajat. Dengan mengikuti ambisi saat ini, suhu global masih akan naik hingga 2,4 derajat. Upaya yang lebih menyeluruh dan melibatkan semua pihak sangat diperlukan untuk menjaga suhu global di level 1,5 derajat.

“Jika G20 menyelaraskan target dan kebijakannya dengan jalur satu setengah derajat dan menerapkan kebijakan tersebut, kesenjangan emisi global sekitar 23 gigaton dapat dikurangi secara signifikan,” kata Justine Holmes, Solutions For Our Climate menjelaskan.

  • Subsidi Bahan Bakar Fosil Masih Terus Dilakukan

Selama pemulihan ekonomi, sebagian besar negara G20 menyuntikkan subsidi untuk sektor bahan bakar fosil. Padahal, besaran subsidi BBM jauh lebih besar dari paket pemulihan hijau yang disiapkan pemerintah G20. Dari Januari 2020 hingga Agustus 2021 negara-negara G20 mengucurkan dana sebesar USD 298 miliar untuk mensubsidi industri bahan bakar fosil. USD 248 miliar dari USD 298 miliar mensubsidi sektor bahan bakar fosil tanpa syarat, artinya industri bahan bakar fosil tidak berkewajiban misalnya menurunkan emisinya, atau kesepakatan lain untuk mempertimbangkan lingkungan atau situasi perubahan iklim.


  • Emisi yang Kembali Naik

Saat aktivitas ekonomi dimulai kembali, emisi di negara G20 kembali meningkat. Total emisi pada tahun 2020 turun hingga 6% dan diproyeksikan meningkat 4% tahun ini. Negara-negara seperti Argentina, China, India, dan Indonesia bahkan diproyeksikan melampaui tingkat emisi 2019. Hal ini sebenarnya diprediksi, bahwa penurunan emisi pada tahun 2020 terkait erat dengan pembatasan aktivitas sosial selama wabah pandemi.

  • Penting untuk Segera Menghentikan Pembangkit Listrik Tenaga Batubara

Pembangkit listrik tenaga batu bara dikenal karena emisi karbonnya yang intens. Hingga 2020, China (163 GW), India (21 GW), Indonesia (18 GW), dan Turki (12 GW) masih memiliki pembangkit listrik tenaga batu bara. Semua anggota G20 perlu menghapus batubara antara tahun 2030 – 2040 untuk membatasi suhu rata-rata global hingga 1,5 derajat Celcius. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam paparannya menjelaskan bahwa saat ini Indonesia masih didominasi oleh batubara dalam bauran energinya. Pada bulan Oktober, pemerintah Indonesia mengeluarkan RUPTL baru yang mengakomodasi lebih banyak porsi energi terbarukan daripada rencana pembangkit listrik termal, ditambah rencana PLN untuk menonaktifkan pembangkit listrik tenaga batubara superkritis mulai tahun 2030.

“Baru-baru ini kami juga membahas kemungkinan untuk melakukan moratorium batubara lebih awal sebelum tahun 2025 tetapi itu masih rencana, belum diselesaikan dan kami masih memberikan subsidi bahan bakar fosil. Penghapusan subsidi bahan bakar fosil akan membantu mempercepat transisi energi,” pungkasnya.

Implikasi Transisi Energi Terhadap Industri Batu Bara Nasional

Selasa 13 Oktober 2020 | Untuk dirilis segera

 

Nara hubung:

Deon Arinaldo

Penulis Laporan Energy Transition in Power Sector and the Implication to Coal Industry
Energy Information Specialist, IESR | deon@iesr.or.id 

 

Gandabhaskara Saputra

Koordinator Komunikasi, IESR | 081235563224 | ganda@iesr.or.id

Baca rilis ini di laman website IESR

Membangun Peta Jalan Transisi Energi Nasional:
Implikasi Transisi Energi Terhadap Industri Batu Bara Nasional

 

  • Moratorium pembangunan PLTU baru diperlukan untuk memperkecil potensi stranded assets dan juga memperbesar ruang bagi bauran energi terbarukan. 
  • PLTU yang masih beroperasi dan ekonomis perlu melakukan retrofit untuk mempertahankan efisiensi ataupun menjadi balancer untuk energi terbarukan yang intermiten. 
  • Perencanaan percepatan penutupan PLTU (coal-phase out) dengan mempertimbangkan efisiensi dan kesiapan sistem ketenagalistrikan dan teknologi pengganti dari energi terbarukan, diperlukan.

