Metodologi Evaluasi Implementasi Kebijakan: Mekanisme yang Sangat Dibutuhkan

New York, 21 September 2023 – Komunitas global mendesak para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan serius guna mengatasi dampak perubahan iklim. Menjelang COP 27 di Mesir tahun lalu, beberapa negara memperbarui komitmen mereka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai status emisi nol bersih. Namun demikian, masih terdapat kesenjangan antara komitmen dan implementasi kebijakan serta tindakan untuk mencapai target yang telah ditentukan.

Untuk mengamati, menilai, dan memantau kemajuan suatu negara dalam implementasi kebijakan, Climate Transparency, sebuah kemitraan global antara organisasi penelitian dan Organisasi Masyarakat Sipil di negara-negara G20, telah mengembangkan metodologi untuk meninjau implementasi kebijakan dalam empat kategori: status hukum, institusi & tata kelola, sumber daya, dan pengawasan.

Yvonne Deng, Pakar Strategi Energi dan Iklim dari 7Gen Consulting, menekankan pentingnya memiliki instrumen pemantauan untuk meninjau kebijakan saat ini dan perannya dalam mencapai target iklim.

“Kami (Climate Transparency) menganalisis kesenjangan dan mendalami pendekatan sektoral untuk merekomendasikan kebijakan sektoral apa yang harus diambil suatu negara untuk mencapai ambisi tersebut,” kata Yvonne.

Afrika Selatan, salah satu negara yang mendapat perhatian global akhir-akhir ini sebagai penerima pertama pendanaan Just Energy Transition Partnership. Guy Cunliffe, Peneliti Sistem Energi di Universitas Cape Town menjelaskan bahwa sebagai negara yang menerima bantuan internasional, Afrika Selatan perlu menunjukkan akuntabilitas dalam pelaksanaan proyeknya.

“Pemantauan implementasi sangat penting untuk menunjukkan keberhasilan implementasi dan sebagai negara penerima, hal ini juga merupakan cara untuk menampilkan kemajuan proyek yang berkomitmen,” katanya.

Guy menambahkan bahwa sebagai penerima JETP pertama, Afrika Selatan telah meningkatkan ambisi iklimnya dan mencoba mengintegrasikan kapasitas energi terbarukan secara signifikan ke dalam jaringan listriknya. Namun dalam implementasinya, negara tersebut mengalami kendala dalam hal pasokan listrik. Kendala ini ‘memaksa’ mereka untuk menyesuaikan rencana dan kebijakan sekaligus mengubah struktur pasar energi dengan cepat. Hal ini hanya mungkin terjadi dengan pemantauan kebijakan yang berkelanjutan.

Mirip dengan Afrika Selatan, Indonesia, sebagai salah satu produsen batubara terbesar, pembangkit listriknya didominasi oleh batubara. Pada tahun 2022, Indonesia memperbarui target penurunan emisi dalam enhanced NDC, dari 29% menjadi 31,89% (unconditional) dan 41% menjadi 43,2% (conditional).

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau di Institute for Essential Services Reform (IESR), mencatat bahwa selama masa transisi dari batubara, masih terdapat konflik kepentingan di antara para pemangku kepentingan, terutama karena kurangnya panduan yang jelas dari pemerintah mengenai transisi meliputi indikator dan arahan strategi.

“Meskipun Indonesia telah meningkatkan ambisinya dan tertuang dalam target NDC-nya, ekosistem pendukung (enabling environment) bagi para pengembang energi terbarukan masih belum cukup menarik. Masih belum ada insentif yang jelas bagi investor serta prosesnya yang masih cukup panjang,” jelas Wira.

RUU Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) yang sedang dalam proses, meskipun diyakini akan memberikan kerangka kebijakan yang kuat, sampai batas tertentu masih berupaya untuk memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil dengan memasukkan teknologi CCS ke dalam opsi energi terbarukan.

Mendorong Peran Organisasi Masyarakat Sipil dalam Transformasi ASEAN

Jakarta, 16 Mei 2023 – Peran Indonesia dalam diplomasi internasional berlanjut setelah sukses menjadi tuan rumah pertemuan G20 pada November 2022. Tahun ini, Indonesia memegang keketuaan ASEAN. ASEAN sendiri merupakan kawasan penting karena menyumbang pertumbuhan ekonomi yang cukup besar. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, ASEAN diproyeksikan akan memiliki pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3% menurut ADB. Tantangan yang masih ada di sekitar ASEAN saat ini adalah efek dari perubahan iklim dan transisi energi.

Negara-negara ASEAN selain Vietnam masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil terutama batubara dalam sistem energinya. Dibutuhkan lebih banyak upaya serta pembiayaan untuk mengubah seluruh sistem energi di ASEAN menjadi rendah karbon dan berkelanjutan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), saat webinar bertajuk “Making Energy Green and Low Carbon to Support Sustainable Growth” through Advancing the Role of Civil Society in Southeast Asia Energy Transition During Indonesia ASEAN Chairmanship 2023” menyebutkan bahwa semua pemangku kepentingan termasuk pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja bahu membahu untuk memastikan transformasi menuju sistem energi bersih terjadi di ASEAN.

