Peluncuran Laporan Climate Action Tracker Assessment Indonesia dan Climate Transparency Implementation Check

“Status Kebijakan Iklim Indonesia 2023: Harapan Peningkatan Ambisi dan Penguatan Implementasi untuk Mencapai Target Perjanjian Paris di 2030”


Tayangan Tunda


Latar Belakang

Tahun 2023 tercatat sebagai salah satu tahun terpanas, dengan kenaikan suhu global mencapai 1.4 derajat Celcius sejak era pra-industri. Global Stocktake pertama yang dilaksanakan pada saat perhelatan COP-28 Dubai, Uni Emirat Arab juga menyatakan bahwa kebijakan serta aksi yang dilakukan oleh negara-negara di dunia masih belum dapat mengurangi laju peningkatan emisi agar sejalan dengan target Persetujuan Paris. Hasil Global Stocktake menunjukkan bahwa berdasarkan akumulasi Nationally Determined Contributions (NDCs) yang ada saat ini, masih terdapat  sekitar 20,3 – 23,9 GtCOe2 emisi yang perlu dikurangi untuk mencegah kenaikan suhu di atas 1.5C pada tahun 2030. Dengan demikian, kebijakan dan aksi iklim yang lebih ambisius di tingkat nasional memiliki peran penting dalam usaha global mencapai target Perjanjian Paris.

Dalam konteks kebijakan iklim di Indonesia, data dari Climate Action Tracker (CAT) per Desember 2023 menunjukkan bahwa Indonesia masih perlu menurunkan sekitar 800 MtCOe2 di tahun 2030 emisi agar target penurunan emisinya sejalan dengan Perjanjian Paris (CAT, 2023).  Operasionalisasi pembangkit listrik batu bara baru dan juga sistem kuantifikasi emisi dari pembangkit off-grid menyebabkan kenaikan emisi di Indonesia naik sekitar 21% di 2022 (CAT, 2023). Hal ini menyebabkan emisi Indonesia diproyeksikan naik sekitar 300  MtCoe2 di tahun 2030. Berdasarkan penilaian CAT, Indonesia perlu meningkatkan persentase bauran energi terbarukan sekitar 55%-80% pada tahun 2030. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengevaluasi kembali target iklim yang tercantum dalam NDC-nya dan juga meningkatkan koordinasi antar sektor agar dapat mengakselerasi pencapaian target Perjanjian Paris.

Indonesia akan mengalami pergantian pemerintahan pada tahun 2024. Dengan adanya pergantian ini, maka ada kemungkinan bahwa arah kebijakan pemerintah yang baru akan berbeda dengan pemerintah sebelumnya. Besar harapan pemerintahan baru nantinya dapat memformulasikan payung kebijakan iklim yang lebih ambisius dan komprehensif, sehingga dapat menunjang pencapaian target Perjanjian Paris dan tetap sejalan dengan rencana pembangunan negara. Publikasi Climate Action Tracker Country Assessment: Indonesia dan Climate Transparency Implementation Check Report diharapkan dapat menjadi rujukan rekomendasi bagi pembuat kebijakan agar dapat menyelaraskan kebijakan iklim di tingkat nasional dan juga komitmen di tingkat global. Selain itu, diseminasi kedua laporan ini juga diharapkan dapat membuka ruang diskusi bagi masyarakat dalam memberikan tanggapan maupun rekomendasi terhadap kebijakan iklim di Indonesia.

Tujuan Acara 

  1. Diseminasi laporan Climate Action Tracker: Indonesia Climate Action Status 2023 kepada para pemangku kepentingan dan masyarakat umum;
  2. Mewadahi diskusi mengenai implementasi kebijakan iklim di sektor ketenagalistrikan, pendanaan, dan AFOLU;
  3. Menjadi ruang diskusi lintas sektor bagi pemerintah selaku pembuat kebijakan, organisasi masyarakat sipil, akademisi, maupun masyarakat umum, dalam rangka mewujudkan kebijakan iklim dan transisi energi di Indonesia yang sejalan dengan target Persetujuan Paris;
  4. Menjadi sarana mengumpulkan pendapat dan masukan dari berbagai lapisan masyarakat dan sektor, yang dapat digunakan sebagai rekomendasi kebijakan iklim dan transisi energi di Indonesia.