 

Jakarta, Selasa, 13 Oktober 2020 Pada hari ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan ketiga dari lima seri studi tematik mengenai peta jalan transisi energi Indonesia berjudul Energy Transition in Power Sector and the Implication to Coal Industry. Studi ini menyoroti perkembangan dan tren transisi energi terbarukan, khususnya di berbagai negara tujuan ekspor batubara Indonesia dan di Indonesia, yang ternyata berimplikasi terhadap perkembangan industri batubara dan sistem ketenagalistrikan nasional. 

Sejak tahun 2006, tren perkembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) global, yang selama ini menjadi konsumen terbesar industri ini, sudah mulai mengalami penurunan yang utamanya karena faktor perubahan iklim dan polusi serta keekonomian teknologi alternatif dari energi terbarukan yang sudah semakin kompetitif. Merujuk kepada temuan studi ini, semua skenario proyeksi permintaan batubara Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan penurunan di tahun-tahun yang akan datang. Jika strategi transisi batubara nasional tidak mulai dibangun dan dipersiapkan sejak dini, maka keberlanjutan dari industri yang sangat bergantung pada pertumbuhan PLTU global dan domestik ini menjadi semakin rawan dan berpotensi menimbulkan kerugian/biaya yang besar di masa mendatang. Kebijakan responsif pemerintah untuk menggenjot produksi batubara domestik, mengembangkan industri hilir, dan membangun PLTU dengan clean coal technology justru mengindikasikan terciptanya berbagai problematika baru, diantaranya terjebak di satu teknologi tertentu (technology lock-in) dan meningkatkan potensi aset terdampar (stranded asset) di masa depan. Oleh karena itu, IESR menyerukan kepada pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan dan perencanaan energi Indonesia terkait batubara, serta bersama industri-industri batubara besar di tanah air untuk dapat segera menyusun peta jalan transisi batubara nasional, yang tentunya harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait.

Berdasarkan data terakhir BP, cadangan terbukti (proven reserve) batubara nasional di akhir tahun 2019 mencapai 39,9 miliar ton (atau sebanyak 3,7% dari total cadangan dunia) yang didominasi oleh batubara kalori menengah dan 

rendah masing-masing sebanyak 62% dan 38%. Dalam satu dekade terakhir (2010-2019), 80-88% produksi batubara nasional di ekspor sebagian besar ke Tiongkok (27%), India (26%), Korea Selatan (10%), Jepang (9%), dan Taiwan (7%)  untuk menyuplai PLTU di negara-negara ini. Di dalam negeri, 82% konsumsi batubara nasional dalam periode yang sama digunakan untuk membangkitkan listrik dari PLTU di Jawa dan Sumatera. Dari statistik ini, sudah jelas bahwa batubara memiliki peranan penting dalam perekonomian dan sektor kelistrikan Indonesia.

Dari perspektif lainnya, peran batubara ini justru mengindikasikan kerentanan yang tinggi dari industri yang sangat bergantung kepada perkembangan tren PLTU global, dan khususnya di kelima negara tujuan ekspor tersebut. Transisi energi, yang didorong oleh penurunan biaya teknologi energi terbarukan, tekanan publik untuk mengendalikan polusi udara, dan tekanan global untuk mengatasi perubahan iklim, akan mendisrupsi status quo dari batubara, yang cepat atau lambat, akan berdampak pada keberlangsungan industri batubara di tanah air.

Dalam pembukaannya, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan “penurunan permintaan batubara sebagai respons dari transisi energi, tentu akan berimplikasi kepada keberlanjutan industri batubara sebagai salah satu komoditas ekspor dan sumber energi untuk pemangkitan listrik. Industri batubara harus mulai segera mengembangkan portofolionya di luar industri ini, atau jika tidak, berisiko menjadi aset-aset terdampar (stranded assets) akibat dari ketidakekonomisan proyek yang terjadi di tengah-di tengah siklusnya. Industri ini berpotensi menurunkan, bahkan mengganggu, stabilitas perekonomian negara, yang pada akhirnya berdampak pada perekonomian daerah, pekerja, dan masyarakat di sekitar tambang batubara. Untuk itu, strategi dalam melakukan transisi batubara nasional untuk meminimalkan implikasi negatif dari penurunan industri ini perlu segera dibangun dan dilakukan.”