“Kami juga membutuhkan kolaborasi lebih lanjut di tingkat akar rumput dan peran CSO ASEAN yang semakin signifikan di kawasan dan bagaimana CSO ASEAN baik sebagai entitas individu maupun kelompok dapat berkontribusi untuk “Membuat Energi Hijau dan Rendah Karbon untuk Mendukung Pertumbuhan Berkelanjutan” melalui Memajukan Peran Masyarakat Sipil dalam Transisi Energi Asia Tenggara Selama Keketuaan Indonesia ASEAN 2023,” ujarnya.

Kemudian, Ridwan Budi Santoso, Koordinator Pokja Kerja Sama Investasi dan Ketenagalistrikan, Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM menjelaskan, keketuaan ASEAN Indonesia akan berupaya mendapatkan kesepakatan kerja sama regional termasuk interkonektivitas ketenagalistrikan yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Dia mengatakan bahwa pihaknya akan memiliki deklarasi bersama Menteri ASEAN ke-41 tentang Pertemuan Energi tentang energi berkelanjutan melalui interkonektivitas, dan pernyataan bersama untuk Proyek Integrasi Listrik Brunei Darussalam – Indonesia – Malaysia – Filipina (BIMP – PIP) sebagai penyampaiannya.

“Kami berharap perusahaan utilitas (di negara-negara tersebut-red) menandatangani MoU untuk interkonektivitas,” kata Ridwan.

Dalam agenda penetapan kebijakan, Indonesia bertujuan untuk memiliki pernyataan bersama terkait dampak perubahan iklim di kawasan.

“Selain pernyataan bersama ASEAN tentang perubahan iklim, kami juga akan memiliki kajian tentang aksi iklim berbasis komunitas ASEAN, yang berisi pembelajaran dan praktik baik untuk diterapkan di tingkat komunitas,” Wisnu Murti, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Hutan dan Lingkungan dijelaskan.

Menanggapi pemaparan Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini, Antony Tan, Executive Officer All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals (APPGM-SDGs), menyoroti kehadiran ASEAN di komunitas internasional masih kurang. Sedikit berbeda dengan, misalnya, Uni Eropa yang memiliki kehadiran khusus dalam pertemuan-pertemuan internasional.

“Kita lihat itu misalnya saat COP 27 lalu. Kita (ASEAN) duduk terpisah-pisah dan bersama-sama hanya saat pembahasan loss and damage,” imbuhnya.

Terkait pengembangan energi terbarukan di Malaysia, Antony mengatakan saat ini Malaysia fokus pada PLTS dan hydro power. Malaysia bertujuan untuk meningkatkan pangsa energi terbarukannya, tidak termasuk tenaga air hingga 20% dari bauran energi pada tahun 2025.

“Kami mencabut larangan ekspor energi terbarukan. Langkah ini disambut baik oleh Singapura, karena akan menguntungkan negara tetangga dan mendorong sektor energi terbarukan lokal,” pungkasnya.

Ketua ASEAN sebelumnya, Kamboja menghadapi berbagai tantangan untuk membawa dekarbonisasi ke negara tersebut. Dalam mengatasi tantangan tersebut, lembaga swadaya masyarakat berperan sebagai jembatan untuk memperjelas visi dalam mempercepat transisi energi.

“Ketika kita berbicara tentang dekarbonisasi, itu berarti kita perlu berbicara tentang reformasi pasar energi seperti apa, pendukung apa yang dapat diimplementasikan, dan kita perlu memahami bahwa konteks antara satu tempat dan tempat lain sangat berbeda dan kita perlu mencari jalan keluarnya. pendekatan yang berbeda,” jelas Direktur Eksekutif Energy Lab, Kamboja, Natharoun Ngo Son.

Chariya Senpong, Ketua Tim Transisi Energi, Greenpeace Thailand menyoroti peran menjadi “jembatan” bagi banyak pemangku kepentingan. Organisasi masyarakat sipil harus memberdayakan masyarakat untuk mampu bergerak melampaui tingkat lintas batas.

“Penting untuk mengkomunikasikan isu terkait iklim tidak hanya kepada masyarakat tetapi juga kepada pemerintah, terutama di tingkat ASEAN. Tentang bagaimana kita bisa mendapatkan perubahan kebijakan yang cepat untuk mencapai tingkat emisi nol bersih. OMS juga perlu bekerja di berbagai tingkat advokasi untuk mempengaruhi dan menggerakkan para pemangku kepentingan ke jalur yang lebih berkelanjutan,” jelasnya.

Aryanne De Ocampo, Advocacy, Networking, and Communications Officer, Center for Energy, Ecology and Development menambahkan bahwa ASEAN memiliki kekuatan untuk mendorong dekarbonisasi secara global.

“Sebagai ASEAN, kita harus menjadi yang terdepan dalam menuntut perubahan dari pemerintah dan industri untuk berkomitmen pada target iklim yang ambisius. Agar ASEAN memiliki identitasnya, ia juga perlu mewakili bagian masyarakat yang paling rentan, mulai dari komitmen iklimnya.”

