Menilik Strategi Transisi Energi Pemerintah Indonesia di Tahun 2022

press release

Jakarta, 18 Januari 2022  Memasuki tahun 2022,  Kementerian ESDM memaparkan strategi transisi energi indonesia dalam “Konferensi Pers Capaian Kinerja 2021 dan Rencana Kerja 2022 ESDM dan Subsektor EBTKE”. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang meski arah strategi transisi energi Indonesia semakin jelas, namun laju transisi energi perlu dipercepat untuk menurunkan emisi GRK serta sejalan dengan jalur Persetujuan Paris untuk menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Hanya saja, masih ada beberapa strategi yang dirasa masih tumpang tindih misalnya seperti pemanfaatan Dimethyl Ether (DME), jargas dan kompor induksi untuk menggantikan pemenuhan energi rumah tangga yang seharusnya bisa disusun peta jalan yang lebih fokus.

Pada Peta Jalan Transisi Energi 2021-2030, pemerintah menitikberatkan pada pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan (PLT EBT) yang mencapai 20,9 GW, sementara PLTS atap ditargetkan sebesar 3,6 GW. Pembangunan PLTS akan masif pada tahun 2031-2050 dengan jumlah total sebesar 279,2 GW. 

Berdasarkan kajian IESR berjudul “Dekarbonisasi Menyeluruh Sistem Energi Indonesia”, pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan justru harus dikebut pada jangka waktu 2021-2030 untuk mencapai target bauran energi terbarukan, dan mencapai puncak emisi di sektor kelistrikan sebelum 2030. Selain itu, setidaknya perlu peningkatan 14 kali lipat dari jumlah kapasitas energi terbarukan di tahun 2020, dengan sekitar 117 GW berasal dari PLTS dan`23 GW dari pembangkit energi terbarukan lainnya.

Laporan realisasi kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) oleh pemerintah hingga tahun 2021 mencapai 11.152 MW. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR berpendapat bahwa target penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan selalu di bawah target pemerintah sejak tahun 2019 dan tidak on-track dengan target bauran energi terbarukan yang mencapai 24 GW pada 2025.

“Penyebab rendahnya penambahan pembangkit energi terbarukan bersifat struktural, antara lain: Permen ESDM No. 50/2017 yang membuat proyek pembangkit energi terbarukan tidak bankable, pengadaan pembangkit energi terbarukan (ET) yang tidak dilakukan secara berkala dan terjadwal oleh PLN, minimnya dukungan pembiayaan domestik yang kompetitif, serta keterlambatan realisasi proyek karena pandemi,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.   

Menyoroti target investasi sektor energi baru terbarukan di tahun 2022, pemerintah mematok masuknya investasi sebesar 3,9 miliar USD, naik 2,6 kali dari pencapaian investasi sebelumnya sebesar 1,51 miliar USD pada 2021. Menurut Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi, IESR, meskipun target meningkat hampir tiga kali lipat, jumlah tersebut tergolong kecil untuk mendanai upaya dekarbonisasi sistem energi di Indonesia. 

“Berdasarkan kajian Indonesia Energy Transition Outlook 2022, investasi energi terbarukan untuk sektor ketenagalistrikan saja membutuhkan nilai sebesar 11,1 miliar USD per tahunnya selama satu dekade ke depan. Beberapa kebijakan dan regulasi energi terbarukan yang seharusnya dirilis tahun lalu, perlu segera difinalkan untuk meningkatkan kepercayaan investor dan iklim investasi energi terbarukan. Investasi energi terbarukan di luar RUPTL PLN, seperti PLTS atap juga perlu didukung penuh agar bisa menarik investasi dari awal tahun ini,”  imbuh Deon.

Tidak hanya itu, strategi pemerintah untuk tetap mempertahankan subsidi energi fosil justru akan semakin memperlambat laju transisi energi di Indonesia. Selain menambah beban negara, hal tersebut akan membuat Indonesia lebih mudah terjebak pada krisis energi fosil.

“Berkaca dari krisis energi batubara awal tahun ini, terlihat bahwa penggunaan energi fosil seperti batubara dan dukungan subsidi (berupa DMO) juga tidak menjamin ketahanan energi negara, namun justru menciptakan distorsi pada harga pembangkitan listrik. Harga pembangkitan listrik dari PLTU batubara terlihat lebih murah dari seharusnya dan tidak menciptakan level playing field bagi energi terbarukan,”ungkap Deon.