Studi ini mengadopsi tiga skenario yang dikembangkan oleh IEA untuk merepresentasikan dan menganalisis ketidakpastian dari permintaan batubara Indonesia di Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan, serta di ASEAN dan negara tujuan ekspor lainnya. Dari skenario kebijakan saat ini (current policies), puncak permintaan batubara Indonesia diproyeksikan terjadi di tahun 2025, dan akan terus menurun hingga mencapai sekitar 360 juta ton di tahun 2050. Penurunan permintaan ini bahkan diindikasikan dapat mencapai sekitar 270 juta ton di tahun 2050 dalam skenario kebijakan baru (new policies) yang memperhitungkan perkembangan kebijakan sampai Agustus 2018 dan teknologi kedepannya. Skenario pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang merangkum upaya-upaya membatasi peningkatan suhu global di bawah 2oC, memproyeksikan penurunannya hingga mencapai sekitar 70 juta ton di tahun 2050.

“Saat ini, eksportir batubara mulai memadati pasar internasional. Amerika, Rusia, Kolombia, Afrika Selatan misalnya, sedang berlomba menjual batubaranya seiring dengan semakin menurunnya permintaan batubara di Eropa dan potensi penurunan PLTU yang dibangun dan beroperasi, serta adanya pertimbangan terhadap potensi tambang batubara menjadi stranded asset. Resesi yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19 dan juga kebijakan green economic recovery di negara-negara tujuan ekspor juga semakin menurunkan jumlah permintaan batubara Indonesia. Alhasil, kebijakan dan program pemerintah akhir-akhir ini mulai fokus untuk menaikan tingkat konsumsi batubara dalam negeri melalui hilirisasi dan membangun PLTU. Namun, analisis kami mengindikasikan bahwa hal ini tidak akan cukup untuk menggantikan penurunan permintaan batubara internasional,” tambah Fabby.

Deon Arinaldo, penulis dari laporan ini, memberikan analisis lebih lanjut mengenai keekonomian dari hilirisasi batubara. Opsi coal upgrading, yang membutuhkan biaya investasi dan operasional sekitar USD 557 juta dan USD 89 juta untuk dapat meng-upgrade 5 juta ton batubara setiap tahunnya. Gasifikasi batubara untuk memproduksi 788 ribu ton pupuk akan membutuhkan biaya investasi sekitar USD 913 juta. Sedangkan, untuk coal to liquid atau Dimethyl ether (DME), yang membutuhkan investasi dan proses yang lebih banyak dari gasifikasi batubara, diperkirakan akan menghabiskan biaya investasi sekitar USD 3,5-6,3 miliar untuk dapat memproduksi 50 ribu barel bahan bakar sintetis per hari. Kelayakan dari masing-masing opsi sangat bergantung dari harga batubara, gas, dan minyak.

“Investasi dan pengembangan teknologi hilirisasi batubara yang tidak sedikit ini akan sangat berisiko jika dilihat dari tidak hanya aspek lingkungan dan perubahan iklim, tetapi juga keekonomiannya yang bergantung pada permintaan industri domestik yang menggunakan bahan baku dari pengolahan batubara tersebut. Belajar dari pengalaman negara-negara dalam melakukan hilirisasi, proses transisi akan memakan waktu dan biaya yang mahal serta  konsistensi kebijakan dan regulasi pendukung pemerintah,” imbuh Deon.

Setidaknya, pemerintah dapat mengadopsi tiga strategi untuk meminimalisasi implikasi tren transisi energi yang sedang terjadi saat ini. Pertama, moratorium pembangunan PLTU baru diperlukan untuk memperkecil potensi stranded assets dan juga memperbesar ruang bagi bauran energi terbarukan. Kedua, PLTU yang masih beroperasi dan ekonomis perlu melakukan retrofit untuk mempertahankan efisiensi ataupun menjadi balancer untuk energi terbarukan yang intermiten. Ketiga, merencanakan percepatan penutupan PLTU (coal-phase out) dengan mempertimbangkan efisiensi dan kesiapan sistem ketenagalistrikan dan teknologi pengganti dari energi terbarukan. Untuk industri batubara, tentu diversifikasi bisnis ke industri yang lebih berkelanjutan dan sunrise diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing perusahaan dalam jangka menengah dan panjang.

