Jelang COP26, Pemimpin Komunitas Suarakan untuk Deklarasi Darurat Iklim

Jakarta, 19 Oktober 2021Indonesia telah memutakhirkan komitmen iklim melalui Nationally Determined Contribution (NDC)-nya untuk mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Komitmen Indonesia yang terlambat 10 tahun dari target Persetujuan Paris menyiratkan upaya pemerintah yang kurang ambisius dalam menyikapi krisis iklim yang mengancam kehidupan masyarakat Indonesia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengemukakan bahwa persoalan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) seharusnya tidak dipandang sebagai beban melainkan sebuah kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi menuju ekonomi rendah karbon.

“Berdasarkan kajian kami berjudul Deep decarbonization of Indonesia’s energy system, dekarbonisasi mendalam pada sistem energi di tahun 2050 justru membawa manfaat ekonomi yang lebih besar,” ujar Fabby dalam webinar “Menuju COP 26:  Perubahan iklim dan peran publik untuk melestarikan bumi” yang diselenggarakan oleh IESR (19/10/2021).

Fabby menambahkan bahwa manfaat ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat melalui terciptanya peluang industri baru  sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Selain itu, harga energi Indonesia akan lebih terjangkau dari pemanfaatan teknologi energi terbarukan yang lebih murah serta udara yang lebih bersih. Menurutnya, ambisi iklim yang selaras dengan Perjanjian Paris akan mengurangi ancaman bencana hidrometeorologi sebagai konsekuensi dari meningkatnya suhu bumi melebih 1,5 derajat Celcius.

Menyoroti kebijakan dan tingkat literasi masyarakat terhadap krisis iklim, para pemimpin  komunitas yang turut hadir pada kesempatan yang sama mengemukakan bahwa kebijakan terkait iklim yang belum terintegrasi serta kurangnya akses informasi tentang perubahan iklim membuat upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia berjalan lambat.

Tidak adanya deklarasi darurat iklim oleh pemerintah menurut Melissa Kowara, Aktivis, Extinction Rebellion Indonesia mengindikasikan rendahnya tingkat keseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis iklim.

“Belum ada sikap tegas dari tingkat tertinggi negara yang mengatakan bahwa kita ada di suatu krisis. (Belum ada deklarasi yang mengatakan-red) kita akan melakukan segala suatu cara yang bisa dilakukan baik (oleh) swasta, sipil, pemerintah untuk menanggulangi masalah yang menyangkut nyawa dan kelangsungan hidup kita semua,” ujar Melissa. Menurutnya, hal ini berkaitan dengan literasi masyarakat  yang rendah mengenai perubahan iklim.

Muhammad Ali Yusuf, Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), Nahdlatul Ulama (NU) mengungkapkan pula bahwa diskursus keagamaan di Indonesia sendiri masih jauh dari isu ekologis atau perubahan iklim.

“Kalaupun sudah ada, belum masuk isu prioritas utama. Untuk itu, literasi perubahan iklim juga perlu untuk tokoh-tokoh agama sebab kehidupan keagamaan tidak mungkin bisa berlanjut bila terjadi krisis iklim,” jelasnya.

Senada, Jimmy Sormin, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), mendorong agar para tokoh agama perlu memainkan perannya dalam meningkatkan pemahaman umat terhadap persoalan iklim dengan membahasakannya sesuai konteks lokal.

“Di daerah, dampak perubahan iklim seperti munculnya hama baru, gagal panen, dirasakan oleh masyarakat, namun mereka tidak memahaminya. Perlu  ‘membumikan’ hal tersebut sesuai dengan perspektif mereka (masyarakat setempat-red),” ujar Jimmy.

Menilik persoalan perubahan iklim dari sisi perempuan, Mike Verawati Tangka, Sekretaris Jenderal, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) berpendapat bahwa  seyogyanya perubahan iklim sangat dekat dengan kehidupan perempuan. Namun, Mike menyayangkan isu lingkungan dan perubahan cenderung dianggap sebagai isu maskulin sehingga mengesampingkan peran perempuan dalam merawat alam dan melakukan advokasi permasalahan iklim.

“Padahal dampak perubahan iklim paling berat dirasakan perempuan karena kebijakan dan sistem kita tidak disiapkan secara inklusif. Inisiatif positif yang dilakukan oleh perempuan dengan melakukan advokasi perubahan iklim juga harus diberi pengakuan (recognition) oleh negara,” tandas Mike.***

Emisi kembali meningkat di negara G20 – wanti-wanti sebuah laporan

Meskipun komitmen netral karbon dan NDC dimutakhirkan, aksi iklim negara G20 masih menjauh dari pemenuhan batas pemanasan global 1,5°C

Jakarta, 15 Oktober 2021-Sempat menurun dalam waktu singkat akibat pandemi COVID-19, emisi gas rumah kaca (GRK) kembali meningkat di seluruh G20, dengan Argentina, Cina, India, dan Indonesia diproyeksikan melebihi tingkat emisinya pada 2019. Hal ini merupakan salah satu temuan utama dari Laporan Transparansi Iklim (Climate Transparency Report) – catatan tahunan paling komprehensif di dunia dan perbandingan aksi iklim negara G20. 

Pada tahun 2020, emisi CO2 yang berasal dari energi turun 6% di seluruh G20. Namun, pada 2021, emisi tersebut diproyeksikan akan melambung hingga 4%. 