Strategi pemerintah untuk mempercepat upaya transisi energi nasional justru terkendala pada belum disetujuinya Rancangan Perpres Pembelian Energi Terbarukan oleh Menteri Keuangan. Deon berpendapat bahwa perlu ada koordinasi yang strategis antar kementerian untuk mendukung percepatan pencapaian target netral karbon sehingga dukungan regulasi yang dianggap kritikal seharusnya dapat segera terbit dan berjalan efektif.

“Selain dari penerbitan regulasi, implementasi yang efektif menjadi penting, namun ini malah sebaliknya. Sebagai contoh, Permen 26/2021 tentang PLTS atap yang seharusnya dapat mendukung pencapaian target PLTS atap 900 MW di tahun 2022 sesuai target KESDM, namun awal tahun ini malah tertahan penerapannya,” kata Deon.

Tidak hanya dari segi regulasi, IESR melihat sinergitas target netral karbon antar kementerian juga merupakan hal penting. Mengulas target dan realisasi kendaraan listrik di tahun 2022, Indonesia Energy Transition Outlook 2022 menemukan dua target yang berbeda di dua kementerian. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berencana memproduksi 750.000 unit LCEV (low carbon emission vehicle), yang terdiri dari mobil listrik dan 2,45 juta unit sepeda motor listrik pada 2030. Sementara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit sepeda motor listrik pada tahun 2030. Target dan peta jalan yang berbeda dalam pengembangan kendaraan listrik akan menyulitkan dalam melihat upaya yang koheren dan konsisten dari pemerintah untuk meningkatkan penetrasi kendaraan listrik di dalam negeri. 

“Peta jalan kendaraan listrik nasional yang terintegrasi dan dirancang dengan baik harus dibuat. Keselarasan antara peta jalan electric vehicle (EV) Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM misalnya, selain meningkatkan keyakinan pemain EV, juga dapat memaksimalkan manfaat ekonomi bagi Indonesia berupa value chain industri yang terbentuk dari proses transisi dari kendaraan internal combustion engine (ICE) ke EV tersebut,” tutup Deon.

COP26: Pertunjukan “Sepi” dari Jokowi

Banyak pihak menantikan pidato Presiden Joko Widodo dalam gelaran COP26. Jokowi diharapkan mengumumkan komitmen penurunan emisi dan penanganan perubahan iklim yang lebih ambisius serta menjabarkan langkah konkret menuju net-zero emission. Posisi strategis Indonesia sebagai pemimpin negara G20 pada 2022 seharusnya membuat Indonesia mengambil satu langkah di depan untuk memimpin upaya penurunan emisi bagi negara anggota G20.

Sayangnya, dalam pidatonya di sesi High Level Segment for Heads of State and Government COP26, Presiden Jokowi tidak mengumumkan target ambisi iklim yang lebih tinggi ataupun komitmen konkret dalam mendukung target Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan rata-rata suhu bumi di bawah 1.5 derajat Celcius dan mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini. Laporan IPCC AR6 telah menyatakan dengan gamblang bahwa waktu kita untuk menjaga kenaikan suhu bumi di level 1.5 derajat Celcius hanya tinggal kurang dari satu dekade. Kesempatan untuk menaikkan ambisi iklim Indonesia masih terbuka dan tentu harus diambil Pemerintah dan dimanfaatkan sebaik-baiknya demi menyelamatkan bumi dari kerusakan akibat perubahan iklim.  

Upaya penurunan emisi dan penanganan perubahan iklim harus dilihat sebagai tanggung jawab dan kesempatan untuk mentransformasi sistem ekonomi Indonesia dari yang karbon intensif menjadi sistem ekonomi rendah karbon yang lebih berkelanjutan. Menurut kajian Deep Decarbonization IESR, transformasi sistem energi akan menciptakan 3,2 juta lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan. Komitmen yang ambisius dengan menetapkan target penurunan ambisi yang lebih besar dari NDC saat ini serta membangun peta jalan transisi energi yang komprehensif akan mengirimkan sinyal baik bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Hal ini akan mendorong kekuatan ekonomi Indonesia menjadi lebih kompetitif secara global. 