Melalui laporan seri ketiga peta jalan transisi energi Indonesia ini, IESR mendesak pemerintah untuk dapat meninjau kembali kebijakan dan perencanaan energi Indonesia terkait batubara, seperti hilirisasi, pembangunan PLTU & clean coal technology, dengan mempertimbangkan keekonomian jangka panjang dan potensi risiko stranded assets. IESR juga menyerukan pemerintah, bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait, untuk mulai penyusunan peta jalan transisi batubara nasional untuk dapat menekan dampak risiko ekonomi dan sosial di masa mendatang. Dalam hal ini, pemerintah pusat dan daerah harus menetapkan posisi yang jelas, memiliki rencana yang matang, dan memastikan bahwa proses transisi ini dapat dicapai dengan baik dengan mengurangi dampak dari risiko-risiko yang timbul dari transisi, utamanya kepada pemangku kepentingan yang terlibat (termasuk didalamnya pelaku industri, pekerja, dan masyarakat yang terdampak).

 

###

Are coal power plants the best option to provide electricity? A Climate perspective

The vice minister of Ministry of Environment and Forestry of Indonesia, Alue Dohong, leading the Indonesian delegation at COP 25 Madrid, 2-15 December 2019

The Government of Indonesia will stay committed to the implementation of the Paris Agreement. At least, it is the message that the Indonesian delegate wishes to communicate in the UNFCCC-COP25 in Madrid last December. Despite the critics that the COP 25 is not successful because the world has failed to come to an agreement, especially in article 6 of the Paris Agreement, Indonesia’s vice minister is positive that Indonesia as a country has gained success in the negotiation. One of the evidence he later provided is that Indonesia is among the countries that promote renewable energy as a key mitigation activity in the energy sector to fulfill the NDC[1].

But how does Indonesia contribute to the climate mitigation goal, especially in the energy sector? With the ratification of the Paris Agreement through Law no. 16/2016, Indonesia is committed to limit global warming below 20C. However, is our commitment explained in the Nationally Determined Contribution (NDC) target enough? Let us have a closer look at this document.

The latest report from Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)[2] states that the commitment to limit global warming below 1.50C means that the world should see a greenhouse gas (GHG) emission peak before 2030 and achieve the net-zero emission by 2050. Indonesia NDC targeted a 29% reduction of GHG emission by 2030 against Business as Usual (BAU) scenario and an additional 12% if there is international support toward mitigation efforts. In numbers, these targets are actually translated into an increase of total GHG emission from 1334 Mton CO2e in 2010 into 2034 and 1784 Mton CO2e in 2030 (without and with international support respectively). The energy sector contributes to 67-71% of the total GHG emission in 2030. Compared to its 2010 level, the energy sector emission grows by three times even if Indonesia achieved its NDC. The power sector shares the highest GHG emission in the energy sector, and the coal power plant is the source of 70% of the power sector GHG emission[3].

A quick assessment by distributing the 1.50C GHG emission limit proportionately to each sector show that Indonesia should limit their GHG emission from coal power plant into 182 Mton CO2e by 2020, 112 Mton CO2e by 2030 and achieve net-zero emission before 2050 (possibly by 2047). On the other hand, the current RUPTL is planning to add 27 GW of coal power plant up to 2028, which will increase the GHG emission from coal power plant from 192 Mton CO2e into 301.3 Mton CO2e[4]. The large gap between 1.50C GHG emission limit with PLN projection for coal power plant emission suggests that, contrary to current RUPTL, Indonesia should not build any new coal power plant and would need to carry out a phase-out plan in the next few years.

GHG emission from coal power plants with moratoria of new coal plant and coal phase out policies (based on 20 years of lifetime) implemented. Source: IESR

GHG emission from coal power plants with moratoria of new coal plant and coal phase-out policies (based on 20 years of lifetime) implemented. Source: IESR

So what is (are) the policy (policies) that can help Indonesia to meet climate goals in the power sector? By using a specific emission factor from IEA, we could estimate a GHG emission from the coal power plant. Using combination of phase-out policy, moratoria on new coal power plant, and efficiency improvement in our model, we found that a combination of moratoria on new coal plant and phase-out strategy (based on 20 years lifetime of coal power plant) are the policy options that could bring Indonesia back on track in achieving the 1.5 C climate target. Consequences of these policies are that PLN has to shut down their oldest coal power plant (Suralaya 1-4 & Paiton 1-2) by 2020. By 2030, PLN has to phase-out 30% of its current capacity while only allowing coal power plant that is currently under construction and has received PPA contract to be built, and by 2048 all coal power plant should not operate anymore[5]