Setiap tahun ASEAN mengeluarkan ratusan pernyataan bersama dan ASEAN perlu memastikan bahwa pernyataan terkait perubahan iklim itu terwujud. Hal ini dikemukakan oleh Esther Tamara, Direktur Unit Iklim, Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia.

“ASEAN perlu memastikan bahwa pernyataan bersama terkait perubahan iklim tidak hanya sebatas pernyataan. Visi ASEAN pasca-2025 harus fokus pada iklim untuk menciptakan dunia yang hijau. Ada juga kata-kata dari pemerintah Kamboja khususnya untuk membuat Green Deal, tapi belum banyak gerakan ke arah itu,” ujarnya.

Esther menambahkan, seharusnya ada mekanisme resmi organisasi masyarakat sipil yang memungkinkan terjadinya diskusi dari bawah ke atas di ASEAN.

Belajar Bagaimana AS Berupaya Meraih Peluang Menahan Laju Krisis Iklim

Jakarta, 13 September 2022 – Untuk memerangi krisis iklim, tindakan kita hari ini akan menentukan ekonomi, dan keberlanjutan umat manusia dalam jangka panjang. Laporan IPCC telah memberitahu kita bahwa waktu yang tersisa untuk kita dapat berupaya menahan suhu global pada 1,5 derajat celcius terbatas. Komitmen global untuk mengatasi perubahan iklim telah didorong melalui forum internasional.

Setelah bergabung kembali dengan Perjanjian Paris selama pemerintahan Biden – Harris, Amerika Serikat (AS) secara aktif mendorong warga dunia untuk mengatasi perubahan iklim melalui kebijakan dan perencanaan pembangunan strategis. Baru-baru ini, AS baru saja mengeluarkan peraturan baru yaitu Inflation Reduction Act (IRA) untuk mendorong pemanfaatan teknologi energi bersih. Target AS adalah mengurangi 50-52% emisi GRK pada tahun 2030 dan menggunakan 100% listrik bersih pada tahun 2035 sebelum menjadi nol emisi karbon pada tahun 2050.

Nathan Hultman, direktur Center for Global Sustainability University of Maryland, dalam sesi kuliah umum yang terselenggara atas kerja sama  Kantor Staf Presiden Indonesia, dan Institute for Essential Services Reform mengatakan bahwa ia yakin bahwa kita dapat mencapai tingkat 1,5 derajat.

“Kita telah membuat beberapa kemajuan dan masih di jalur 1,5 derajat. Namun bukan berarti pekerjaan kita telah selesai. Kita memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan terutama melalui kebijakan,” kata Nathan.

Nathan menekankan perlunya pendekatan multi-stakeholder dalam menangani keadaan darurat iklim melalui transisi energi. Ia menjelaskan, pemerintah pusat merupakan pemangku kepentingan penting dalam menentukan arah transisi energi. Namun, dalam transisi energi kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah nasional karena gagasan transisi energi harus dipahami dan dilaksanakan oleh banyak aktor termasuk pemerintah tingkat daerah dan bahkan sektor swasta.

“Misalnya di AS pada masa pemerintahan Trump tidak begitu banyak terjadi kemajuan (kebijakan iklim), tetapi ada beberapa kemajuan di tingkat sub-nasional yang mendorong kebijakan nasional di pemerintahan mendatang,” jelasnya.

Menyadari bahwa sebagian besar negara demokratis memiliki pemangku kepentingan yang sama, pendekatan ‘All in’ ini dapat diduplikasi di negara lain. Setiap negara berbeda, tetapi masing-masing dari kita memiliki kesempatan untuk berbuat lebih banyak.

Memainkan peran strategis sebagai pemimpin G20 tahun ini, Indonesia memiliki peran krusial dalam mencapai tujuan iklim global. Dengan mengajukan komitmen iklim yang lebih ambisius, mempercepat energi terbarukan ke dalam sistem, dan mengadopsi kendaraan listrik dalam jumlah besar, Indonesia dapat menginspirasi negara lain untuk menunjukkan tindakan nyata dalam mengatasi krisis iklim.

Setiap negara perlu mencari cara strategis untuk melakukan transisi, perlu untuk belajar dan menggali inspirasi dari negara lain. Komitmen global untuk mendukung pendanaan transisi energi harus dipenuhi untuk membantu negara-negara berkembang dalam menjalankan transisi dengan lancar.

Hageng Nugroho, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden menekankan peran kolaborasi global untuk mencapai target net zero.

“Indonesia berencana untuk menjadi net zero pada 2060, dan dalam mencapainya kita menghadapi beberapa kendala dari teknologi hingga pendanaan. Setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan oleh suatu negara untuk menghindari dampak fatal krisis iklim. Pertama, memenuhi target NDC, mendorong partisipasi warga dan pemangku kepentingan potensial dalam transisi energi,   memperkuat kemitraan global, dan mendorong pembangunan ekonomi hijau,”

Hageng menambahkan, poin terpenting adalah memastikan komitmen itu diwujudkan dalam tindakan, bukan hanya pada level kebijakan.

