Menggenjot Aksi Iklim Ambisius dari Pelaku Ekonomi

Direktur Eksekutif IESR

Jakarta, 30 November 2022 – Pemerintah Indonesia perlu menunjukkan perhatian kuat terhadap upaya mitigasi iklim. Salah satu caranya yakni meningkatkan komitmen terhadap penurunan emisi gas rumah kaca secara signifikan. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memaparkan, kenaikan temperatur global yang lebih tinggi bisa menyebabkan krisis iklim yang semakin sulit untuk diatasi. Hal tersebut disampaikannya pada acara Astra Green Energy Summit 2022 dengan tema Aksi Nyata Perjalanan Transisi Energi Menuju Lingkungan Berkelanjutan.

“Sejak disepakati dokumen United Nations Framework on Climate Change Conference (UNFCCC) tahun 1992, kemudian diratifikasi sebagian besar oleh negara di dunia pada tahun 1994, maka seluruh negosiasi perubahan iklim diarahkan untuk mencegah kenaikan temperatur bumi,” tegas Fabby Tumiwa. 

Mengutip data Climate Action Tracker 2022, kata Fabby, kebijakan iklim Indonesia di sektor energi dinilai belum cukup untuk dapat menahan kenaikan rata-rata suhu bumi di bawah 1,5°C sebagaimana disepakati pada KTT COP 26 di Glasgow pada 2021. Untuk itu, Fabby menilai emisi gas rumah kaca (GRK) global harus mencapai puncaknya pada tahun 2030 dan kemudian turun, apabila Indonesia ingin mencegah kenaikan temperatur di atas 2°C yang punya implikasi luas.

“Yang artinya, aksi ambisius diperlukan, khususnya untuk negara G20 yang berkontribusi besar menghasilkan emisi GRK. Penurunan emisi GRK juga harus dilakukan pelaku ekonomi, apabila hanya dilakukan pemerintah, saya kira akan sulit,” jelas Fabby Tumiwa. 

Menurut Fabby, proses dekarbonisasi perlu dilakukan secara komprehensif karena berkaitan dengan struktur pasokan energi Indonesia. Saat ini energi fosil masih menjadi penyumbang utama pembangkit listrik di Indonesia. Kenaikan konsumsi BBM juga cukup tinggi, ditandai dengan kenaikan jumlah kendaraan bermotor. 

“Sejak 10 tahun terakhir konsumsi BBM mulai disubtitusi sedikit dengan biofuel. Sampai dengan 2021 lalu, proporsi jumlah bahan bakar yang disubstitusi ke biofuel mencapai 14%. Untuk itu, penggunaan bahan bakar rendah karbon (low carbon fuel) perlu ditingkatkan sampai 40-60% di tahun 2040. Artinya, kita perlu mendorong penggunaan bahan bakar sintetik selain biofuel,” papar Fabby Tumiwa.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menuturkan, badan usaha diharapkan dapat terlibat dalam percepatan transisi energi, dengan meningkatkan kontribusi dalam melakukan akselerasi transisi energi. Misalnya saja penerapan efisiensi energi di seluruh rantai bisnis dan mengembangkan inovasi teknologi serta industri bersih. Badan usaha juga diharapkan melakukan mitigasi dampak dari transisi energi di sektor usaha dan supply chain

“Untuk mengatasi adanya kendala transisi energi dibutuhkan sinergi antara pemangku kepentingan, baik pemerintah, media, NGO serta swasta demi tercapainya emisi nol bersih,” papar Arifin. 

Pengembangan Biofuel di Indonesia Perlu Terintegrasi Dalam Strategi Jangka Panjang Transisi Energi

Jakarta, 4 Mei 2021– Sejak awal 2000-an, produksi minyak Indonesia terus menurun dan untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri, pemerintah Indonesia melakukan impor minyak. Oleh karena itu, pemerintah juga berupaya mencari bahan bakar alternatif untuk mengurangi impor minyak. Biofuel atau bahan bakar nabati (BBN) menjadi salah satu fokus pemerintah untuk dikembangkan dan telah menjadi mainstream dari kebijakan energi Indonesia,

“Ada harapan bahwa biofuel ini akan menjadi prime energy supply di Indonesia, namun perlu disoroti beberapa hal, diantaranya mengenai rencana dan strategi pemerintah untuk masa depan biofuel di tengah perkembangan teknologi alternatif seiring dengan akselerasi transisi energi” tutur Fabby Tumiwa pada pembukaan peluncuran laporan Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia.. Selain itu pertemuan yang dihadiri sekitar 70an orang secara daring ini juga membahas ketersediaan bahan baku (feedstock) dan disparitas harga dengan bahan bakar fosil saat ini. 