 


Materi Presentasi

Status Aksi dan Kebijakan Iklim Indonesia 2023 – Delima Ramadhani

Status-Aksi-dan-Kebijakan-Iklim-Indonesia-2023-Delima-Ramadhani

Unduh

Renewable Energy Development in Indonesia Power Sector – Akbar Bagaskara

Renewable-Energy-Development-in-Indonesia-Power-Sector-Akbar-Bagaskara

Unduh

Peningkatan Ambisi Iklim Sektor AFOLU Menuju Net Sink 2030 – Yosi Amelia

Peningkatan-Ambisi-Iklim-Sektor-AFOLU-Menuju-Net-Sink-2030-Yosi-Amelia

Unduh

Landscape of Climate-Aligned Investment in Indonesia Financial Sector – Luthfyana Larasati

Landscape-of-Climate-Aligned-Investment-in-Indonesia-Financial-Sector-Luthfyana-Larasati

Unduh

 

Strategi Pencapaian NDC 2030 dan LTS LCCR 2050 – Franky Zamzani

Strategi-Pencapaian-NDC-2030-dan-LTS-LCCR-2050-Franky-Zamzani

Unduh

Bridging the Cross-Sectoral Gap in Pursuing More Ambitious Climate Targets in Indonesia

Latar Belakang

Pada tahun 2022, Indonesia, meningkatkan target penurunan emisi GRKnya, dari 29% dengan kemampuan sendiri menjadi 31,89%, dan dari 41% menjadi 43,80% dengan bantuan internasional. Pemerintah menilai target ini lebih ambisius daripada sebelumnya. Sejumlah kebijakan yang telah berjalan, seperti FOLU Net Sink 2030, kebijakan B40, peningkatan aksi di sektor limbah, peningkatan target di sektor pertanian dan industri, Perpres 18/2021 mengenai Nilai Ekonomi Karbon, serta Perpres 112/2022 mengenai Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik menjadi dasar peningkatan target tersebut. .

Menurut analisis Climate Action Tracker (2022), Indonesia telah membuat langkah-langkah positif dalam upaya menurunkan emisi, salah satunya melalui rencana penghentian pembangkit listrik berbahan bakar batubara di 2050. Peran bantuan internasional sangat penting untuk mengimplementasikan penghentian batubara di Indonesia. Walaupun demikian CAT mengevaluasi target dan kebijakan iklim Indonesia sebagai ‘highly insufficient’, yang menunjukkan bahwa kebijakan dan komitmen iklim Indonesia saat ini, tidak konsisten dengan pembatasan kenaikan suhu global dibawah 1,5°C dan akan menyebabkan peningkatan temperatur global.

Indonesia tidak sendiri, demikian juga trend peningkatan emisi GRK akan berlanjut seiring dengan peningkatan konsumsi energi. Menurut ASEAN Center for Energy, emisi GRK dari sektor energi di ASEAN diperkirakan akan naik hingga mencapai 4,171 Mt CO2-eq di tahun 2040. Melalui pernyataan bersama (joint statement), ASEAN berkomitmen untuk mengkomunikasikan masing-masing NDC yang mencerminkan ambisi yang selaras dengan keputusan UNFCCC dan Perjanjian Paris. Dari enam negara ASEAN yang dianalisis oleh CAT (Climate Action Tracker, 2022), 3 negara diantaranya (Singapura, Thailand, dan Vietnam) memiliki status aksi iklim yang ‘critically insufficient’. Peringkat ini mengindikasikan bahwa komitmen dan kebijakan iklim negara tersebut: minim dan sama sekali tidak konsisten dengan Perjanjian Paris.

Dalam kepemimpinannya di ASEAN pada tahun 2023, Indonesia menetapkan pembangunan infrastruktur hijau, implementasi SDGs, dan ketahanan energi sebagai salah satu fokusnya. Dari hasil pertemuan KTT ASEAN ke 42 yang diselenggarakan pada 10-11 Mei 2023, terlihat bahwa tidak ada pernyataan khusus mengenai agenda aksi iklim di ASEAN. Oleh karena itu, dengan momentum kepemimpinan ASEAN ini, penting bagi Indonesia untuk menegaskan kembali komitmen iklimnya yang selaras dengan Perjanjian Paris, dan mendorong target iklim serta pengurangan emisi yang lebih ambisius di tingkat regional Asia Tenggara.