Kuliah Umum “Kebijakan dan Aksi Iklim All-in Amerika Serikat serta Program Prioritas Indonesia”

Institute for Essential Services Reform (IESR), bekerja sama dengan Kantor Eksekutif Presiden akan mengadakan kuliah umum/seminar tentang Kebijakan Iklim AS All-In dan Prioritas Pembangunan Indonesia dan bagaimana hubungan AS-Indonesia dapat melayani kedua negara. Kuliah umum tersebut akan mengundang Prof. Nathan Hultman, PhD dari Center for Global Sustainability University of Maryland dan Ahli dari Kantor Staf Presiden Presiden Republik Indonesia.

Continue reading

Apa yang dapat dilakukan Perusahaan Listrik Negara G20 untuk Mengatasi Krisis Iklim?

Bali, 29 Agustus 2022 – Sektor kelistrikan merupakan salah satu penghasil emisi terbesar setelah sektor kehutanan dan tata guna lahan. Dengan semakin terbatasnya peluang untuk menjaga suhu global pada level 1,5 derajat, dorongan untuk mendekarbonisasi sektor kelistrikan menjadi semakin penting. Perusahaan utilitas listrik akan menjadi pendorong utama upaya dekarbonisasi untuk mencapai emisi nol bersih.

Philippe Benoit, Adjunct Senior Research Scholar Center on Global Energy Policy, Columbia University, dalam seminar “The Role of G20 Power Utilities in Climate Mitigation Effort” yang diselenggarakan oleh C20, menekankan pentingnya mereformasi perusahaan listrik milik negara, mewujudkan perannya sebagai produsen listrik, pembeli listrik, dan pemilik/operator jaringan untuk mempercepat transisi energi.

“Perusahaan listrik nasional bersifat multidimensi. Ketika kita berbicara tentang dekarbonisasi, kita harus memikirkannya karena merekalah yang akan menentukan laju dekarbonisasi,” katanya.

Philippe melanjutkan bahwa skenario berbasis pasar seperti pajak karbon, perdagangan karbon, dan penetapan harga dapat menjadi instrumen untuk mempengaruhi perusahaan listrik nasional untuk melakukan dekarbonisasi. Selain itu, pemerintah juga dapat menyediakan sumber daya bagi perusahaan listrik nasional dengan mendukung mereka, melakukan advokasi, dan secara langsung menjalankan kekuasaan pemegang saham pemerintah.

Mahmoud Mohieldin, High-Level COP 27 Champion Mesir, mengusulkan beberapa poin untuk dibahas, termasuk kebijakan energi komprehensif yang mencakup penghentian penggunaan bahan bakar fosil, akses energi, dan pengembangan hidrogen hijau.

“Anggaran negara harus mencerminkan prioritas agenda iklim dalam kerangka pembangunan SDGs,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Joojin Kim, Managing Director Solution for Our Climate (SFOC), Korea Selatan, memaparkan fakta bahwa saat ini energi terbarukan menghadapi beberapa pembatasan di beberapa wilayah untuk menghindari energi yang ‘tidak terjual’.

“Secara global, ada peningkatan signifikan dari kapasitas energi terbarukan tetapi sebagian besar dibangun di AS atau Eropa. Untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan listrik, beberapa daerah mulai menerapkan pembatasan energi terbarukan,” katanya.

Joojin mengatakan kondisi ini tidak kondusif untuk mencapai target net zero. Untuk menyelaraskan dengan jalur 1,5 derajat Celcius, negara G20 harus memiliki 75% energi terbarukan pada tahun 2040. Menurutnya baik Korea Selatan maupun Indonesia tidak dalam situasi yang ideal untuk mencapai target itu jika tidak ada perubahan segera.

Menurut Dennis Volk, Kepala Divisi Bundesnetzazagenturn (BNetZa), Jerman, komitmen politik dari pemerintah menjadi kunci dekarbonisasi sektor kelistrikan.

“Diperlukan komitmen politik yang kuat untuk mendorong sektor ketenagalistrikan ke jalur dekarbonisasi. Hal  kedua yang juga penting adalah skema pendukung termasuk pembiayaan,” kata Dennis.

Youngjin Chae, Vice President Strategy and Planning Korea Power Exchange (KPX), Korea Selatan menjelaskan, saat ini terdapat sekitar 19% energi terbarukan di Korea Selatan pada bauran energinya. Isu terkait fleksibilitas, penyimpanan, dan kelayakan (secara bisnis) menjadi perhatian karena karakteristik energi terbarukan yang terkonsentrasi secara lokal.

Indonesia berencana untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060 atau lebih cepat. PLN sebagai perusahaan penyedia tenaga listrik, melalui Direktur Perencanaan Perusahaan Evy Haryadi mengatakan PLN perlu membangun pembangkit baru sebesar 413 GW dengan energi terbarukan sekitar 75% dan interkoneksi 19 GW untuk mencapai net zero pada tahun 2060.

“Kami (PLN) menilai setidaknya ada lima hal besar yang harus diubah (dibangun), mulai dari sistem penyimpanan baterai, interkoneksi, klaster industri hijau, mekanisme penarikan batu bara, hingga pengembangan teknologi baru,” pungkas Evy.