Following through with this policy scenario will require multi-sectoral consideration. In the power sector, the government will have to build a strategy on integrating more renewable energy sources and mitigating economic losses in the coal power plant. It is a major task, as the current power system structure, and the market might not be able to support a quick transition. As a vertically integrated utility and a single off-taker of electricity, PLN would probably bear the majority of the losses. A moratorium on new coal plant would be necessary to cut the possible losses for PLN in the future.

In a broader sense, less coal power plant means less coal is needed. The coal industry, thus, will be impacted, as well as the provinces where this coal industry is located. The coal industry is the backbone of the economy in the four coal-producing provinces: East Kalimantan, South Kalimantan, Central Kalimantan, and South Sumatera. About 35% of GDP in East Kalimantan in 2017 is coming from the coal sector[6]. This is not counting the multiplier effect of the coal industry for other sectors.

On the national level, Indonesia would also have to diversify its economies so as not to rely on coal export to balance the trade deficit. The government should identify key potential industry/sector to be developed in the near futures, which could replace the possibly declining coal export revenue. It is a significant task for the government and Indonesia to pave a way that could minimize adverse impacts from such a plan. Ultimately, the decision will be in the hand of the government and has to be made soon.

 

[1] https://news.detik.com/berita/d-4842063/indonesia-bicara-keberhasilan-pada-konferensi-perubahan-iklim-di-madrid/1

[2] https://www.ipcc.ch/sr15/

[3] Analyzed from GHG Emission Inventory MEMR

[4] PLN RUPTL 2019/2028

[5] IESR Discussion paper 2019 https://iesr.or.id/pustaka/implikasi-paris-agreement-terhadap-masa-depan-pltu-indonesia/

[6] IESR Study report 2019 https://iesr.or.id/pustaka/indonesias-coal-dynamic-full-report/

Batubara Masuk Komponen Tarif Listrik

Rabu, 30 Oktober 2019/ 22:46 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Keputusan pemerintah memasukkan harga patokan batubara menjadi salah satu faktor dalam penentuan penyesuaian tarif listrik menuai tanggapan dari sejumlah pihak.

Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan ketiga atas Permen ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang tarif tenaga listrik yang disediakan oleh PT PLN (Persero).

Dengan beleid yang diteken oleh Menteri ESDM Ignatius Jonan pada 10 Oktober 2019 saat itu, PLN dapat melakukan penyesuaian tarif pada 13 golongan pelanggan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan, pemerintah perlu memperhatikan aspek transparansi.

“Perlu dijelaskan kepada publik berapa harga energi primernya, dan komponen lainnya berapa sehingga nanti bisa diawasi. Jika dalam keseluruhan biaya produksi turun ya tarif turun, dan sebaliknya,” sebut Fabby kepada Kontan.co.id, Rabu (30/10).

Lebih jauh Fabby menjelaskan, penetapan tarif biasanya didasari dengan asumsi atau acuan harga energi primer yang menyumbang terhadap produksi listrik PLN. Perubahan pada energi primer ini lah yang akan berdampak pada naik atau turunnya tarif selain komponen inflasi dan nilai tukar.

Poin tersebut yang dinilai Fabby penting untuk disampaikan kepada publik. Fabby menilai kehadiran komponen batubara akan berdampak positif bagi PLN.

Dalam catatan Kontan.co.id, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengaku tak lagi bersikeras meminta perpanjangan harga patokan batubara untuk kelistrikan sebesar US$ 70 per ton yang akan berlaku hingga akhir tahun ini.

Pelaksana Tugas Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani mengungkapkan, pihaknya mengambil langkah tersebut lantaran pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menetapkan 13 golongan tarif tenaga listrik yang akan terkena penyesuaian tarif alias tariff adjustment.

“Nggak (meminta diperpanjang harga patokan batubara US$ 70 per ton) kalau sudah ada tariff adjustment. Karena memperhitungkan bagaimana fluktuasi harga batubara acuan sebagai indikator kebijakan (penyesuain tarif),” ungkap Sripeni saat ditemui di peluncuran SPKLU di kawasan BSD, Serpong, Senin (28/10).