Sebelumnya dalam KTT G20 yang berlangsung pada 30-31 Oktober 2021, pemimpin negara G20 sepakat untuk mencapai net-zero emission pada pertengahan abad ini. Namun komitmen ini belum juga disertai dengan target untuk phase-out PLTU batubara. Memegang peran strategis dalam kepemimpinan G20, Jokowi sebenarnya dapat mengambil kesempatan untuk mendorong negara G20 untuk menghentikan operasi PLTU batubara dan beralih ke energi terbarukan. Tentu saja, dalam hal ini, Indonesia perlu pula menerapkan kebijakan meninggalkan batubara sehingga dapat memberikan teladan bagi negara G20 lainnya. 

Selain itu, terdapat perbedaan antara aksi dan fakta lapangan dalam pidato Jokowi di COP 26. Ia   menyebutkan akan membangun PLTS terbesar di Asia Tenggara dan mendorong pemanfaatan energi terbarukan untuk mengurangi emisi di sektor energi. Namun, hingga COP 26 berlangsung dukungan kebijakan yang suportif untuk ekosistem PLTS seperti Revisi Permen 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) maupun Perpres tentang energi baru terbarukan belum diterbitkan secara resmi. . 

Aksi iklim yang lebih ambisius sangat dibutuhkan saat ini karena efek perubahan iklim semakin sering terjadi seperti La Nina yang kembali datang. Laporan Climate Transparency 2021 menyebutkan Perubahan pola La Nina dan El Nino akan berdampak pada permulaan dan durasi musim hujan di Indonesia. Hal ini berpengaruh pada sektor pertanian seperti produksi beras. Analisis risiko global World Bank menempatkan Indonesia pada peringkat dua belas dari 35 negara yang menghadapi risiko kematian relatif tinggi akibat banjir dan panas ekstrem. Menempati peringkat kelima negara dengan jumlah populasi yang tinggal di area yang lebih rendah dari zona pesisir, Indonesia juga rentan terhadap kenaikan muka air laut.

Indonesia mampu berkontribusi signifikan untuk mengatasi perubahan iklim dan mencegah dampak yang lebih buruk akibat krisis iklim. Memanfaatkan  luasnya hutan sebagai penyerap karbon, memiliki potensi energi terbarukan yang mencapai 7879,4 GW, dan memainkan peran strategis di G20 Indonesia seharusnya dapat mencapai dan melampaui target NDC mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% jika ada dukungan internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030.  Dengan demikian, Indonesia bukan hanya menyelamatkan lingkungan namun juga mentransformasi sistem ekonomi, sekaligus menunjukkan inovasi kepemimpinan pada anggota negara G20.

COP 26, Indonesia Tidak Punya Terobosan Aksi Iklim yang Ambisius

Jakarta, 3 November. Presiden Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim ke-26 atau COP-26 tidak mengeluarkan pernyataan tegas  tentang peningkatan ambisi iklim Indonesia. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa pemerintah Indonesia seharusnya memanfaatkan kesempatan ini  dalam memimpin negara G20 untuk mendorong aksi iklim yang selaras dengan Persetujuan Paris. Namun pada pidatonya di  COP 26, Presiden Jokowi seolah menyerahkan tanggung jawab pada negara maju untuk menentukan tercapainya kondisi netral karbon di Indonesia lebih cepat. Hal ini secara langsung menunjukkan sikap yang kurang ambisius dari pemerintah Indonesia dalam menangani persoalan krisis iklim. 

“Indonesia seharusnya menyampaikan ambisi iklimnya secara lugas, peningkatan target Nationally Determined Contribution (NDC) dan menyampaikan kebutuhan pendanaan dari negara-negara maju untuk mencapai emisi puncak sebelum 2030 dan dekarbonisasi pada 2060 atau lebih awal. Sayangnya Presiden tidak secara jelas menyatakan target dan rencana aksi mitigasi yang lebih ambisius dalam pidatonya,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, yang saat ini juga sedang berada di Glasgow menghadiri perhelatan COP 26.

Berdasarkan laporan Climate Transparency Report, Profil Negara Indonesia 2021, dengan tidak memutakhirkan target NDC pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia lebih besar dari 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) justru akan berkontribusi pada peningkatan emisi (selain emisi dari penggunaan lahan) hingga 535% di atas level tahun 1990, atau sekitar 1.817 MtCO2e pada tahun 2030. Sementara, agar tetap di bawah batas suhu 1,5˚C, emisi Indonesia tahun 2030 harus sekitar 461 MtCO2e (atau 61% di atas level tahun 1990). Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan ambisi sebesar 1.168 MtCO2e. 

“Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam dan mineral yang cukup besar, seperti misalnya nikel, Indonesia sebenarnya mampu untuk menaikkan ambisi iklimnya melebihi target 29% pada 2030. Selain itu, jika Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar telah menerapkan konservasi dan efisiensi energi sejak dini maka tanpa kebutuhan pendanaan yang bergantung dengan negara maju, Indonesia akan mampu mengurangi emisi karbon lebih besar dari target yang ada di NDC,” jelas Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau, IESR.

Selain itu, IESR mengamati bahwa rencana Indonesia, yang diutarakan oleh Jokowi pada kesempatan yang sama, untuk bertransisi energi menuju energi bersih masih terkendala pada regulasi yang tak kunjung terbit. Jokowi mengemukakan akan membangun PLTS terbesar di Asia Tenggara, namun hingga kini Permen ESDM No. 26 Tahun 2021 Tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap masih tertahan di Kementerian Keuangan. Selain itu, Peraturan Presiden (Perpres) tentang energi baru terbarukan (EBT) yang dinantikan sejak awal tahun 2021, belum juga rampung.

“Seharusnya, pemerintah Indonesia secara beriringan menerbitkan segera regulasi yang tepat untuk menciptakan ekosistem pengembangan energi terbarukan yang lebih masif, juga mendorong masuknya investasi negara maju. Regulasi dan target yang jelas dapat membuka peluang yang lebih besar untuk para investor menanamkan modalnya di energi terbarukan,” tambah Lisa.

Tidak hanya itu, dalam pidatonya Jokowi juga menekankan pentingnya peranan pasar karbon dan harga karbon dalam menuntaskan persoalan iklim. Bulan Oktober ini, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak karbon bertarif  Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen akan diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi batas emisi (cap and tax)  yang ditetapkan. 

“Penetapan harga pajak karbon di angka Rp30 per kg (USD 2 per ton) masih sangat jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan IMF yang menetapkan harga pajak karbon negara berkembang seharusnya berada di kisaran  USD 35-100t/CO2e. Bahkan laporan IPCC memaparkan bahwa tarif pajak karbon di tahun 2020 berada di kisaran US$ 40-80/tCO2. Dengan kecilnya tarif pajak karbon maka tujuan pemerintah untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan melalui pajak karbon ini tidak akan tercapai,” tandas Lisa. 

Jelang COP26, Pemimpin Komunitas Suarakan untuk Deklarasi Darurat Iklim

Jakarta, 19 Oktober 2021Indonesia telah memutakhirkan komitmen iklim melalui Nationally Determined Contribution (NDC)-nya untuk mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Komitmen Indonesia yang terlambat 10 tahun dari target Persetujuan Paris menyiratkan upaya pemerintah yang kurang ambisius dalam menyikapi krisis iklim yang mengancam kehidupan masyarakat Indonesia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengemukakan bahwa persoalan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) seharusnya tidak dipandang sebagai beban melainkan sebuah kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi menuju ekonomi rendah karbon.

“Berdasarkan kajian kami berjudul Deep decarbonization of Indonesia’s energy system, dekarbonisasi mendalam pada sistem energi di tahun 2050 justru membawa manfaat ekonomi yang lebih besar,” ujar Fabby dalam webinar “Menuju COP 26:  Perubahan iklim dan peran publik untuk melestarikan bumi” yang diselenggarakan oleh IESR (19/10/2021).

Fabby menambahkan bahwa manfaat ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat melalui terciptanya peluang industri baru  sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Selain itu, harga energi Indonesia akan lebih terjangkau dari pemanfaatan teknologi energi terbarukan yang lebih murah serta udara yang lebih bersih. Menurutnya, ambisi iklim yang selaras dengan Perjanjian Paris akan mengurangi ancaman bencana hidrometeorologi sebagai konsekuensi dari meningkatnya suhu bumi melebih 1,5 derajat Celcius.