Beberapa tantangan serius dihadapi oleh negara-negara dalam mengembangkan energi terbarukan. Mempertimbangkan situasi tiap negara yang beragam, setiap negara harus segera mencari solusinya karena IPCC telah memperingatkan bahwa waktu kita semakin pendek.

“Setiap negara harus mampu menjawab isu penyelesaian perubahan iklim, permintaan pelanggan akan listrik yang handal dan terjangkau, kebutuhan tenaga kerja untuk meningkatkan keterampilan, regulasi dari pemerintah, dan lebih banyak teknologi untuk menyediakan energi hijau,” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menutup webinar.

Indonesia Tidak Hanya Butuh Transisi Energi, Namun Akselerasi Transisi Energi

Jakarta, 31 Mei 2022 – Konflik geopolitik yang terjadi beberapa bulan terakhir telah mempengaruhi sejumlah situasi global salah satunya kondisi pasokan energi. Negara-negara Uni Eropa yang merasakan imbas dari terganggunya pasokan energi mulai mencari berbagai alternatif baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagai solusi jangka panjang, Uni Eropa mengeluarkan kebijakan energi baru bertajuk REpower EU. Dalam kebijakan ini, Uni Eropa berencana untuk menambah kapasitas energi terbarukannya hingga 740 GWdc hingga 2030 untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil Rusia dan memastikan ketahanan energinya. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam acara MGN Media Summit yang diselenggarakan pada Selasa, 31 Mei 2022, menyatakan situasi geopolitik global saat ini memang kurang menguntungkan untuk transisi energi bukan hanya di Indonesia namun berbagai negara di dunia. Namun, setelah beberapa bulan tensi geopolitik ini masih berlanjut, sejumlah negara mulai menggunakan momentum ini untuk lepas dari ketergantungan energi fosil dan mengakselerasi energi terbarukannya. Indonesia pun harusnya dapat melakukan hal serupa dengan misalnya memastikan aturan yang dibuat untuk mendukung akselerasi energi terbarukan seperti Permen ESDM 26/2021 berjalan.

“Kelemahan negara ini adalah rencana sudah dibuat namun implementasi dan penegakannya masih lemah, misalnya Permen ESDM 26/2021 tentang PLTS atap,” Fabby menjelaskan.

Fabby menjelaskan Permen ESDM 26/2021 belum juga dilaksanakan oleh PLN sebab masih terganjal sejumlah isu salah satunya kompensasi Kementerian Keuangan untuk PLN yang aturannya belum dibuat. 

“Maka mungkin DPR RI dapat memanggil Menteri Keuangan dan Menteri ESDM untuk menjelaskan situasi dan meminta mereka untuk segera merancang skema kompensasi untuk PLN,” tambahnya.

Situasi transisi energi di Indonesia sendiri memang tidak terlalu menggembirakan. Memiliki target bauran energi baru sebesar 23% di tahun 2025, data Kementerian ESDM pada bulan Februari 2022 lalu menunjukkan target tersebut baru tercapai sekitar 11,5%. Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI yang menangani tentang energi, mengaku berat untuk mengejar target bauran energi terbarukan tersebut, namun hal itu bukan berarti tidak mungkin.

“Harus saya akui ini berat, namun dengan kerja ekstra keras kita bersama, saya masih optimis kita dapat mencapainya,” jelas Sugeng.

PLN sebagai aktor kunci terutama dalam akselerasi energi terbarukan menyatakan bahwa selain penyediaan energi, sisi demand (permintaan) energi juga harus dipastikan ada.

“Kita juga perlu memastikan bahwa demand untuk energi terbarukan ini tersedia. PLN sendiri akan sangat bergantung pada teknologi yang ada untuk mengejar net-zero emission (NZE) maupun target bauran energi,” Cita Dewi,  EVP Perencanaan & Enjiniring EBT PT PLN (Persero), menjelaskan.

Cita menambahkan bahwa pihaknya tidak dapat bekerja sendiri untuk mengeksekusi percepatan energi terbarukan sendiri. Butuh kolaborasi berbagai pihak untuk memastikan transisi energi ini berjalan. 

Daniel Purba, Senior Vice President, Strategy & Investment, PT Pertamina (Persero) menyatakan bahwa cadangan fosil kita sudah tak sebanyak dulu. Dari sisi konsumsi pun, meski saat ini fosil masih mendominasi, namun kedepannya pasti berganti.

“Walaupun sekarang misalnya, BBM mendominasi konsumsi masyarakat, kedepannya kendaraan listrik dan bahan bakar alternatif seperti hidrogen yang akan banyak digunakan,” katanya.

Dengan adanya fenomena ini, korporasi memiliki kebutuhan untuk mendiversifikasi bahkan mentransformasi bisnisnya supaya perusahaan dapat sustain, serta mendapat kepercayaan baik dari investor maupun konsumen.

“Pertamina sendiri mulai mendiversifikasi bisnisnya dengan mulai mengembangkan hidrogen dan menggunakan PLTS pada kantor operasional kami,” tambah Daniel.