IESR bermaksud mengkaji status kebijakan dan potensi peningkatan ambisi iklim yang selaras dengan target di bawah 1,5°C, melalui seminar bersama dengan berbagai pemangku kebijakan, civitas akademika, dan civil society organizations. Melalui pertemuan ini diharapkan dapat terjadi pertukaran informasi dan diskusi untuk menyelaraskan pandangan para pemangku kebijakan di sektor-sektor yang berpengaruh pada perubahan iklim mengenai perlunya peningkatan ambisi iklim Indonesia, dan translasinya di ASEAN, dengan para praktisi dan penggiat isu iklim. Lebih jauh, seminar ini diharapkan dapat mendorong terjadinya sinergi seluruh pemangku kepentingan dalam memastikan Indonesia mencapai target iklim yang selaras dengan Perjanjian Paris.

Seminar ini juga akan mengeksplorasi peluang dan tantangan Indonesia dalam memenuhi target iklim yang sesuai target Perjanjian Paris; membatasi kenaikan temperatur dibawah 1,5°C. Selain itu, hasil dari diskusi ini juga dapat menjadi masukan dan atau rekomendasi terkait agenda iklim dan transisi energi pada kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023.

Tujuan

  1. Mewadahi pertukaran informasi dan perspektif praktisi dan ahli serta ekspektasi CSO atas kondisi, potensi, serta tantangan untuk target iklim yang lebih ambisius, selaras dengan 1,5°C;
  2. Menginformasikan arah keketuaan Indonesia terkait agenda iklim dan transisi energi di ASEAN pada berbagai sektor

Waktunya Bercermin pada Diri Sendiri dan Target Iklim Kita

Jakarta, 11 Mei 2023 – Hari Bumi tahun ini cukup unik karena jatuh pada hari yang sama dengan Idul Fitri, hari raya Islam yang menandakan berakhirnya puasa pada bulan Ramadhan. Menurut agama, mereka yang berhasil menahan semua keinginan duniawi selama bulan suci ini akan dihapus semua dosanya di masa lalu. Walau konsumsi makanan menjadi lebih sedikit, sampah makanan di Indonesia secara kontra meningkat hampir 20% selama Ramadhan dibandingkan bulan-bulan lainnya, menurut pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam hal emisi gas rumah kaca (GRK), sampah makanan (food loss and waste, FLW) pada tahun 2000 – 2019 menyumbang 1.702,9 juta ton CO2 (MtCO2) atau 7,29% per tahun dari keseluruhan GRK di Indonesia, menurut laporan yang diterbitkan di 2021 oleh Bappenas. Selain itu, konsumsi listrik juga turut meningkat sebesar 5% menurut PLN, yang sebagian besar didorong oleh kegiatan industrial dan konsumsi listrik rumah tangga. Dengan hampir 70% dari kelistrikan Indonesia disuplai oleh PLTU, kenaikan tersebut tentunya akan meningkatkan emisi GRK, terutama karbon dioksida. Sayangnya, semua ini mengkontradiksi semangat Idul Fitri sendiri karena kita tidak sepenuhnya tersucikan, hanya karena aktivitas kita selama bulan suci menyumbang pada emisi GRK. 

Pertanyaannya, mengapa peduli pada emisi gas rumah kaca? 

Iklim bumi telah signifikan berubah dibandingkan keadaan sebelum era industrial. Menurut IPCC AR6 Synthesis Report, suhu global telah tercatat 1,09°C  lebih tinggi pada rentang waktu 2011 – 2020 dibandingkan 1850 – 1900. Angka ini menandakan bahwa panas yang tersimpan di dalam bumi telah melampaui kebutuhan iklim bumi agar cukup hangat untuk para penduduknya. Konsentrasi tinggi dari emisi GRK, termasuk karbon dioksida, metana, dan oksida nitrat dalam atmosfer telah dideteksi lebih tinggi dibandingkan zaman prehistoris, sekitar 800.000 – 2.000.000 tahun yang lalu, berdasarkan laporan di atas. Emisi GRK yang disebabkan manusia sudah pasti menyebabkan kenaikan emisi secara berkala, perlahan-lahan menyebabkan kejadian cuaca ekstrim.