Menyoroti kebijakan dan tingkat literasi masyarakat terhadap krisis iklim, para pemimpin  komunitas yang turut hadir pada kesempatan yang sama mengemukakan bahwa kebijakan terkait iklim yang belum terintegrasi serta kurangnya akses informasi tentang perubahan iklim membuat upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia berjalan lambat.

Tidak adanya deklarasi darurat iklim oleh pemerintah menurut Melissa Kowara, Aktivis, Extinction Rebellion Indonesia mengindikasikan rendahnya tingkat keseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis iklim.

“Belum ada sikap tegas dari tingkat tertinggi negara yang mengatakan bahwa kita ada di suatu krisis. (Belum ada deklarasi yang mengatakan-red) kita akan melakukan segala suatu cara yang bisa dilakukan baik (oleh) swasta, sipil, pemerintah untuk menanggulangi masalah yang menyangkut nyawa dan kelangsungan hidup kita semua,” ujar Melissa. Menurutnya, hal ini berkaitan dengan literasi masyarakat  yang rendah mengenai perubahan iklim.

Muhammad Ali Yusuf, Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), Nahdlatul Ulama (NU) mengungkapkan pula bahwa diskursus keagamaan di Indonesia sendiri masih jauh dari isu ekologis atau perubahan iklim.

“Kalaupun sudah ada, belum masuk isu prioritas utama. Untuk itu, literasi perubahan iklim juga perlu untuk tokoh-tokoh agama sebab kehidupan keagamaan tidak mungkin bisa berlanjut bila terjadi krisis iklim,” jelasnya.

Senada, Jimmy Sormin, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), mendorong agar para tokoh agama perlu memainkan perannya dalam meningkatkan pemahaman umat terhadap persoalan iklim dengan membahasakannya sesuai konteks lokal.

“Di daerah, dampak perubahan iklim seperti munculnya hama baru, gagal panen, dirasakan oleh masyarakat, namun mereka tidak memahaminya. Perlu  ‘membumikan’ hal tersebut sesuai dengan perspektif mereka (masyarakat setempat-red),” ujar Jimmy.

Menilik persoalan perubahan iklim dari sisi perempuan, Mike Verawati Tangka, Sekretaris Jenderal, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) berpendapat bahwa  seyogyanya perubahan iklim sangat dekat dengan kehidupan perempuan. Namun, Mike menyayangkan isu lingkungan dan perubahan cenderung dianggap sebagai isu maskulin sehingga mengesampingkan peran perempuan dalam merawat alam dan melakukan advokasi permasalahan iklim.

“Padahal dampak perubahan iklim paling berat dirasakan perempuan karena kebijakan dan sistem kita tidak disiapkan secara inklusif. Inisiatif positif yang dilakukan oleh perempuan dengan melakukan advokasi perubahan iklim juga harus diberi pengakuan (recognition) oleh negara,” tandas Mike.***

Pembangunan Rendah Karbon: Kunci Mengatasi Darurat Iklim dan Krisis Ekonomi

Jakarta, 28 April 2021 – Pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Leader Summit on Climate Change yang menyatakan akan serius menangani isu krisis iklim dinilai kurang progresif oleh sejumlah pihak. Pasalnya, dalam pernyataan Presiden Jokowi menitikberatkan sektor FOLU (penggunaan dan alih guna lahan), sementara sektor energi yang akan menjadi penyumbang terbesar emisi di masa mendatang tidak dibahas sama sekali. Sementara, dalam kesempatan yang sama, sejumlah pemimpin negara juga menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi dan target untuk menjadi netral karbon. Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah merilis dokumen Strategi Jangka Panjang (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. yang menargetkan  bahwa Indonesia akan menjadi netral karbon pada tahun 2070. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa target ini dinilai kurang ambisius dan menunjukkan upaya pemerintah yang tampak setengah hati menangani krisis iklim.

Merespon hal ini, IESR melanjutkan seri diskusi #Sebelum2070 untuk melihat peluang Indonesia dalam mencapai netral karbon sebelum 2070. Webinar ini merupakan bagian kedua dari seri webinar #Sebelum2070 yang bertujuan mendorong pemerintah untuk membuat target kebijakan iklim yang lebih ambisius. Target Indonesia untuk menjadi netral karbon pada 2070 dinilai tidak sejalan dengan komitmen Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang ditandatangani Indonesia pada tahun 2015 dan diratifikasi melalui UU No. 16 tahun 2016. 