Menyoroti mengenai kebijakan energi di Indonesia Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, menyatakan bahwa Indonesia memiliki instrumen kebijakan yang cukup lengkap mulai dari peta jalan, target, dan rencana. Namun menurutnya penting untuk mengukur  seberapa on-track dan tangguhnya  ketahanan energi dengan berbagai instrumen kebijakan yang ada di Indonesia.

“Berbagai skema kebijakan yang ada saat ini membuat indeks ketahanan energi kita berada dalam kategori ‘tahan’. Kita belum bisa mencapai kategori ‘sangat tahan’ karena beberapa hal antara lain impor energi (BBM) kita masih tinggi, infrastruktur energi (grid) kita masih harus ditingkatkan kualitasnya, dan bauran EBT kita masih rendah,” jelas Djoko.

Djoko menambahkan pemerintah perlu untuk menyelesaikan isu-isu tersebut untuk memastikan ketahanan energi Indonesia serta untuk menurunkan emisi GRK dari sektor energi. Dengan begitu komitmen Indonesia pada berbagai perjanjian Internasional terpenuhi.

C20 Indonesia Dorong Transisi Energi Berkeadilan

Jakarta, 30 Juni 2022 – Transisi energi merupakan salah satu isu prioritas dari presidensi G20 Indonesia tahun 2022 ini. Peran sebagai pemimpin kelompok negara G20 ini tentu momentum strategis bagi Indonesia untuk menunjukkan komitmennya dalam melakukan transisi energi. Persetujuan Paris pada 2015 telah menyepakati untuk menahan kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius, bahkan berusaha supaya di level 1,5 derajat. Untuk itu, semua pihak harus menekan emisinya dari sektor-sektor yang tinggi emisi seperti energi dan mencapai status karbon netral pada pertengahan abad ini.

Untuk menggali berbagai perspektif tentang transisi energi, engagement group Civil 20 menggelar workshop bertajuk “Making a Just Energy Transition for All” mengundang engagement group Think 20 (T20), Science 20 (S20) dan Business 20 (B20). Hadir pula sebagai panelis,Widhyawan Prawiraatmadja, mantan gubernur Indonesia untuk OPEC. 

Dari diskusi yang berjalan, seluruh narasumber sepakat untuk meletakkan aspek manusia sebagai poros dari transisi energi. Disampaikan Vivian Sunwoo Lee, koordinator Internasional C20, bahwa C20 terus menyuarakan pentingnya untuk segera beralih dari sistem energi berbasis fosil ke sistem energi berbasis energi terbarukan. 

“Terdapat sejumlah risiko terutama dari sisi finansial dan ekonomi dari infrastruktur energi fosil yang berpotensi menjadi aset terdampar jika kita tidak segera bergegas melakukan transisi energi,” katanya. Vivian juga menyoroti besarnya subsidi energi fosil yang masih diberikan oleh negara-negara G20.

Profesor Yunita Winarto, co-chair Task Force 5 S20 menyatakan pentingnya pendekatan interdisipliner dalam merencanakan dan melaksanakan transisi energi.

“Pendekatan interdisipliner akan menggeser paradigma dari eksploitatif-ekstraktif menjadi environmentally friendly-resilient, dari ekonomi linier ke ekonomi sirkular, dan dari good governance ke proper governance. Dengan begitu niscaya akan tercipta satu keseimbangan sesuai prinsip planet, people, & prosperity for all,” jelas  Yunita.

Moekti H. Soejachmoen, Lead co-chair Task Force 3 T20, menjelaskan pentingnya instrumen nilai ekonomi karbon dalam konteks transisi energi. 

“Pertumbuhan permintaan energi itu pasti akan terus tumbuh. Itu tidak terelakkan lagi, maka kita harus mencari berbagai cara supaya kebutuhan energi ini terpenuhi, namun di sisi lain kebutuhan kita untuk menurunkan emisi juga tercapai. Maka instrumen nilai ekonomi karbon ini menjadi penting,” jelas Moekti.

Moekti juga menambahkan penting bagi Indonesia untuk memastikan isu yang didorong dalam presidensi G20 tahun ini masih tetap dibahas di tahun-tahun selanjutnya. Mengingat transisi energi merupakan suatu proses yang panjang dan membutuhkan waktu bertahun-tahun. 

Transisi energi akan mengubah total wajah sektor energi Indonesia. Oki Muraza, Policy Manager Task Force Energy Sustainability and Climate, B20, menjelaskan bahwa faktor keterjangkauan harus menjadi salah satu pertimbangan utama dalam melakukan transisi energi.

“Kita harus memastikan faktor keterjangkauan (affordability) dari energi saat proses transisi ini berjalan dapat terjaga. Selain itu, kita juga perlu memperhatikan orang-orang yang saat ini bekerja di sektor hidrokarbon, bagaimana mereka dapat di training supaya tidak kehilangan pekerjaan dalam transisi energi,” jelas Oki.

Widhyawan Prawiraatmadja mengingatkan bahwa perlu adanya penyelarasan persepsi, aturan dan kebijakan di level kementerian terkait transisi energi dan pencapaian komitmen Indonesia di kancah internasional seperti NDC. Hal ini selain untuk percepatan pencapaian target-target nasional maupun internasional, juga untuk memberikan sinyal yang senada pada investor. 