“Melonjaknya emisi di seluruh G20, sebagai kelompok negara yang bertanggung jawab atas 75% emisi GRK global, menunjukkan bahwa pengurangan emisi yang menyeluruh dan secepatnya saat ini sangat dibutuhkan untuk mencapai maklumat netral karbon,” ungkap Gahee Han dari NGO Korea Selatan Solutions For Our Climate, salah satu penulis utama laporan ini.

Laporan tersebut juga mencatat beberapa perkembangan positif, seperti pertumbuhan tenaga surya dan angin di antara anggota G20, dengan rekor baru datang dari kapasitas terpasang pada tahun 2020. Pangsa energi terbarukan dalam pasokan energi diproyeksikan tumbuh dari 10% pada tahun 2020 menjadi 12% pada tahun 2021. Di sektor ketenagalistrikan (energi yang digunakan untuk menghasilkan listrik dan panas), energi terbarukan meningkat sebesar 20% antara tahun 2015 dan 2020, dan diproyeksikan menjadi hampir 30% dari bauran energi G20 pada tahun 2021. Namun, di saat yang bersamaan, para ahli mencatat bahwa selain Inggris, anggota G20 tidak memiliki strategi jangka pendek maupun jangka panjang untuk mencapai 100% energi terbarukan di sektor listrik pada tahun 2050. 

Terlepas dari perubahan positif ini, ketergantungan pada bahan bakar fosil tidak menyusut. Sebaliknya, konsumsi batubara diprediksi meningkat hampir 5% pada 2021, sementara konsumsi gas memuncak 12% di seluruh G20 dari 2015-2020. Laporan ini menemukan bahwa pertumbuhan batubara utamanya terkonsentrasi di Cina – produsen dan konsumen batubara global terbesar – diikuti oleh AS dan India.

Di waktu yang sama, ragam pemberitaan mengisyaratkan bahwa sebagian besar pemerintah G20 menyadari perlunya transisi ke ekonomi rendah karbon. Target nir emisi harus dicapai paling lambat tahun 2050 untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C. Hal ini merupakan sesuatu yang menurut Laporan Transparansi Iklim, telah diakui oleh sebagian besar pemerintah G20. Pada Agustus 2021, 14 anggota G20 telah berkomitmen untuk mencapai target netral karbon yang mencakup hampir 61% emisi GRK global. 

Sebagaimana dinyatakan dalam Perjanjian Paris, masing-masing pihak diharapkan untuk menyerahkan Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution) – rencana iklim yang menjabarkan target, kebijakan, dan langkah-langkah yang ingin diterapkan oleh masing-masing pemerintah. Pada September 2021, 13 anggota G20 (termasuk Prancis, Jerman, dan Italia di bawah NDC Uni Eropa) telah secara resmi menyerahkan pemutakhiran NDC, dengan enam negara menetapkan target 2030 yang lebih ambisius. Namun, tetap saja komitmen tersebut belum memadai, bahkan jika diterapkan sepenuhnya, target saat ini, yang dinilai pada April 2021, masih akan menyebabkan pemanasan 2,4°C pada akhir abad ini, demikian para ahli memperingatkan. 

“Pemerintah G20 perlu berunding dengan target pengurangan emisi nasional yang lebih ambisius. Angka-angka dalam laporan ini mengonfirmasi bahwa kita tidak dapat membuat perubahan signifikan tanpa negara G20 – mereka tahu itu, kita semua tahu itu – mereka harus melakukan sesuatu menjelang COP26,” kata Kim Coetzee dari Climate Analytics, yang mengkoordinasikan analisis keseluruhan.

Temuan penting dari laporan Transparansi Iklim

  • Hasil respon pemerintah terhadap pandemi COVID-19, emisi CO2 terkait energi menurun sebesar 6% pada tahun 2020. Namun, pada tahun 2021, emisi CO2 diproyeksikan meningkat sebesar 4% di seluruh G20, dengan Argentina, Cina, India dan Indonesia diproyeksikan melampaui tingkat emisi mereka pada 2019
  • Pangsa energi terbarukan G20 meningkat dari 9% pada tahun 2019 menjadi 10% pada tahun 2020 dalam Total Pasokan Energi Primer (TPES), dan tren ini diproyeksikan akan terus berlanjut, naik menjadi 12% pada tahun 2021. 
  • Antara tahun 2015 dan 2020, pangsa energi terbarukan dalam bauran energi G20 meninggi sebesar 20%, mencapai 28,6% dari pembangkit listrik G20 pada tahun 2020 dan diproyeksikan mencapai 29,5% pada tahun 2021.
  • Dari tahun 2015 hingga 2020, intensitas karbon di sektor energi mengalami penurunan sebesar 4% di seluruh G20. 
  • Konsumsi batubara diproyeksikan meningkat hampir 5% pada tahun 2021, dengan pertumbuhan ini didorong oleh China (menyumbang 61% dari pertumbuhan), Amerika Serikat (18%) dan India (17%). 
  • Amerika Serikat (4,9 tCO2/kapita) dan Australia (4,1 tCO2/kapita) memiliki emisi bangunan per kapita tertinggi di G20 (rata-rata 1,4 tCO2/kapita), yang mencerminkan tingginya pangsa bahan bakar fosil, terutama gas alam dan minyak, digunakan untuk memproduksi panas.
  • Antara 1999 dan 2018 telah terjadi hampir 500.000 kematian dan hampir USD 3,5 triliun biaya ekonomi akibat dampak iklim di seluruh dunia, dengan China, India, Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat sangat terdampak pada tahun 2018.
  • Di seluruh G20, pangsa pasar rata-rata kendaraan listrik (EV) saat ini dalam penjualan mobil baru tetap rendah pada 3,2% (tidak termasuk Uni Eropa), dengan Jerman, Prancis, dan Inggris memiliki pangsa EV tertinggi. 
  • Antara tahun 2018 dan 2019, anggota G20 menyediakan dana publik sebesar USD 50,7 miliar/tahun untuk bahan bakar fosil. Penyedia keuangan publik tertinggi adalah Jepang (USD 10,3 miliar/tahun), China (hanya di atas USD 8 miliar/tahun), dan Korea Selatan (di bawah USD 8 miliar/tahun).