Jadi, apa saja aktivitas manusia yang menyebabkan dampak signifikan pada iklim? Laporan tersebut menjelaskan lebih lanjut mengenai aktivitas manusia yang menghasilkan GRK dan kontribusinya pada emisi GRK global. 79% dari emisi GRK di 2019 berasal dari sektor energi, industri, dan bangunan, sementara sisanya datang dari agrikultur, kehutanan, dan penggunaan lahan (AFOLU). Sektor energi adalah kontributor besar dalam penghasilan karbon dioksida, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan proses industrial (CO2-FFI). Kondisi ini tidak mengejutkan, menimbang sebagian besar energi yang kita konsumsi masih bersumber dari bahan bakar fosil. Hal ini terutama benar bagi negara berkembang, di mana bahan bakar fossil dianggap lebih murah dibandingkan alternatifnya yang lebih bersih. Untuk negara – negara ini, terdapat keseimbangan yang harus dijaga antara mengurangi emisi GRK mereka dengan menjaga pertumbuhan ekonomi.

Apakah Indonesia Telah Cukup Berusaha dalam Komitmennya Terhadap Perubahan Iklim?

Baru tahun lalu, Indonesia menyerahkan NDC Ditingkatkan (Enhanced NDC, ENDC) pada UNFCCC untuk menunjukkan komitmen tetapnya terhadap isu perubahan iklim. Dalam dokumen tersebut, terdapat ambang batas yang sedikit dinaikkan. Indonesia berjanji akan mengurangi emisi GRKnya sebesar 31,2% (usaha sendiri) dan 43,2% (dengan bantuan internasional), bertalian dengan Business-as-Usual (BAU) pada 2030. Kendati tujuannya untuk memenuhi Keputusan 1/CMA.3 baris 29 dari Persetujuan Glasgow, target yang ditingkatkan tersebut masih kurang sejajar dengan target temperatur Persetujuan Paris. Sejajar dengan itu, Climate Action Tracker akhir-akhir ini telah menilai ENDC Indonesia sebagai Sangat Tidak Memadai. Untuk memenuhi target tersebut, CAT berargumen bahwa kebijakan yang ada sudah cukup, namun diperlukan target yang dapat dipenuhi. Analisis mereka menyarankan lebih lanjut bahwa sektor kelistrikan harusnya menurunkan emisi lebih signifikan untuk dapat sejajar dengan peta jalan 1.5°C.  Ini berarti mulai pemensiunan PLTU tanpa teknologi CCS/CCUS hingga tersisa 10% pada 2030, dan memensiunkan seluruhnya pada 2040. Peraturan Presiden 112/2022 seharusnya sudah menyediakan landasan hukum bagi para pemangku kepentingan untuk mengambil aksi yang diperlukan. Komitmen terpadu JETP yang memberikan Indonesia 20 miliar dolar yang diberikan oleh International Partners Group (IPG) harusnya dapat membantu mendorong transisi energi di Indonesia. Dalam pidato terakhirnya di acara Hannover Messe, Presiden Jokowi mengisyaratkan bahwa Indonesia akan memensiunkan seluruh armada batubaranya pada 2050.

Melalui momen Hari Bumi dan Idul Fitri, mari kita coba merefleksikan apakah kita telah berbuat cukup untuk mencegah krisis iklim makin memburuk. Apakah kita telah membersihkan diri kita sepenuhnya? Apakah gaya hidup kita sudah mencerminkan apa yang kita anjurkan selama ini?

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Photo by Asia Chang on Unsplash

Kenaikan Target Penurunan Emisi di NDC Indonesia Masih Jauh untuk Mencegah Krisis Iklim

Jakarta, 6 Desember 2022- Indonesia telah menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) dengan meningkatkan  target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hanya sekitar 2%. Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan anggota dari  Climate Action Tracker (CAT), konsorsium tiga think tank yang melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kebijakan perubahan iklim di 39 negara dan Uni Eropa, menemukan bahwa kenaikan tipis target NDC Indonesia tersebut masih  tidak mencukupi untuk mencegah  kenaikan suhu global 1,5°C. 