Menyiapkan Strategi Jangka Panjang untuk menuju karbon netral pada 2050 adalah kewajiban tiap-tiap negara yang menandatangani Paris Agreement. Hanya saja, dokumen LTS-LCCR 2050  yang dimiliki pemerintahmenjadi perdebatan dan menimbulkan kontroversisl bahkan di kalangan pemerintah sendiri. Hal ini terlihat dari inkonsistensi dokumen dan pemaparan antar lembaga pemerintahan mengenai target netral karbon Indonesia.

Sebagai contoh Kementerian Bappenas sebelumnya memaparkan tentang  Pembangunan Rendah Karbon di Indonesia (LCDI) yang menawarkan beberapa skenario jika Indonesia menjadi netral karbon pada 2045, 2050, 2060, atau 2070. Berbagai skenario ini menunjukkan korelasi target menjadi netral karbon yang diwujudkan melalui pembangunan rendah karbon dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Komitmen iklim haruslah diintegrasikan dengan program pembangunan nasional. Komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission telah tertuang dalam RPJMN,” jelas Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas. Dia juga menekankan bahwa tidak boleh ada trade-off antara pertumbuhan ekonomi dengan upaya penurunan emisi. Menurutnya, untuk mencapai netral karbon, diperlukan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, selain kerja sama dan komitmen multipihak, Indonesia perlu mendapat dukungan yang kuat dari negara internasional. 

Dari sektor energi, Agus Cahyono Adi, Kepala Pusdatin Kementerian ESDM menyatakan bahwa pihaknya tengah bersiap untuk mendukung Indonesia mencapai net-zero emission memenuhi kebutuhan energi dengan berbagai upaya. 

“Sektor energi menjadi sektor penting dalam rencana net zero emission karena kita sebagai salah satu kontributor emisi. Selain penurunan emisi kita juga sedang berusaha menaikkan demand (permintaan), peningkatan energi terbarukan dan penggunaan bahan bakar bersih berperan penting dalam meningkatkan permintaan energi,” ucap Agus. 

Namun demikian pihaknya belum berani mengumumkan target angka atau batas  waktu untuk menjadi netral karbon dari sektor energi.

“Untuk setiap pilihan yang akan kami ambil, kami perlu mempertimbangkan sisi ketersediaan (available), kemudahan untuk diakses (accessible), dan keterjangkauan (affordable),” jelasnya. 

Untuk mencapai netral karbon perlu upaya yang lebih inovatif terutama melalui pengembagan iklim investasi seperti melakukan perdagangan karbon (carbon trading). Kus Prisetiahadi, Asisten Deputi Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) memaparkan bahwa saat ini RPerpres untuk nilai ekonomi karbon sebagai pedoman penurunan emisi GRK dan pembangunan nasional yang rendah karbon  masih dirancang. Ada setidaknya 8 komponen pengaturan dalam RPerpres ini dan sektor kelautan menjadi salah satu sektor yang akan dikembangkan untuk upaya menuju mitigasi.  

Dian Afriyanie, peneliti senior Lokahita, menyoroti kurangnya integrasi lintas sektor dan lintas skala dalam pembuatan kebijakan. Hal ini berakibat pada produk kebijakan yang kerapkali  terasa tidak sinkron antara satu kementerian/lembaga dengan kementerian/lembaga lainnya. 

Lebih lanjut, Eka Melissa, Penasihat Senior The Partnership for Governance Reform (Kemitraan), menegaskan bahwa pembangunan rendah karbon mestinya dilihat sebagai suatu kesempatan untuk membangun negeri, menjadi ramah lingkungan sekaligus memenuhi target perjanjian internasional. 

“Saya melihat Bappenas sudah melihatnya begitu (sebagai suatu kesempatan) namun kementerian lain sepertinya masih memandangnya sebagai tantangan terbukti dari berbagai dokumen yang dihasilkan, pembangunan rendah karbon masih dilihat sebagai ganjalan dan tantangan,” tuturnya. 

Sinkronisasi sudut pandang ini harus pertama-tama dilakukan supaya produk kebijakan yang dihasilkan tiap-tiap lembaga mengarah pada satu muara yang sama. Jika sudut pandang masing-masing lembaga pada satu isu sudah berbeda, maka hasil akhir pada produk kebijakannya pasti tidak akan berjalan searah. 