 

Sebagian besar anggota G20 juga melewatkan peluang terkait pemanfaatan paket pemulihan COVID-19 untuk mempromosikan tujuan mitigasi iklim. Hanya USD 300 miliar dari total USD 1,8 triliun dana pemulihan yang digembar gemborkan, digunakan untuk pemulihan “hijau”, sedangkan bahan bakar fosil terus disubsidi. 

“Sangat mengecewakan bahwa satu dekade telah berlalu sejak komitmen untuk merasionalisasi dan menghapus subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien dibuat, tetapi anggota G20 masih menyalurkan miliaran dolar AS ke bahan bakar kotor, yang menyebabkan perubahan iklim,” kata Enrique Maurtua Konstantinidis dari Fundación Ambiente y Recursos Naturales (FARN) di Argentina. Pada 2019, anggota G20, tidak termasuk Arab Saudi, memberikan subsidi setidaknya USD 152 miliar untuk produksi dan konsumsi batubara, minyak, dan gas.

Skema penetapan harga karbon yang efektif dapat mendorong transisi ke ekonomi rendah karbon, menurut penulis laporan tersebut. Namun, hanya 13 anggota G20 yang memiliki beberapa bentuk skema penetapan harga karbon nasional yang eksplisit. Brasil, Indonesia, Rusia, dan Turki saat ini sedang mempertimbangkan untuk memperkenalkan skema serupa.

Laporan Transparansi Iklim (Climate Transparency Report) dikembangkan oleh 16 organisasi penelitian dan LSM dari 14 anggota G20 dan membandingkan upaya adaptasi, mitigasi, dan pendanaan G20; menganalisis perkembangan kebijakan terkini; dan mengidentifikasi peluang iklim yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah G20. Laporan ini adalah edisi ke-7 dari tinjauan tahunan aksi iklim G20.

Tentang Transparansi Iklim (Climate Transparency):

Climate Transparency adalah kemitraan global dari 16 think tank dan LSM yang menyatukan para ahli dari mayoritas negara G20. Misi kami adalah untuk mendorong aksi iklim yang ambisius di negara-negara G20: kami memberi tahu pembuat kebijakan dan menstimulasi diskusi nasional.

Peluncuran dan Diskusi Climate Transparency Report 2021: Mengangkat Ambisi Iklim untuk Mencapai Keadilan Iklim dan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Pasca Pandemi

Siaran Tunda


Dalam upaya memenuhi Paris Agreement, Indonesia telah memperbarui Nationally Determined Contribution (NDC) beserta Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR) ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun Juli 2021. Untuk berkomitmen menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) menjadi 29% pada tahun 2030 di bawah BAU tanpa syarat dan 41% dengan syarat, Indonesia harus mempercepat respon untuk mengatasi perubahan iklim.

Perubahan iklim telah meningkatkan frekuensi cuaca ekstrim yang menyebabkan bencana alam yang parah, terutama bencana terkait hidrometeorologi. Temperatur yang lebih besar juga mengubah pola periode musim kemarau dan musim hujan. Kekeringan parah telah terjadi di beberapa tempat di mana orang menderita kelangkaan makanan dan air. Masalah ini mempengaruhi kebutuhan sehari-hari dan kegiatan ekonomi mereka terutama bagi masyarakat yang bekerja di sektor pertanian. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan pada tahun 2021 terjadi hampir 2000 kejadian bencana. Banyaknya kejadian banjir menyebabkan bencana utama di Indonesia karena intensitas hujan yang tinggi. Sekitar 4 juta orang menderita bencana sementara 500 ribu orang diungsikan dari rumah mereka.

Sebagian besar negara Asia memiliki kerentanan yang tinggi terhadap risiko perubahan iklim terutama Indonesia sebagai negara kepulauan, pesisir dan tropis. Lebih jauh lagi, ilmu pengetahuan terus menunjukkan bahwa ketika dampak perubahan iklim semakin cepat, peristiwa cuaca ekstrem berdampak besar di negara-negara berkembang, khususnya di Asia, sebagai rumah bagi beberapa populasi pemuda terbesar di dunia. Tidak hanya menurunkan kualitas alam, tetapi perubahan iklim menyebabkan hilangnya nyawa, harta benda dan mata pencaharian. Selain itu, perempuan, penyandang disabilitas, dan anak-anak termasuk kelompok terancam yang terkena dampak risiko iklim.

Komitmen Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim telah diterjemahkan oleh Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) melalui Kebijakan Pembangunan Ketahanan Iklim Indonesia 2020-2045, dalam Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan roadmap adaptasi iklim sebagai respon untuk memerangi untuk ancaman global perubahan iklim. Dengan semakin panjangnya dampak perubahan iklim maka dapat menimbulkan malapetaka bagi dunia di masa depan. KTT COP26 berikut pada bulan November di Glasgow membawa momen yang tepat bagi Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah untuk meningkatkan ambisi iklim dan mempercepat transisi energi untuk mencegah memburuknya dampak perubahan iklim.