Strategi pemerintah Indonesia dalam pengembangan biofuel menjadi pemantik diskusi. Julius Christian Adiatma, Penulis laporan “Critical Review on the Biofuel Development in Indonesia” menyebutkan bahwa penggunaan bahan bakar cair di Indonesia didominasi oleh sektor transportasi dan trennya terus meningkat. Dengan skenario business as usual, peningkatan konsumsi bahan bakar cair akan mencapai tiga kali lipat. Pada skenario intervensi teknologi, penetrasi kendaraan listrik dan penggunaan fuel cell dipilih sebagai solusi. Jika tidak direncanakan dengan baik pengembangan biofuel dan percepatan penetrasi kendaraan listrik akan bertabrakan pada suatu saat di masa mendatang. Tren global yang mengarah pada penggunaan kendaraan listrik juga menimbulkan ancaman bahwa investasi pada sektor biofuel berpotensi menjadi aset terdampar (stranded asset).

Djoko Siswanto selaku Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN)  mengatakan bahwa berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), sampai tahun 2050 Indonesia akan menggunakan berbagai macam sumber energi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, “Kita menggunakan bahan bakar fosil dan EBT. Saat ini kita masih impor minyak mentah, LPG, dan bensin. Jadi fokus kita sekarang adalah bagaimana caranya mengurangi impor, karena kita percaya bahwa jika impor semakin sedikit maka ketahanan energi kita tentu akan semakin baik.”

Merespon kondisi disparitas harga, pihaknya mengakui bahwa selisih harga yang cukup jauh antara biofuel dengan BBM fosil lainnya menjadi tantangan tersendiri. 

“Sebagai contoh, green gasoline saat ini harganya mencapai 19.000 dengan harga sekian apakah masyarakat mampu untuk membeli? Atau apakah negara mampu mensubsidi selisih harganya jika dijual dengan harga yang lebih murah?” ujarnya.

Senada dengan Djoko Siswanto, Andriah Feby Misna, Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, juga mengatakan bahwa salah satu tujuan pengembangan biofuel, seperti biodiesel di Indonesia adalah untuk menekan angka impor bahan bakar minyak yang masih tinggi. 

“Kita mengacu pada RUEN sebagai roadmap pengembangan biofuel. Tahun 2020 ini target kita adalah 8 juta kilo liter. Target ini tercapai dengan penggunaan biodiesel mencapai 8,4 juta kilo liter.Meskipun demikian dalam Grand Strategy National, ada penyesuaian yaitu penurunan target biodiesel sebanyak 15% dengan pertimbangan masuknya kendaraan listrik,” jelas Feby.  Feby menambahkan bahwa yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah adalah bensin yang 50% masih impor.   

Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia, Tatang Hernas Soerawidjaja menyoroti kecenderungan pemerintah yang bersifat responsif bukan antisipatif dalam mengeluarkan kebijakan juga dalam hal biodiesel ini. “Kebijakan pemerintah itu sifatnya reaktif, tidak ada kebijakan yang bersifat antisipatif untuk teknologi baru yang akan datang,”

Bahan baku biodiesel yang saat ini masih bergantung pada sawit, juga menjadi sorotan Tatang. Ia menyebut jika ketergantungan pada sawit dalam pengembangan biodiesel merupakan suatu indikator ketidakberlanjutan. 

Ketergantungan pada satu bahan baku ini juga menjadi perhatian Ricky Amukti, Engagement Manager Traction Energy Asia. “Sayang sekali produk biodiesel kita masih single feedstock dari sawit. Padahal kita punya potensi bahan baku lain seperti selulosa dari batang sawit yang dapat diolah menjadi bensin. Potensi lain yang ada juga biodiesel dari minyak jelantah yang memiliki emisi daur hidup yang lebih rendah yaitu sebesar 0,31 – 0,62 Kg CO2 equiv/L.” Menurut Ricky, jika potensi ini direalisasikan akan ada enam juta kiloliter biodiesel yang dihasilkan dan 2,2 juta lapangan kerja baru yang akan tercipta. 