“Jika sinyal yang dikirimkan pada investor tidak seragam, tentu persepsi para investor adalah risiko berinvestasi di Indonesia tinggi, dan bukan tidak mungkin membuat mereka berpikir panjang untuk berinvestasi,” tutur Widhyawan.

Interkoneksi Listrik Antar-pulau di Indonesia Adalah Keniscayaan

Jakarta, 26 Januari 2022 – Sektor energi yang didominasi oleh energi fosil berkontribusi pada ⅔ emisi global. Agar penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) eksponensial, maka pemanfaatan energi terbarukan secara masif merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Salah satu upaya untuk memberdayakan 100 persen potensi teknis energi terbarukan yang banyak tersebar di seluruh provinsi di Indonesia adalah dengan pembangunan interkoneksi jaringan listrik Nusantara. 

Jisman Hutajulu, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, dalam webinar HK Experts (26/1/2022), menyatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian ESDM telah berencana untuk menghubungkan sistem transmisi listrik antar pulau di Indonesia.

“Hal ini untuk mendukung rencana net-zero emission 2060. Kan salah satu yang mau didorong adalah penggunaan EBT, namun sumber EBT banyak berada jauh dari sumber beban yang banyak di Jawa. Jadi kita harus mentransmisikan energi itu ke pusat beban kita,” Jisman menjelaskan.

Jisman menuturkan bahwa pihaknya mendorong PLN untuk  menyelesaikan interkoneksi di dalam pulau besar di Indonesia yang diharapkan akan sepenuhnya selesai pada 2024 untuk bertahap disambungkan antar pulau. 

Jisman mengakui untuk membangun sistem transmisi ini, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Maka pihaknya sedang membuat kajian prioritas, transmisi mana yang akan dibangun terlebih dulu.  Lebih jauh, Jisman juga menyinggung potensi masuknya rencana pembangunan transmisi ini dalam Draft Inventaris Masalah (DIM) RUU EBT untuk memastikan prioritas pengerjaannya.

Dalam kesempatan yang sama, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR berpendapat bahwa sistem interkoneksi ini harus dilihat sebagai investasi bukan beban dari pilihan bertransisi menuju energi bersih. 

“Perhitungan IESR, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah. Untuk surya saja, potensinya bisa mencapai 7.700 GW dengan potensi terbesar berdasarkan kesesuaian lahan, berada di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan,” jelas Fabby.

Fabby juga mengungkapkan bahwa untuk kebutuhan investasi awal pembangunan interkoneksi jaringan sampai tahun 2030 masih kecil yakni sekitar USD 3,3 miliar karena belum integrasi antar pulau. Namun investasi tersebut akan meningkat pada 2040 dan 2050, berturut-turut di angka USD 34,8 miliar dan USD 53,9 miliar.  

Manfaat lain yang Indonesia bisa nikmati dari adanya interkoneksi antarpulau diantaranya dapat meningkatkan keandalan dan cadangan daya yang terkonsentrasi. 

“Cadangan daya berlebihan di Sumatera bisa dikirim ke Bangka, begitupun sebaliknya,” ungkap Fabby.

Selain itu, jaringan yang terintegrasi antar pulau dapat mengurangi kebutuhan investasi untuk pembangunan pembangkitan. Menurutnya lagi, interkoneksi jaringan akan  menciptakan keragaman bauran pembangkit dan keamanan pasokan, yang berbeda dari sistem energi fosil yang hanya berasal dari satu sumber energi.  Lebih jauh Fabby memaparkan bahwa jika sistem interkoneksi ini sudah berjalan maka biaya pembangkitan listrik energi terbarukan akan turun hingga 18% – 46% pada tahun 2030.

Menilik Strategi Transisi Energi Pemerintah Indonesia di Tahun 2022

press release

Jakarta, 18 Januari 2022  Memasuki tahun 2022,  Kementerian ESDM memaparkan strategi transisi energi indonesia dalam “Konferensi Pers Capaian Kinerja 2021 dan Rencana Kerja 2022 ESDM dan Subsektor EBTKE”. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang meski arah strategi transisi energi Indonesia semakin jelas, namun laju transisi energi perlu dipercepat untuk menurunkan emisi GRK serta sejalan dengan jalur Persetujuan Paris untuk menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Hanya saja, masih ada beberapa strategi yang dirasa masih tumpang tindih misalnya seperti pemanfaatan Dimethyl Ether (DME), jargas dan kompor induksi untuk menggantikan pemenuhan energi rumah tangga yang seharusnya bisa disusun peta jalan yang lebih fokus.

Pada Peta Jalan Transisi Energi 2021-2030, pemerintah menitikberatkan pada pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan (PLT EBT) yang mencapai 20,9 GW, sementara PLTS atap ditargetkan sebesar 3,6 GW. Pembangunan PLTS akan masif pada tahun 2031-2050 dengan jumlah total sebesar 279,2 GW. 