Dalam memperkuat kerangka transparansi aksi adaptasi dan mitigasi global, Transparansi Iklim menghasilkan Laporan Transparansi Iklim tahunan. Laporan ini memberikan penilaian emisi dan proyeksi adaptasi iklim G20, mitigasi, dan mobilisasi keuangan untuk mendukung tindakan tersebut. Selain itu, laporan tersebut menyajikan analisis tanggapan COVID-19, langkah-langkah stimulus, dan rekomendasi untuk pemulihan hijau yang selaras dengan Perjanjian Paris. Climate Transparency Report 2021 akan diluncurkan secara global pada 14 Oktober 2021. Sebagai mitra Climate Transparency di Indonesia, IESR akan meluncurkan Climate Transparency Report 2021 dan Indonesia Country Profile dalam acara virtual satu hari yang akan diselenggarakan pada 28 Oktober 2021.


Materi Presentasi

IESR

IESR-Climate-Transparency-Report-2021_Indonesia_271021.pptx

Unduh

BNPB

BNPB-20211028_-IESR_Climate-Related-Hazards_compressed

Unduh

UI

UI-CC_ClimateTransparancy_102021

Unduh

GENERATE

Generate-CLIMATE-JUSTICE_DESY-PIRMASARI.pptx

Unduh

UCLG ASPAC

UCLG-ASPAC_Climate-Transparancy-Report-IESR-211027_rev.pptx

Unduh

Menuju COP 26: Perubahan iklim dan peran publik untuk melestarikan bumi

Siaran Tunda


Indonesia meratifikasi Persetujuan Paris pada 22 April 2016 melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 dan menyusun rencana penurunan emisi dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Indonesia telah berjanji untuk mengurangi emisinya sebesar 29% dengan usaha sendiri dan sebesar 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Indonesia juga menyatakan komitmen untuk mengatasi perubahan iklim dan mencegah kenaikan suhu di bawah 2°C pada rata-rata global atau 1,5° C di atas tingkat pra-industri. Selain itu agar dapat memenuhi target suhu yang ditetapkan dalam Persetujuan Paris, semua negara di dunia diharapkan agar dapat mencapai net zero emission di tahun 2050 termasuk Indonesia.

Dalam pemutakhiran NDC dan dokumen 2050 LTS-LCCR (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience), Indonesia menyatakan baru akan mencapai net zero emission di tahun 2060. Hal ini menunjukkan Indonesia akan mundur 10 tahun dari target netral karbon yang telah ditetapkan oleh Perjanjian Paris. Berdasarkan laporan IPCC Sixth Assessment Report (AR-6), kesempatan untuk menstabilkan iklim menjadi semakin sempit. Hal ini terlihat dari beberapa dampak krisis iklim yang sering terjadi. Peningkatan kejadian cuaca ekstrim mempengaruhi frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan  siklon tropis. Akibatnya sejumlah infrastruktur rusak dan menimbulkan kerugian baik secara fisik maupun secara finansial. Berdasarkan hasil studi Bappenas, pada tahun 2023 kerugian ekonomi dari dampak perubahan iklim mencapai 112.2 triliun rupiah.

Selain itu, adanya risiko iklim mulai menimbulkan ketimpangan dimana negara maju sebagai kontributor emisi terbesar mengalami dampak yang lebih sedikit dibandingkan negara berkembang yang menghasilkan emisi lebih rendah. Kenaikan muka air laut mengancam mata pencaharian mereka yang bergantung pada daerah pesisir. Kekeringan dapat menimbulkan kelangkaan pasokan makanan dan sulitnya mencari sumber air yang berakibat pada munculnya konflik sosial. Wanita, anak-anak, lansia dan disabilitas menjadi kelompok rentan yang akan mengalami dampak krisis iklim akibat kurangnya akses pendidikan, finansial dan informasi yang mereka dapatkan. Adanya pemahaman bahwa isu perubahan iklim merupakan konsep ‘dunia barat’ dan hanya merupakan konsumsi organisasi elit yang digerakkan oleh penggiat lingkungan dapat menghambat percepatan aksi mitigasi perubahan iklim.

Mendorong pemerintah untuk meningkatkan ambisi iklim diperlukan upaya dari seluruh masyarakat untuk meningkatkan aksi mitigasi dari pemerintah serta menambah kemawasan diri dari sisi masyarakat sendiri sehingga mewujudkan masyarakat yang berketahanan iklim. Selain itu, keterbukaan akses informasi juga penting bahwa partisipasi masyarakat terutama para pemimpin komunitas dan pemuka kelompok dalam melihat langkah konkrit untuk mendorong peningkatan ambisi yang lebih serius dari pemerintah Indonesia.

LTS-LCCR KLHK – IESR: Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2060

Jakarta, 25 Maret 2021 — Sebagai upaya memenuhi mandat Persetujuan Paris, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku national focal point untuk UNFCCC, mengumumkan Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. Pertemuan ini dihadiri pula oleh kementerian terkait. Meski terdapat kemajuan yang positif, namun Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang peta jalan Indonesia menuju rendah karbon di 2050, seperti yang tercantum dalam pemaparan dokumen LTS-LCCR 2050, masih kurang ambisius dan tidak sesuai dengan target
Persetujuan Paris.