IESR memandang penting bagi pemerintah untuk memastikan ketersediaan energi bagi masyarakat. Kedepannya, bahan bakar cair akan tetap dibutuhkan mengingat penetrasi kendaraan listrik di berbagai wilayah di Indonesia akan beragam rentang waktunya dan ada sektor transportasi yang akan sulit untuk dielektrifikasi. Melalui peluncuran kajian Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia  ini, IESR merekomendasikan kepada pemerintah untuk: 1) mengembangkan strategi jangka panjang peran biofuel dalam transisi energi, selaras dengan pengembangan teknologi alternatif. 2) Menetapkan kriteria yang jelas dan transparan untuk mengukur manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dari program biofuel. 3) Melakukan diversifikasi bahan baku biofuel. 4) Menetapkan dukungan kebijakan untuk mendorong produksi dan pengembangan biofuel generasi kedua, ketiga dan berikutnya. 5) Mengubah skema insentif untuk mendorong inovasi dengan memasukkan aspek keberlanjutan sebagai persyaratan.


IESR Sarankan Pemerintah Untuk Kembangkan Strategi Jangka Panjang Biofuel dan Memperjelas Perannya dalam Transisi Energi

Indonesia mengembangkan BBN sejak 2006 sebagai respon kenaikan harga minyak bumi dan meningkatnya impor bahan bakar seiring dengan anjloknya produksi minyak mentah dalam negeri. Pemerintah pun telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendukung BBN di antaranya penetapan mandat pencampuran, mekanisme penetapan harga, hingga skema subsidi atau insentif. Namun, dari berbagai target yang disusun dalam peta jalan BBN sejak tahun 2008 untuk bioetanol, biodiesel dan minyak nabati murni, hanya target konsumsi biodiesel solar sebesar 20 persen yang tercapai di tahun 2019.

Institute for Essential Services Reform (IESR) melakukan kajian terhadap pengembangan bahan bakar nabati (BBN) di Indonesia dalam “Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia”. Studi ini merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan pengembangan BBN yang mempertimbangkan secara matang implikasi ekonomi, lingkungan, dan sosial dari BBN, serta ketidakpastian permintaan BBN di masa mendatang.

“Pengembangan biofuel yang masih terfokus pada satu bahan baku yakni crude palm oil (CPO) juga menjadi ancaman keberlanjutannya. CPO juga dipakai untuk makanan, kosmetik dan sebagainya sehingga kita perlu melakukan diversifikasi bahan baku,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Secara umum harga indeks pasar referensi biodiesel dan bioetanol lebih tinggi dari harga bahan bakar minyak bumi. Perhitungan IESR menunjukkan bahwa biaya produksi biofuel drop-in (yang dapat digunakan secara langsung) lebih tinggi daripada bahan bakar minyak. Biaya produksi biofuel adalah sekitar Rp 6.000 hingga Rp 12.000 per liter, sedangkan harga referensi solar adalah Rp 4.500 per liter (rata-rata tahun 2020). Begitu pula dengan BBN berbasis minyak sawit mempunyai biaya lebih tinggi dikarenakan harga bahan baku yang tinggi.  

“Dengan biaya produksi yang lebih tinggi, pemanfaatan BBN membutuhkan insentif. Diperkirakan subsidi tahunan yang dibutuhkan untuk menjalankan program biofuel bisa mencapai 29 hingga 57 triliun rupiah pada periode 2021-2024. Besaran subsidi ini bahkan bisa meningkat dua kali lipat apabila harga minyak sawit mencapai titik tertingginya selama 10 tahun terakhir pada USD 970/ton (rata-rata tahunan),” jelas Julius Christian A, Periset Bahan Bakar Bersih IESR dan Penulis Laporan “Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia”.

Selain itu, ditinjau dari perspektif lingkungan, studi tentang analisis siklus hidup biofuel generasi pertama (termasuk minyak sawit) menunjukkan bahwa alih fungsi lahan untuk bahan baku BBN generasi pertama berpotensi mengeluarkan lebih banyak emisi GRK daripada bahan bakar minyak (BBM). Traction Energy Asia memperkirakan emisi GRK biodiesel Indonesia dapat mencapai 20 kali lipat emisi pembakaran BBM ketika  terjadi konversi hutan gambut. 

Dari segi sosial-ekonomi, industri BBN dan perkebunan kelapa sawit turut menyokong ekonomi di tingkat lokal melalui peningkatan nilai output pertanian, output manufaktur, dan PDRB. Pengembangan BBN dalam program B20 pada 2019 juga diperkirakan menciptakan 801 ribu lapangan kerja, namun disisi lain, masih dibayangi dengan berbagai permasalahan terkait kesehatan dan keselamatan pekerja, pekerja anak, diskriminasi, khususnya di perkebunan kelapa sawit. Ditambah lagi, perkebunan kelapa sawit juga kerap menimbulkan konflik lahan dan hilangnya akses sumber daya bagi masyarakat lokal.