Pada Enhanced NDC, target penurunan emisi dengan upaya sendiri  (unconditional) meningkat dari 29% di dokumen Updated NDC menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%. IESR dan CAT memandang seharusnya Indonesia dapat menetapkan target lebih ambisius lagi, terutama setelah dirilisnya Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyedian Tenaga Listrik.

“Indonesia masih ragu-ragu menetapkan target penurunan emisi yang ambisius dan bermain di zona aman. Target penurunan yang ditetapkan dalam Enhanced NDC (E-NDC) sangat mudah dicapai karena referensinya adalah proyeksi peningkatan emisi business as usual di 2030. Target penurunan emisi seharusnya berdasarkan tingkat emisi absolut berdasarkan tahun tertentu. Untuk selaras dengan ambisi 1,5°C, emisi dari sektor energi di 2030 harus setara dengan tingkat emisi dari sektor energi 2010,”  kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada peluncuran hasil penilaian CAT terhadap aksi dan kebijakan iklim Indonesia.

Agar mencapai penurunan emisi yang signifikan, Indonesia perlu melakukan mitigasi yang lebih ambisius pada sektor yang penghasil emisi dominan yakni sektor energi, dan sektor hutan dan lahan. Mempunyai potensi energi terbarukan yang melimpah, bahkan hingga lebih dari 7 TW, Indonesia dapat memanfaatkannya menjadi sumber energi yang minim emisi.

Namun, hingga 2021, bauran energi terbarukan pada sistem energi di Indonesia masih 11,5%. IESR memandang dengan beberapa perkembangan dukungan internasional dan komitmen pemerintah terhadap pensiun dini PLTU batubara akan memberikan ruang yang leluasa bagi pengembangan energi terbarukan sehingga dapat mencapai target 23% energi terbarukan pada 2025, bahkan mencapai 40% di 2030. Dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia Energy System (2021), IESR menyimpulkan pada 2050,  pemanfaatan 100% energi terbarukan dalam sistem energi  Indonesia layak secara teknis dan ekonomis. 

“Status aksi iklim Indonesia dapat ditingkatkan dengan memastikan kebijakan iklim pada dekade ini diimplementasikan untuk memenuhi kontribusi yang adil berdasarkan upaya global (fairshare). Target NDC dengan bantuan internasional juga harus konsisten, setidaknya dengan  jalur optimal dengan biaya terendah untuk ambisi 1,5°C (global least cost pathways),”  jelas Delima Ramadhani, Koordinator Climate Action Tracker, IESR.

Menurutnya, dominasi PLTU batubara yang saat ini sekitar 61% di sistem energi Indonesia, perlu dikurangi secara signifikan  menjadi  hanya 10% PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fired power plan)  pada 2030 dan diakhiri operasinya secara bertahap hingga berhenti seluruhnya pada 2040.  Untuk itu, Indonesia harus meningkatkan komitmen iklimnya, dan bantuan internasional berperan besar untuk implementasi penghentian batubara yang sesuai dengan Persetujuan Paris.

Beberapa mekanisme pendanaan pengakhiran operasi batubara juga telah dibahas dan disepakati oleh Indonesia seperti dalam skema Energy Transition Mechanism, dan  Just Energy Transition Partnerships (JETP). IESR menganggap, walaupun masih belum selaras dengan target 1,5°C, kesepakatan JETP merupakan langkah maju dalam transisi energi di Indonesia. Komitmen pendanaan USD 20 miliar belum cukup untuk mencapai dekarbonisasi sektor energi yang setidaknya membutuhkan total investasi sebesar USD 135 miliar pada 2030.

“Porsi dana hibah dalam pendanaan JETP perlu diperbesar, yang dapat dipakai untuk mempercepat penguatan ekosistem transisi energi dan penyiapan proyek. Selain itu, langkah selanjutnya setelah JETP disepakati adalah penyusunan rencana investasi yang dilakukan secara transparan serta mengarusutamakan prinsip berkeadilan dalam bertransisi energi dengan melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok terdampak,” tutup Fabby. 

Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Paris Agreement yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. CAT telah memberikan analisis independen terhadap sekitar 40 negara sejak 2009. Anggota CAT terdiri dari Climate Analytics, New Climate Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bergabung sebagai mitra sejak 2022.  