Peran pemerintah daerah dinilai sangat penting dalam mencapai pembangunan dengan netral karbon. Andy Simarmata, Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) memberikan pandangan agar pemerintah dan pemangku kepentingan terkait lainnya dapat mengkampanyekan netral karbon sampai ke tingkat daerah sehingga dapat ditranslasikan ke dalam RPJMD. Insentif terhadap dunia usaha terutama pola perilaku usaha bisnis juga perlu diberikan selain mendorong teknologinya. 

Untuk komitmen iklim terutama target untuk menuju netral karbon, masing-masing pihak terkait perlu melihat situasi iklim saat ini sebagai suatu krisis yang memerlukan strategi penanganan yang cepat dan tepat. Semakin kita menunda penanganan krisis iklim ini, semakin besar biaya yang harus dikeluarkan dan semakin berat upaya yang harus dilakukan di kemudian hari. 

 

Suhu Bumi Semakin Panas! Pesan IESR untuk Delegasi Indonesia di COP25

Pesan IESR untuk Delegasi Pemerintah Indonesia di COP UNFCCC 25 

Suhu Bumi Semakin Panas: Indonesia dapat melakukan transformasi perekonomian sebagai upaya pembatasan kenaikan suhu bumi dan pencapaian net-zero emission sesuai target Paris Agreement.

 

Jakarta, 29 November 2019 — Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB atau COP UNFCCC yang ke 25 di Madrid pada 2-13 Desember 2019, IESR mengingatkan pemerintah Indonesia untuk menunjukkan komitmen dan political will dalam peningkatan aksi mitigasi perubahan iklim demi menjaga kenaikan suhu bumi pada 1,5°C. Komitmen ini diperlukan mengingat kegiatan mitigasi yang saat ini ada di dalam NDC Indonesia akan meningkatkan kenaikan suhu bumi di antara 3-4°C. Untuk dapat menjaga kenaikan suhu bumi pada 1,5°C, pemerintah Indonesia harus merancang kegiatan mitigasi perubahan iklim yang lebih ambisius dengan strategi pelaksanaan dan lokasi serta target pelaksanaannya yang rinci. 

Asia-Pacific Climate Week di Bangkok pada September lalu menegaskan pentingnya transformasi global menuju perekonomian rendah karbon dalam upaya pembatasan kenaikan suhu bumi. Transformasi ini akan membangun perekonomian yang memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim. Lebih lanjutnya, UNFCCC pun melihat bahwa perekonomian rendah karbon merupakan suatu solusi untuk mengurangi dampak buruk dari perubahan iklim serta meningkatkan pertumbuhan perekonomian pada saat yang sama. 

Dampak dari perubahan iklim ini semakin terasa di Indonesia. Rekor temperatur terpanas dalam dua dekade terakhir sudah tercatat sebanyak 15 kali, yang berarti 15 tahun dalam dua dekade terakhir telah mencetak rekor temperatur terpanas secara global. Sejak akhir abad ke 19, temperatur global sudah naik sebanyak 1oC dan masih akan bergerak naik lagi jika kegiatan mitigasi yang cukup ambisius tidak dilakukan secara global. Bencana alam kerap terjadi di Indonesia, seperti banjir, banjir bandang, longsor, kekeringan, cuaca dan gelombang ekstrim, abrasi, serta kebakaran lahan dan hutan. Rentan terhadap perubahan iklim, Indonesia memiliki risiko banjir yang meningkat 5X pada kenaikan 3oC dibandingkan 1,5oC. Pada kenaikan 2,4oC jumlah siklon (badai) tropis kategori 4 akan meningkat 80% dan kategori 5 meningkat 120%. Dampak perubahan iklim akan lebih jauh lagi mempengaruhi kehidupan manusia di berbagai aspek seperti gagal panen akibat kekeringan, nelayan sulit melaut akibat ancaman tingginya gelombang laut, bahkan timbulnya sakit jantung dan alergi. Keterlambatan mengatasi perubahan iklim akan memberikan beban ekonomi yang lebih besar. 