IESR memandang, selain isu keekonomian, lingkungan dan sosial, pengembangan BBN juga perlu memperhatikan perkembangan teknologi alternatif, terutama di sektor transportasi. Secara business-as-usual, potensi permintaan BBN dapat meningkat menjadi 190 MTOE pada tahun 2050 dari konsumsi biodiesel saat ini sebesar 8 MTOE. Namun, dalam kasus penetrasi kendaraan listrik yang tinggi dan perpindahan moda yang tinggi ke angkutan umum, potensi permintaan bahan bakar nabati dapat turun menjadi hanya 93 MTOE pada tahun 2050. Adapun potensi permintaan pada skenario ini terutama akan berasal dari angkutan berat dan industri.

Indonesia mempunyai beragam target untuk BBN, diantaranya seperti tercantum dalam RUEN untuk target jangka panjang hingga target jangka pendek yang terdapat dalam RPJMN.  IESR mengkaji bahwa penetapan target yang menitikberatkan pada BBN pengganti solar merupakan strategi yang relatif aman. BBN pengganti solar ini masih menjadi pilihan utama di sektor transportasi alat berat, industri, dan penggunaan khusus (konstruksi, pertanian, pertambangan). Sektor-sektor ini diperkirakan masih memiliki pasar yang besar hingga tahun 2050. Selain itu, potensi permintaan avtur ramah lingkungan juga akan sangat besar, termasuk di pasar global, karena alternatif rendah karbon terbatas.

“Di sisi lain, perencanaan infrastruktur produksi BBN, terutama untuk BBN pengganti bensin perlu mempertimbangkan skenario permintaan yang rendah untuk meminimalkan potensi aset yang terlantar,”ujar Julius.

Agar mengatasi berbagai implikasi tersebut, IESR merekomendasikan agar pemerintah dapat : 1) mengembangkan strategi jangka panjang peran biofuel dalam transisi energi, selaras dengan pengembangan teknologi alternatif. 2) Menetapkan kriteria yang jelas dan transparan untuk mengukur manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dari program biofuel. 3) Melakukan diversifikasi bahan baku biofuel. 4) Menetapkan dukungan kebijakan untuk mendorong produksi dan pengembangan biofuel generasi kedua, ketiga dan berikutnya. 5) Mengubah skema insentif untuk mendorong inovasi dengan memasukkan aspek keberlanjutan sebagai persyaratan.

Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia

Progres dan perkembangan terkait biofuel di Indonesia secara khusus dikaji Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui laporan yang berjudul Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia. Studi ini sendiri dimaksudkan untuk mengulas perkembangan kebijakan biofuel Indonesia saat ini serta implikasi yang ditimbulkan dilihat dari perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan. Laporan ini juga diharapkan dapa memberikan masukan dan rekomendasi, utamanya pada pembuat kebijakan, agar dapat memastikan arah pengembangan kebijakan biofuel dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan meminimalkan permasalahan yang mungkin timbul.

Oleh karena itu, IESR menyelenggarakan kegiatan ini dalam rangka meluncurkan studi tersebut dan  menyampaikan serta mendiskusikan temuan serta rekomendasi dari kajian tersebut pada pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan terkait.

Dapatkan informasi mengenai:

  1. Ulasan perkembangan biofuel di Indonesia dan perannya dalam transisi energi
  2. Hasil dan rekomendasi dari kajian yang dilakukan; serta
  3. Informasi, pandangan, dan masukan dari berbagai pembuat kebijakan dan keputusan, serta pemangku kepentingan lainnya yang terkait dengan perkembangan biofuel di Indonesia serta kaitannya dengan transisi energi

AGENDA

Pemaparan Hasil Temuan dan Rekomendasi Studi

Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia

Julius Christian A, Periset Bahan Bakar Bersih IESR dan penulis laporan

Diskusi Panel
  • Andriah Feby Misna, Direktur Bioenergi Kementerian ESDM
  • Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional
  • Tatang Hernas Soerawidjaja, Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia
  • Ricky Amukti, Engagement Manager Traction Energy Asia

Materi Paparan

Program BBN dalam transisi energi Indonesia

Unduh