  1. Beberapa hal yang tercantum dalam dokumen LTS-LCCR 2050 tersebut, yaitu: Pencapaian NDC pertama Indonesia ditargetkan pada tahun 2030, lalu Indonesia akan menuju net zero emission di tahun 2070;
  2. Dalam upaya mitigasi, skenario LCCP (low carbon scenario compatible with Paris Agreement target) yang menunjukkan target ambisius akan diterapkan di sektor AFOLU (pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan), energi, proses industri dan penggunaan produk (IPPU), serta limbah;
  3. Pada arah kebijakan yang rendah karbon dan memiliki ketahanan iklim, diperkirakan Indonesia akan mencapai puncak tertinggi (peaking) pada emisi GRK di tahun 2030 di sektor AFOLU dan energi sebelum akhirnya mencapai net zero emission di 2070. Dalam perhitungan emisi, peak di tahun 2030 akan mencapai 1163 juta ton dan emisi ini akan turun menjadi sekitar 766 juta ton CO2e di tahun 2050;
  4. Untuk sektor energi, skenario transisi dan LCCP akan menjadi pilihan untuk diterapkan. Dalam target LCCP yang lebih ambisius, bauran energi primer akan diisi oleh batubara 34%, gas 25%, minyak 8%, EBT 33% di tahun 2050. Penggunaan batubara akan turun menjadi 205 juta toe (293 juta ton batubara);
  5. Tambahan EBT untuk pembangkit sekitar 38 GW di tahun 2035 dan akan diprioritaskan untuk PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dikarenakan biaya investasi yang semakin rendah. Selain itu penurunan emisi akan didorong melalui aksi berikut:
    ● Penyediaan listrik melalui pembangkit EBT,
    ● Penerapan efisiensi energi seperti pada bangunan dan penerangan jalan umum (PJU),
    ● Penggunaan Bahan Bakar Nabati;
    ● Implementasi Co firing biomassa untuk mengurangi konsumsi batu bara di 52 PLTU,
    ● Pemanfaatan kendaraan listrik dengan target 2 juta mobil dan 13 juta motor di 2030,
    ● Transisi menuju bahan bakar rendah karbon dan teknologi pembangkit bersih seperti penggunaan CCUS/CCS (carbon capture, utilisation and storage/carbon capture and storage) dan hidrogen.

Menyikapi pemaparan mengenai Indonesia LTS-LCCR 2050, berikut tanggapan dari IESR:

  1. IESR menanggapi positif mengenai target peak emission di tahun 2030. Hal ini akan memberikan target jangka menengah yang jelas bagi rencana aksi mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Namun, perlu kejelasan mengenai dukungan kebijakan dan regulasi yang memungkinkan setiap sektor untuk melakukan transisi secara cepat dan mencapai peak emission di tahun 2030;
  2. Pencapaian net zero emission di tahun 2070 terlalu lama dan tidak sesuai dengan Persetujuan Paris. Agar selaras dengan Persetujuan Paris dan mendukung pembatasan kenaikan suhu global di bawah 1.50 C, maka emisi GRK Indonesia harus sudah turun mencapai 622 juta ton CO2e di tahun 2030 (di luar sektor AFOLU) dan mencapai net zero pada tahun 20501;
  3. Perlu adanya upaya yang lebih kuat terutama untuk dapat beralih (shifting away) dari penggunaan batu bara. Indonesia perlu secara bertahap berhenti menggunakan batu bara pada tahun 2037 dan meningkatkan target energi terbarukannya setidaknya menjadi 50% pada tahun 20302;
  4. Setiap sektor perlu menetapkan ukuran mitigasi yang kredibel, transparan, dan terukur agar dapat sesuai (on-track) dengan Persetujuan Paris. Berdasarkan beberapa pemodelan global, seperti Integrated Assessment Models (IAMs), Deep Decarbonization Pathway Project, Energy Watch Group/LUT University, terdapat beberapa parameter yang bisa jadi acuan bagi Indonesia dalam mengukur kesesuaian capaian penurunan emisi GRK dengan target Persetujuan Paris. Untuk sektor ketenagalistrikan dan transportasi, parameter tersebut antara lain3:
    a. Ketenagalistrikan
    i. Intensitas emisi dari sektor ketenagalistrikan; harus berada di kisaran 50-255 gCO2/kWh di tahun 2030 dan 0 di tahun 2050
    ii. Bauran pembangkitan listrik dari energi terbarukan; mencapai 50-85% di tahun 2030 dan 98-100% di tahun 2050
    iii. Bauran pembangkitan listrik dari PLTU batubara; turun menjadi 5-10% di tahun 2030
    b. Transportasi
    i. Intensitas emisi dari sektor transportasi penumpang darat; berada di kisaran 25-30 g CO2/pkm pada tahun 2030
    ii. Bauran dari bahan bakar rendah karbon; mencapai 20-25% dari total
    permintaan energi di sektor transportasi pada tahun 2030
  5. Studi IESR mengenai skenario transisi energi Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia dapat mencapai bauran primer energi terbarukan sebesar 69% pada tahun 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi minimal 24 GW pada tahun 2025, membangun 408-450 GW pembangkit energi terbarukan pada tahun 2050, dan menghentikan pembangunan PLTU batubara baru sejak 2025 serta mempensiunkan PLTGU lebih awal.
  6. 7. IESR mendukung penggunaan bahan bakar nabati berkelanjutan dan kendaraan listrik.