Berdasarkan kajian IESR berjudul “Dekarbonisasi Menyeluruh Sistem Energi Indonesia”, pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan justru harus dikebut pada jangka waktu 2021-2030 untuk mencapai target bauran energi terbarukan, dan mencapai puncak emisi di sektor kelistrikan sebelum 2030. Selain itu, setidaknya perlu peningkatan 14 kali lipat dari jumlah kapasitas energi terbarukan di tahun 2020, dengan sekitar 117 GW berasal dari PLTS dan`23 GW dari pembangkit energi terbarukan lainnya.

Laporan realisasi kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) oleh pemerintah hingga tahun 2021 mencapai 11.152 MW. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR berpendapat bahwa target penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan selalu di bawah target pemerintah sejak tahun 2019 dan tidak on-track dengan target bauran energi terbarukan yang mencapai 24 GW pada 2025.

“Penyebab rendahnya penambahan pembangkit energi terbarukan bersifat struktural, antara lain: Permen ESDM No. 50/2017 yang membuat proyek pembangkit energi terbarukan tidak bankable, pengadaan pembangkit energi terbarukan (ET) yang tidak dilakukan secara berkala dan terjadwal oleh PLN, minimnya dukungan pembiayaan domestik yang kompetitif, serta keterlambatan realisasi proyek karena pandemi,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.   

Menyoroti target investasi sektor energi baru terbarukan di tahun 2022, pemerintah mematok masuknya investasi sebesar 3,9 miliar USD, naik 2,6 kali dari pencapaian investasi sebelumnya sebesar 1,51 miliar USD pada 2021. Menurut Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi, IESR, meskipun target meningkat hampir tiga kali lipat, jumlah tersebut tergolong kecil untuk mendanai upaya dekarbonisasi sistem energi di Indonesia. 

“Berdasarkan kajian Indonesia Energy Transition Outlook 2022, investasi energi terbarukan untuk sektor ketenagalistrikan saja membutuhkan nilai sebesar 11,1 miliar USD per tahunnya selama satu dekade ke depan. Beberapa kebijakan dan regulasi energi terbarukan yang seharusnya dirilis tahun lalu, perlu segera difinalkan untuk meningkatkan kepercayaan investor dan iklim investasi energi terbarukan. Investasi energi terbarukan di luar RUPTL PLN, seperti PLTS atap juga perlu didukung penuh agar bisa menarik investasi dari awal tahun ini,”  imbuh Deon.

Tidak hanya itu, strategi pemerintah untuk tetap mempertahankan subsidi energi fosil justru akan semakin memperlambat laju transisi energi di Indonesia. Selain menambah beban negara, hal tersebut akan membuat Indonesia lebih mudah terjebak pada krisis energi fosil.

“Berkaca dari krisis energi batubara awal tahun ini, terlihat bahwa penggunaan energi fosil seperti batubara dan dukungan subsidi (berupa DMO) juga tidak menjamin ketahanan energi negara, namun justru menciptakan distorsi pada harga pembangkitan listrik. Harga pembangkitan listrik dari PLTU batubara terlihat lebih murah dari seharusnya dan tidak menciptakan level playing field bagi energi terbarukan,”ungkap Deon.

Strategi pemerintah untuk mempercepat upaya transisi energi nasional justru terkendala pada belum disetujuinya Rancangan Perpres Pembelian Energi Terbarukan oleh Menteri Keuangan. Deon berpendapat bahwa perlu ada koordinasi yang strategis antar kementerian untuk mendukung percepatan pencapaian target netral karbon sehingga dukungan regulasi yang dianggap kritikal seharusnya dapat segera terbit dan berjalan efektif.

“Selain dari penerbitan regulasi, implementasi yang efektif menjadi penting, namun ini malah sebaliknya. Sebagai contoh, Permen 26/2021 tentang PLTS atap yang seharusnya dapat mendukung pencapaian target PLTS atap 900 MW di tahun 2022 sesuai target KESDM, namun awal tahun ini malah tertahan penerapannya,” kata Deon.

Tidak hanya dari segi regulasi, IESR melihat sinergitas target netral karbon antar kementerian juga merupakan hal penting. Mengulas target dan realisasi kendaraan listrik di tahun 2022, Indonesia Energy Transition Outlook 2022 menemukan dua target yang berbeda di dua kementerian. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berencana memproduksi 750.000 unit LCEV (low carbon emission vehicle), yang terdiri dari mobil listrik dan 2,45 juta unit sepeda motor listrik pada 2030. Sementara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit sepeda motor listrik pada tahun 2030. Target dan peta jalan yang berbeda dalam pengembangan kendaraan listrik akan menyulitkan dalam melihat upaya yang koheren dan konsisten dari pemerintah untuk meningkatkan penetrasi kendaraan listrik di dalam negeri. 

“Peta jalan kendaraan listrik nasional yang terintegrasi dan dirancang dengan baik harus dibuat. Keselarasan antara peta jalan electric vehicle (EV) Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM misalnya, selain meningkatkan keyakinan pemain EV, juga dapat memaksimalkan manfaat ekonomi bagi Indonesia berupa value chain industri yang terbentuk dari proses transisi dari kendaraan internal combustion engine (ICE) ke EV tersebut,” tutup Deon.