Mengingat dampak perubahan iklim yang semakin meluas, diharapkan Pemerintah Indonesia segera melakukan langkah nyata dalam peningkatan ambisi iklim Indonesia. Laporan IESR, Brown to Green Report 2019, yang diluncurkan 20 November lalu di Jakarta, merekomendasikan beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah Indonesia dalam adaptasi, mitigasi dan pembiayaan perubahan iklim demi menjaga kenaikan suhu bumi 1,5oC. Secara khusus, rekomendasi untuk pemerintah Indonesia dalam melakukan pembiayaan iklim yaitu mengintegrasikan risiko perubahan iklim dalam sektor keuangan, menghapuskan subsidi bahan bakar fosil paling lambat pada 2025, menghentikan dana APBN untuk membiayai proyek bahan bakar fosil, mengharmonisasikan informasi mengenai pembiayaan iklim dalam rencana pembangunan jangka panjang.

Dari laporan ini, ditunjukkan bahwa sesungguhnya Indonesia mampu melakukan transformasi perekonomian menuju net-zero economy sesuai dengan salah satu target dari Paris Agreement. Beberapa langkah nyata yang seharusnya dilakukan pemerintah Indonesia untuk dapat meningkatkan ambisi iklim untuk mencapai 1,5°C, yaitu: 

  1. Menurunkan kontribusi dari PLTU dan meningkatkan kontribusi dari energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada sektor ketenagalistrikan pada 2030.
  2. Menaikkan tingkat efisiensi energi dari penerangan dan peralatan rumah tangga, dimana hal ini dapat mengurangi beban puncak listrik sebesar 26,5 GW pada 2030.
  3. Melakukan moratorium pembukaan hutan secara permanen termasuk hutan primer dan sekunder, serta lakukan restorasi gambut, untuk menyelamatkan 66 Mha hutan.

“Meningkatkan kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi pembangkit listrik sangat mungkin dilakukan secara teknis dan tidak akan mengurangi kehandalan dari jaringan nasional. IESR memiliki laporan yang membuktikan hal ini. Yang dibutuhkan sekarang adalah political will. Pendanaan pun tidak perlu diragukan lagi. Banyak sumber pendanaan nasional dan internasional untuk melistriki Indonesia dari energi terbarukan” kata Erina Mursanti, Manajer Program Green Economy, IESR.

Erina melanjutkan bahwa upaya penurunan emisi gas rumah kaca untuk menjaga kenaikan suhu bumi 1,5°C tidak dapat dilepaskan dari transformasi perekonomian dan transisi energi mengingat mayoritas dari emisi gas rumah kaca diproyeksikan akan berasal dari sektor energi, sedangkan, energi diperlukan untuk mendorong perekonomian dan menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi. 

Jakarta, 29 November 2019


Informasi tambahan

Konferensi Perubahan Iklim PBB COP 25 (2 – 13 Desember 2019) akan berlangsung di Madrid, Spanyol di bawah Presidensi Pemerintah Chili, Konferensi ini dirancang untuk mengambil langkah-langkah penting berikutnya dalam proses perubahan iklim PBB. Mengikuti kesepakatan tentang pedoman pelaksanaan Perjanjian Paris di COP 24 di Polandia tahun lalu, tujuan utama dari konferensi ini adalah untuk menyelesaikan beberapa hal sehubungan dengan operasionalisasi penuh Perjanjian Perubahan Iklim Paris. IESR sebagai salah satu partner global dari Climate Transparency, akan turut menghadiri COP 25 Side Events dan bertindak sebagai panelis dalam beberapa diskusi yang akan diselenggarakan mulai tanggal 2 hingga 6 Desember, bersama dengan perwakilan dari Pemerintah Indonesia, yang diwakilkan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Tentang IESR 

Institute for Essential Services Reform merupakan mitra Indonesia dari the Climate Transparency yang bermarkas pusat di Jerman, adalah institusi riset dan advokasi di bidang energi dan kebijakan lingkungan. Institusi kami mengkombinasikan studi mendalam, menganalisa kebijakan, undang – undang, dan aspek tekno-ekonomi pada sektor energi dan lingkungan dengan aktivitas advokasi kepentingan umum yang kuat untuk mempengaruhi perubahan kebijakan pada skala Nasional, sub-bangsa dan dunia. 

Narahubung Pers dan Media:

Erina Mursanti erina@iesr.or.id

Program Manager, Green Economy

 

Gandabhaskara Saputra ganda@iesr.or.id 081235563224

Communications Coordinator

Dokumen untuk di unduh