Climate Transparency Report 2020 menjelaskan bahwa bahan bakar nabati berkelanjutan yang tidak meninggalkan jejak karbon (carbon footprint), penggunaan kendaraan listrik, serta standar efisiensi bahan bakar yang lebih ketat akan mengurangi emisi GRK terutama dari sektor transportasi secara signifikan. Selain itu, persentase bahan bakar rendah karbon dalam bauran bahan bakar transportasi harus meningkat menjadi sekitar 60% pada tahun 2050.

Narahubung Media:
Lisa Wijayani
Program Manajer Ekonomi Hijau, IESR, lisa@iesr.or.id, 08118201828
Deon Arinaldo
Program Manajer Transformasi Energi, IESR, deon@iesr.or.id, 081318535687
Uliyasi Simanjuntak
Koordinator Komunikasi IESR, uliyasi@iesr.or.id, 08123684127

Referensi:

1 CAT (n.d.). Indonesia country summary
2 Climate Transparency (2020).The Climate Transparency Report 2020
3 CAT (2020). Paris Agreement Compatible Sectoral Benchmark
4 IESR (2020). National Energy General Plan (RUEN): Existing Plan, Current Policies Implication and Energy Transition
Scenario6. Perlu adanya peningkatan investasi dan dorongan riset ke arah pengembangan inovasi dan
teknologi ET seperti hidrogen agar dapat segera diimplementasikan dan dioptimalkan untuk
mencapai net zero emission.

Transformasi Perekonomian Indonesia menuju Net-zero Emission Economy

Brown to Green Report 2019: 

Strategi Transformasi Perekonomian Indonesia menuju Net-zero Emission Economy dalam Menangani Perubahan Iklim sebagai Upaya Pencapaian Paris Agreement

Jakarta, 19 November 2019 — IESR. Emisi karbon dari negara-negara G20 terus meningkat sebagai akibat dari tingginya penggunaan bahan bakar fosil dalam penyediaan energi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Bahkan, tidak satupun dari mereka memiliki rencana penurunan emisi karbon yang selaras dengan pembatasan kenaikan suhu bumi sebesar 1.5°C. Meskipun mereka memiliki kemampuan teknis dalam meningkatkan upaya pencegahan perubahan iklim dalam mencapai target Paris Agreement, rencana aksi mitigasi yang ada di dalam dokumen NDC negara-negara G20 tidak ada yang menempatkan mereka berada di jalur 1.5°C.

Apabila negara-negara G20 tidak melakukan peningkatan ambisi iklimnya dan melakukan transformasi perekonomian, dan dengan dokumen NDC yang ada saat ini, suhu bumi akan meningkat lebih dari 3°C. Pembatasan kenaikan suhu bumi sebesar 1,5°C diindikasi akan mengurangi dampak negatif di berbagai sektor di negara G20 lebih dari 70%. Kerugian yang saat ini dilanda oleh negara G20 akibat perubahan cuaca yang ekstrim yakni kematian sebanyak 16.000 jiwa dan kerugian ekonomi sebesar US$ 142 triliun setiap tahunnya. 

Semua negara anggota G20, termasuk Indonesia, dapat meningkatkan ambisi iklimnya dalam upaya penurunan emisi karbon dan mencapai net-zero emission economy untuk mencapai Paris Agreement, dengan langkah yang taktis dan komitmen serta kemauan politik yang kuat. Hal ini merupakan salah satu pesan kunci dari Brown to Green Report 2019: The G20 Transition Towards a Net-Zero Emissions Economy yang diluncurkan oleh Institute for Essential Services Reform di Jakarta pada 19 November 2019. Peluncuran laporan yang diikuti dengan diskusi panel ini dihadiri sedikitnya 140 peserta yang berasal dari kementerian dan lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, pelaku bisnis, asosiasi, akademisi, dan masyarakat umum, serta rekan-rekan jurnalis.

Laporan Brown to Green 2019 merupakan sebuah laporan tahunan yang disusun oleh Climate Transparency dengan didukung oleh Federal Ministry of Environment Nature Conservation and Nuclear Safety. Dengan menggunakan 80 indikator penilaian terkait adaptasi, mitigasi dan pembiayaan perubahan iklim untuk dapat mencapai target 1,5°C, laporan ini mengukur aksi iklim dari negara-negara G20 dan bagaimana proses transisi mereka menuju net-zero emissions economy. Sebagai anggota dari kemitraan Climate Transparency, IESR mengukur kinerja Indonesia dalam upaya mengatasi perubahan iklim serta bagaimana Indonesia dapat melakukan transisi perekonomiannya, dibandingkan dengan negara anggota G20 lain.

Membuka acara ini, Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR) menyampaikan bahwa laporan ini memperlihatkan Indonesia masih cukup tertinggal dalam upaya mencapai Paris Agreement. Oleh karena itu dibutuhkan strategi pembangunan dan investasi untuk mendorong perekonomian Indonesia menjadi lebih hijau, khususnya investasi di pembangkit listrik, transportasi, dan industri manufaktur. Di samping itu, Indonesia membutuhkan strategi untuk membuat ekonomi Indonesia lebih resilient terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini sudah dirasakan. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR

Ditegaskan dalam pidato pembukaan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Jend. TNI. (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan, bahwa Indonesia berkomitmen dalam penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030 dan juga peningkatan kontribusi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi di 2025. “Indonesia berkomitmen untuk menempatkan energi baru dan terbarukan dalam kebijakan negara. Penentu kebijakan harus membuat kebijakan yang tidak mencederai anak cucu” pernyataan Luhut dalam pidatonya.