Tariff adjustment tersebut bisa dilaksanakan setiap tiga bulan apabila terjadi perubahan, baik peningkatan maupun penurunan salah satu dan/atau beberapa faktor yang dapat mempengaruhi Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik.

Beleid tersebut menyebutkan empat faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian BPP, yakni: nilai tukar dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah (kurs), Indonesian Crude Price (ICP), inflasi, dan harga patokan batubara.

Artinya, turun atau naiknya tarif listrik untuk 13 golongan tersebut bergantung dari pergerakan harga keempat komponen tersebut.

“Jadi ini kan sebagai antisipasi karena harga patokan berakhir di tahun ini. Saat ini harga batubara sedang rendah, dan saat yang tepat untuk merumuskan kembali,” kata Sripeni.

Saat ini, harga batubara yang tercermin dari Harga Batubara Acuan (HBA) memang terus menurun di bawah harga patokan US$ 70 per ton. Bahkan, HBA Oktober 2019 telah menyentuh US$ 64,8 per ton, terendah dalam tiga tahun terakhir.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia berharap kehadiran aturan ini dapat berdampak positif bagi industri batubara.

“Kami berharap PLN dapat membeli batubara dengan harga pasar, dengan demikian akan turut mendukung perbaikan kondisi batubara nasional,” jelas Hendra kepada Kontan.co.id, Rabu (30/10).

Lebih jauh Hendra menjelaskan, harga batubara berpeluang membaik pada November mendatang kendati tidak signifikan. Menurut Hendra, jelang akhir tahun di mana memasuki musim dingin, permintaan batubara akan cenderung meningkat.

Artikel asli

Reportase: Launching Coal Study with Climate Transparency, 1 April 2019

Sebagai mitra dari Climate Transparency – sebuah kemitraan Internasional yang terdiri dari lembaga think tank dan NGO dari negara-negara anggota G20, IESR meluncurkan laporan hasil studi mengenai batubara. Dengan bertajuk International Seminar on Global Energy Transition and The Future of Coal, studi yang berjudul Dinamika Batu Bara Indonesia: Menuju Transisi Energi yang Adil ini diluncurkan di Hotel Ashley Jakarta pada tanggal 01 April 2019.

Seminar ini terdiri dari tiga sesi:

  1. Transisi Energi yang Adil: Aspek Energi, Iklim dan Pembangunan Ekonomi
  2. Pengalaman Internasional dari Transisi Energi yang Adil
  3. Agenda Transisi Energi dan Perubahan Iklim dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20D

Temuan Kunci

Dimoderatori oleh Dr. Suzanty Sitorus, sesi pertama dibuka oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR yang memaparkan hasil studi IESR. Studi ini menyoroti dinamika batubara di Indonesia, yang menyimpulkan bahwa transisi batubara tidak dapat dihindari. Secara spesifik, studi ini ingin memotret apa saja tantangan transisi energi di Indonesia dari sudut pandang industri batu bara dan apa saja fakor pendorong agar Indonesia melakukan transisi energi, dari batubara khususnya.

Berikut adalah tantangan yang dihadapi Indonesia untuk dapat melakukan transisi energi:

  1. Industri batubara erat kaitannya dengan kepentingan politik.
  2. Adanya berbagai bentuk dukungan dari pemerintah, baik secara finansial ataupun regulasi yang dikeluarkan, untuk industri batubara dan PLTU.
  3. Adanya inkonsistensi pelaksanaan regulasi, dimana regulasi yang baru-baru ini diberlakukan cenderung mendorong pemanfaatan batubara sebagai sumber tenaga listrik negara.
  4. Adanya pemberian dukungan finansial, secara langsung maupun tidak langsung, yang kemudian dapat dikategorikan sebagai subsidi dari pemerintah.
  5. Pembuat kebijakan dan perusahaan pembangkit listrik menganggap batubara sebagai sumber energi yang murah untuk tenaga listrik negara.

Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor pendukung agar Indonesia melakukan transisi energi, yaitu:

  1. Adanya risiko ketika Indonesia menggantungkan perekonomiannya terhadap ekspor batubara, mengingat harga batubara global yang berfluktuasi dan adanya volatilitas permintaan batubara secara global. Hal ini menjadi penting karena tren penggunaan batubara di negara-negara tujuan ekspor batubara Indonesia akan menurun untuk ke depannya.
  2. Levelized Cost of Electricity (LCOE) dari PLTA, PLTP dan PLTS pada tahun 2020 akan sama dengan LCOE dari PLTU dengan teknologi ultra-super critical.
  3. Adanya inefisiensi pertambangan batubara dan PLTU karena meningkatnya biaya yang dikeluarkan untuk mengekstraksi batubara.

Pada kesempatan ini IESR juga menghadirkan tim penanggap ahli dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, mereka menyepakati bahwa memang tren ekspor batubara ke depannya akan menurun sehingga pada saat ini industri batubara sedang bertransformasi untuk meningkatkan nilai tambah dari produk batubara yang dihasilkannya. Menanggapi potensi produksi nasional batubara yang meningkat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, ke depannya, penting untuk memasukkan jumlah emisi dari industri batubara ke dalam perhitungan NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia mengingat potensi peningkatan emisi dari industri batubara.

Studi di Tiga Negara: Afrika Selatan, India, China

Setelah melihat dinamika batubara di Indonesia, perlu untuk melihat bagaimana cerita dari negara lain terkait transisi energi yang adil dari batubara. Hannah Schindler dari Climate Transparency memandu diskusi di sesi kedua dengan menghadirkan panelis dari empat negara. Ursula F. Hutfilter dari Climate Analytics (Germany) memaparkan Paris Agreement sebagai latar belakang untuk melakukan transisi energi secara global. Transisi energi di sector ketenagalistrikan memiliki pengaruh yang besar dalam mencapai target yang tercantum dalam Paris Agreement, dimana sektor ini harus sepenuhnya di-dekarbonisasi sebelum 2050. Dengan kata lain, penggunaan batubara dalam pembangkit listrik harus dihentikan secara global sebelum 2050.

Alvin Lin dari Natural Resources Defence Council (China) menceritakan bahwa energi terbarukan saat ini sudah kompetitif dibandingkan dengan batubara di Cina. Bahkan Pemerintah China telah memiliki perencanaan dalam lima tahun untuk mengurangi kapasitas produksi batubara sebanyak 500 juta ton. Salah satu industri yang akan terkena dampaknya adalah industri besi baja yang harus mengurangi kapasitasnya sebanyak 150 juta ton. Situasi yang sama pun terjadi di India, dimana energi terbarukan sudah menarik secara keekonomian di India. Lebih lanjut, Thomas Spencer dari The Energy and Resources Institute (India) menyatakan bahwa India pun sedang mengalami surplus kapasitas produksi batubara. Transisi dari sector batubara pun saat ini terjadi di Afrika Selatan. Menurut Bryce McCall dari Energy Research Center (Afrika Selatan), Serikat Pekerja di Afrika Selatan justru mendorong pemerintah untuk melakukan banyak diskusi dengan mereka terkait transisi tenaga kerja dari sektor pertambangan.

Isu Transisi Energi di KTT G20

Sebagai kemitraan yang menilai aksi iklim dari negara G20, perlu dilihat bagaimana isu transisi energi ini dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan G20, termasuk Konferensi Tingkat Tinggi G20 yang akan diadakan di Jepang pada tanggal 28-29 Juni 2019. Dengan demikian, Suzanty Sitorus memandu diskusi di sesi ketiga dengan menghadirkan panelis dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (sebagai tim G20 Sherpa) serta dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (sebagai perwakilan dari Indonesia dalam Energy Transition Working Group). Kedua panelis ini sepakat menyatakan bahwa green fuel adalah suatu bentuk alternatif energi dalam proses transisi energi dari bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan. Indonesia tetap akan mempromosikan green fuel (bio-diesel dan green-diesel) dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada akhir Juni ini. Konteks green fuel di sini adalah untuk mempromosikan minyak kelapa sawit sebagai energi terbarukan.

Dengan adanya studi mengenai dinamika batubara ini, menurut Erina Mursanti, Program Manager Green Economy dari IESR, diharapkan Pemerintah Indonesia dapat memperhitungkan batubara dalam isu transisi energi di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan pemerintah dapat menyiapkan seperangkat regulasi yang mendukung Indonesia untuk melakukan transisi energi yang adil dari batubara ke sumber energi yang terbarukan sehingga dapat meminimalisir konflik yang mungkin akan terjadi.