Kenaikan Target Penurunan Emisi di NDC Indonesia Masih Jauh untuk Mencegah Krisis Iklim

Jakarta, 6 Desember 2022- Indonesia telah menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) dengan meningkatkan  target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hanya sekitar 2%. Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan anggota dari  Climate Action Tracker (CAT), konsorsium tiga think tank yang melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kebijakan perubahan iklim di 39 negara dan Uni Eropa, menemukan bahwa kenaikan tipis target NDC Indonesia tersebut masih  tidak mencukupi untuk mencegah  kenaikan suhu global 1,5°C. 

Pada Enhanced NDC, target penurunan emisi dengan upaya sendiri  (unconditional) meningkat dari 29% di dokumen Updated NDC menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%. IESR dan CAT memandang seharusnya Indonesia dapat menetapkan target lebih ambisius lagi, terutama setelah dirilisnya Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyedian Tenaga Listrik.

“Indonesia masih ragu-ragu menetapkan target penurunan emisi yang ambisius dan bermain di zona aman. Target penurunan yang ditetapkan dalam Enhanced NDC (E-NDC) sangat mudah dicapai karena referensinya adalah proyeksi peningkatan emisi business as usual di 2030. Target penurunan emisi seharusnya berdasarkan tingkat emisi absolut berdasarkan tahun tertentu. Untuk selaras dengan ambisi 1,5°C, emisi dari sektor energi di 2030 harus setara dengan tingkat emisi dari sektor energi 2010,”  kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada peluncuran hasil penilaian CAT terhadap aksi dan kebijakan iklim Indonesia.

Agar mencapai penurunan emisi yang signifikan, Indonesia perlu melakukan mitigasi yang lebih ambisius pada sektor yang penghasil emisi dominan yakni sektor energi, dan sektor hutan dan lahan. Mempunyai potensi energi terbarukan yang melimpah, bahkan hingga lebih dari 7 TW, Indonesia dapat memanfaatkannya menjadi sumber energi yang minim emisi.

Namun, hingga 2021, bauran energi terbarukan pada sistem energi di Indonesia masih 11,5%. IESR memandang dengan beberapa perkembangan dukungan internasional dan komitmen pemerintah terhadap pensiun dini PLTU batubara akan memberikan ruang yang leluasa bagi pengembangan energi terbarukan sehingga dapat mencapai target 23% energi terbarukan pada 2025, bahkan mencapai 40% di 2030. Dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia Energy System (2021), IESR menyimpulkan pada 2050,  pemanfaatan 100% energi terbarukan dalam sistem energi  Indonesia layak secara teknis dan ekonomis. 

“Status aksi iklim Indonesia dapat ditingkatkan dengan memastikan kebijakan iklim pada dekade ini diimplementasikan untuk memenuhi kontribusi yang adil berdasarkan upaya global (fairshare). Target NDC dengan bantuan internasional juga harus konsisten, setidaknya dengan  jalur optimal dengan biaya terendah untuk ambisi 1,5°C (global least cost pathways),”  jelas Delima Ramadhani, Koordinator Climate Action Tracker, IESR.

Menurutnya, dominasi PLTU batubara yang saat ini sekitar 61% di sistem energi Indonesia, perlu dikurangi secara signifikan  menjadi  hanya 10% PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fired power plan)  pada 2030 dan diakhiri operasinya secara bertahap hingga berhenti seluruhnya pada 2040.  Untuk itu, Indonesia harus meningkatkan komitmen iklimnya, dan bantuan internasional berperan besar untuk implementasi penghentian batubara yang sesuai dengan Persetujuan Paris.

Beberapa mekanisme pendanaan pengakhiran operasi batubara juga telah dibahas dan disepakati oleh Indonesia seperti dalam skema Energy Transition Mechanism, dan  Just Energy Transition Partnerships (JETP). IESR menganggap, walaupun masih belum selaras dengan target 1,5°C, kesepakatan JETP merupakan langkah maju dalam transisi energi di Indonesia. Komitmen pendanaan USD 20 miliar belum cukup untuk mencapai dekarbonisasi sektor energi yang setidaknya membutuhkan total investasi sebesar USD 135 miliar pada 2030.