Ia pun menjelaskan beberapa strategi investasi dan bisnis yang akan diterapkan Indonesia dalam mendorong perekonomian hijau, yakni teknologi yang masuk ke Indonesia harus yang berkualitas tinggi dan ramah lingkungan; harus ada transfer teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah produk mentah yang menjadi komoditas ekspor Indonesia; serta investor harus mengembangkan pelatihan bagi tenaga kerja lokal. Secara khusus, ada beberapa program yang disiapkan pemerintah untuk mendorong perekonomian hijau yaitu biodiesel dan green fuel untuk non listrik, kendaraan listrik, pembangkit listrik energi terbarukan, mendekatkan industri dengan sumber energi, dan pelibatan pihak swasta dalam proyek carbon credit.

Prof. Emil Salim, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga turut hadir dalam peluncuran ini, memberikan Keynote Speech kedua setelah Menteri Kemenko Maritim dan Investasi. Prof Emil turut menekankan bahwa Laporan Brown to Green ini mencerminkan kenyataan yang ada mengingat kebijakan energi Indonesia sudah dicanangkan hingga ke 2050 tapi tidak ada yang menunjukkan bagaimana dampak dari emisi karbon dapat diatasi. 

Prof. Emil Salim, Guru Besar FE UI

“Persoalan climate change adalah persoalan nasional yang sedang sama-sama kita hadapi. Namun, sayangnya faktor lingkungan tidak menjadi pertimbangan penting dalam Rencana Umum Energi Nasional, tapi justru menumpukan pembangunan pada energi konvensional. Jadi pola struktur energi kita didominasi minyak bumi, batu bara dan energi terbarukan hanya kurang dari separuh. Padahal potensinya tinggi. Jika kita merasa Rencana Umum Energi Nasional tersebut tidak tepat maka keinginan saya adalah, bagaimana komposisi energi terbarukan bisa dapat tingkatkan.” ujar Prof. Emil Salim.

Senior ekonom Indonesia ini pun menyoroti peran PLN sebagai BUMN yang menilai bahwa pihak swasta tidak dapat mengembangkan sumber energinya dengan alasan perizinan yang hanya dimiliki oleh PLN, sehingga teknologi pembangkit listrik surya atap masih terhambat hingga saat ini.Beliau menekankan bahwa laporan IESR ini harus dijadikan sebagai lampu kuning bagi seluruh pemangku kebijakan tak sekedar dokumen untuk dibaca. Indonesia tertinggal dalam urusan yang terkait dengan climate change, kebijakan energi sebagai alternatif harus segera dibuat, imbuhnya. 

Erina Mursanti, Program Manager IESR – Green Economy

Beberapa poin penting dalam paparan kedua keynote speech tersebut, selaras dengan isi dari laporan Brown to Green yang dipaparkan langsung oleh Manajer Program, Green Economy, IESR, Erina Mursanti. Laporan ini memperlihatkan posisi Indonesia untuk menuju 1,5°C berdasarkan compatible fair share emission ranges yang merupakan analisa adaptasi dari metodologi Climate Action Tracker yang juga merupakan mitra internasional dari Climate Transparency. Metodologi ini tidak memasukkan LULUCF emission karena tidak semua negara G20 memiliki emisi dari LULUCF (Land Use, Land-Use Change and Forestry) atau penggunaan lahan dan hutan. 

“Sekalipun semua kegiatan mitigasi yang ada di dalam dokumen NDC Indonesia dilaksanakan, negara ini tetap berada pada jalur suhu bumi 3°C atau bahkan 4°C, jadi bisa disimpulkan kita masih berada jauh dari jalur 1,5°C.” terang Erina, memaparkan salah satu hasil laporan ini. Laporan ini menunjukkan, selama tahun 2019, ada dua kemajuan Indonesia dalam melakukan transformasi perekonomian yakni adanya peraturan presiden mengenai kendaraan listrik serta pembentukan badan pengelola dana lingkungan hidup terkait upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Meskipun demikian, sayangnya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2019-2028 menunjukkan bahwa kontribusi dari batubara dalam pembangkit listrik naik sebesar 0,2% dibandingkan dengan rencana tahun lalu. 

Terkait rencana pembangunan jangka panjang, laporan ini menemukan bahwa Indonesia belum memiliki rencana pembangunan jangka panjang yang terintegrasi dengan rencana penurunan jumlah emisi gas rumah kaca. Indonesia telah mengeluarkan studi low carbon development initiative namun studi ini belum didokumentasikan secara resmi sebagai dokumen pembangunan pemerintah Indonesia. 

Dilaporkan bahwa Indonesia sudah memiliki target kontribusi energi terbarukan dalam sektor ketenagalistrikan, namun implementasi upaya pencapaian target tidak koheren dengan beberapa kebijakan yang sudah ada. Namun Indonesia belum memiliki target atau kebijakan terkait penghapusan batubara secara bertahap, padahal indikator ini merupakan faktor penting demi menanggulangi perubahan iklim. 

Dalam sektor transportasi, hanya satu hal yang cukup bagus dimiliki oleh Indonesia yaitu adanya beberapa instrumen yang mendukung pengalihan pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum. 

Indonesia belum mempunyai instrumen pembiayaan perubahan iklim yang cukup memuaskan. Catatan penting dari temuan ini adalah Indonesia masih memberikan subsidi kepada bahan bakar fosil yang sangat besar. Demi tercapainya suhu bumi pada 1,5°C Indonesia harus mulai menghapus subsidi tersebut dan memperkenalkan skema pajak karbon. Dana APBN juga semestinya sudah tidak digunakan lagi untuk membiayai proyek – proyek berbahan bakar fosil. Strategi pembangunan jangka panjang Indonesia harus diperjelas agar dapat mengakomodasi pembiayaan jangka panjang untuk perubahan iklim. 