“Porsi dana hibah dalam pendanaan JETP perlu diperbesar, yang dapat dipakai untuk mempercepat penguatan ekosistem transisi energi dan penyiapan proyek. Selain itu, langkah selanjutnya setelah JETP disepakati adalah penyusunan rencana investasi yang dilakukan secara transparan serta mengarusutamakan prinsip berkeadilan dalam bertransisi energi dengan melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok terdampak,” tutup Fabby. Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Paris Agreement yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. CAT telah memberikan analisis independen terhadap sekitar 40 negara sejak 2009. Anggota CAT terdiri dari Climate Analytics, New Climate Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bergabung sebagai mitra sejak 2022. 

Peluncuran Laporan dan Diskusi: Climate Action Tracker (CAT)- Indonesia Assessment 2022

Latar Belakang

Sesuai Paris Agreement, pemerintah telah berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C di atas tingkat pra-industri dan mengupayakan upaya untuk membatasinya hingga 1,5°C. Untuk mencapai tujuan ini, akan dibutuhkan pengurangan separuh emisi global pada tahun 2030, dan mencapai nol-emisi CO2 pada 2050, dan semua gas rumah kaca sekitar tahun 2070, dengan emisi negatif setelahnya.

Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Perjanjian Paris yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. CAT telah memberikan analisis independen ini kepada pembuat kebijakan sejak 2009.

Climate Action Tracker (CAT) melacak kemajuan negara-negara dalam mencapai target iklim yang telah mereka tetapkan sendiri di bawah Perjanjian Paris dan mengukur dampak gabungan dari komitmen dan kebijakan ini terhadap tingkat suhu global pada akhir abad ini.

Secara umum, CAT menghitung dan mengevaluasi target, kebijakan, dan aksi mitigasi perubahan iklim. Proyek ini juga menggabungkan aksi setiap negara ke tingkat global, dan menentukan kemungkinan kenaikan suhu selama abad ke-21 menggunakan model iklim MAGICC. CAT mengembangkan lebih lanjut analisis sektoral untuk mengilustrasikan jalur (pathway) yang diperlukan untuk memenuhi sasaran suhu global.

Tahun ini CAT bekerjasama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) untuk melakukan analisis pada beberapa negara, salah satunya mengevaluasi perkembangan (aksi dan kebijakan) Indonesia dalam mencapai target iklim sesuai Paris Agreement untuk menjaga kenaikan temperatur global dibawah 2°C dan berusaha untuk menjaga kenaikan temperatur global pada 1,5°C. Studi ini menganalisis aksi nasional seperti: 1) pengaruh kebijakan iklim dan aksi terhadap emisi; kebijakan yang telah diterapkan/ ditetapkan oleh pemerintah dan bagaimana (kemungkinan) hal ini akan mempengaruhi emisi nasional selama periode waktu hingga 2030, dan setelahnya. 2) dampak dari pledge, target, dan NDC pada emisi nasional selama periode waktu hingga 2030, dan setelahnya dan 3) apakah sejauh ini Indonesia telah melakukan fairshare-nya  terhadap upaya global membatasi pemanasan iklim global sesuai Paris Agreement dan apakah rencana dan upaya mitigasinya yang telah dilakukan sejalan dengan jalur biaya terendah global (global least cost pathways).

Hasil kajian terbaru telah dipublikasi pada Oktober 2022 di lamaan https://climateactiontracker.org. Oleh karena itu, untuk memperluas kebermanfaatan dan penyebaran informasi dari hasil riset ini bagi pembuat kebijakan, pemangku kepentingan dan masyarakat luas, kami akan mempublikasikan CAT: Indonesia Assessment 2022 report di Jakarta, Indonesia pada 5 Desember 2022.

Tujuan

Acara peluncuran dan diskusi Climate Action Tracker: Indonesia Assessment 2022 ini diselenggarakan dengan maksud untuk: 

  1. Menginformasikan dan memperkenalkan Climate Action Tracker: Indonesia assessment report yang menganalisis upaya Indonesia dalam mencapai target iklim sesuai Paris Agreement.
  2. Meningkatkan pemahaman publik terkait status dan kemajuan Indonesia dalam mencapai target perubahan iklim
  3. Mewadahi diskusi antara pemangku kebijakan, akademisi, masyarakat sipil terkait isu perubahan iklim.