Sebelum menutup paparannya, Erina Mursanti mengingatkan bahwa demi meningkatkan Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia dan untuk berada di jalur 1,5°C, ada tiga hal yang dapat dilakukan negara yaitu: (a) Mengurangi jumlah Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan menaikkan kontribusi energi terbarukan tiga kali lipat pada sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030. Hal ini sangat penting menurut Erina, karena: merupakan solusi yang layak (mungkin dilakukan) secara teknis tanpa mengurangi keandalan jaringan transmisi (jika daya energi terbarukan sangat besar). Komitmen dan kemauan politik (political will) dalam hal ini sangat dibutuhkan. (b) Meningkatkan tingkat efisiensi dari peralatan rumah tangga & industri termasuk penerangan karena hal ini berkontribusi sekitar 25 GW pada tahun 2030. (c) Indonesia harus melakukan moratorium pembebasan lahan hutan secara permanen termasuk untuk hutan primer, sekunder dan restorasi hutan gambut. 

 

(dari Kiri ke Kanan) Dr. Yose Rizal Damuri, Kepala Departemen Ekonomi, CSIS, Erina Mursanti, Program Manager Green Economy, IESR, Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Kemenko Marves, Dr. Saleh Abdurrahman, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, KESDM, Kuki H. Soejachmoen.

Galeri acara Peluncuran Brown to Green 2019:

Diskusi Panel: Strategi Indonesia menuju Perekonomian Nir Emisi pada 2050

Menindaklanjuti hasil laporan ini, diskusi panel pun dilakukan dengan mengusung topik Strategi Indonesia Menuju Perekonomian Nir Emisi pada 2050 dan menghadirkan para panelis yang terdiri dari: Kepala Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS) – Yose Rizal Damuri; Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – Emma Rachmawati; Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang – Saleh Abdurrahman; dan Direktur Eksekutif, IESR – Fabby Tumiwa.

Yose Rizal Damuri, dalam hal ini mengaitkan political will dengan dinamika sosial politik Indonesia yang tidak banyak terafiliasi dengan isu lingkungan. Survei CSIS yang dilakukan di awal tahun mengenai persepsi sosial dan politik terhadap isu emisi menemukan bahwa hanya 1,68% dari 2.000 responden Indonesia yang menjawab bahwa isu lingkungan merupakan salah satu prioritas pembangunan. Yose melanjutkan, di ranah politik, sayang sekali hanya satu partai yang memasukkan kata lingkungan dari visi misi mereka namun sayangnya partai ini tidak masuk ke dalam DPR. Sangat disayangkan politisi – politisi belum banyak berperan di seputar isu lingkungan, padahal mereka punya peran penting dalam memberikan legalitas demi dukungan pendanaan.

Mengamini pernyataan Prof. Emil Salim di keynote speechnya, Yose juga menilai bahwa PLN masih menjadi salah satu penghalang utama untuk pengembangan teknologi energi terbarukan yang berhubungan dengan kelistrikan, karena semestinya menurut Yose, PLN seharusnya bertindak sebagai penyedia jasa bukan sebagai regulator. Political will pun sangat dibutuhkan dalam memecahkan kendala regulasi yang menghambat pengembangan energi terbarukan seperti solar rooftop atau kendaraan listrik.

Menurut pandangan KLHK yang disampaikan oleh Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Emma Rachmawati, kemampuan ekonomi yang dimiliki negara-negara G20 berbeda dari satu dengan yang lainnya. “Kenapa negara berkembang seperti Indonesia kemudian dituntut untuk increase ambition? Indonesia juga mempertanyakan, negara maju penuhi dulu kewajiban nya, jangan lalu dibagi rata menjadi beban negara berkembang.”

“KLK saat ini sedang dalam proses penyusunan roadmap implementasi NDC, dimana NDC dirinci dalam kegiatan di sub-sektor untuk masing-masing sektor. Kita sudah pilah mana yang kemudian bisa dikontribusikan oleh Provinsi dan Kabupaten/ Kota, kemudian oleh swasta, sudah ada dalam road map tersebut. Kemudian juga kemarin kita sudah diskusi mengenai carbon pricing dan bagaimana peran swasta untuk pasar karbon.” imbuh Emma Rachmawati.

Di kesempatan yang sama, Saleh Abdurrahman, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, merespon wajar jika Indonesia belum mencapai target NDC karena, menurutnya, pertumbuhan GDP Indonesia masih rendah; sehingga kesejahteraan masyarakat Indonesia harus didahulukan dengan terus menumbuhkan sektor manufaktur. Untuk mencapai kesejahteraan Indonesia itu harus bisa menjamin kesejahteraan sosial, maka sektor manufaktur harus terus tumbuh. Sektor manufaktur mendapatkan nilai tambah yang tinggi dan bisa menjangkau pekerja baru sampai 200-300 ribu orang. 

Saleh pun menyatakan bahwa pemerintah tidak dapat melihat kebijakan dalam kurun waktu tahunan (yearly basis), karena kebijakan energi pada khususnya menyangkut sektor riil, dan harus mempertimbangkan faktor ekonomi. Strategi sektor energi dalam menuju nir emisi dapat dilakukan dengan: (i) mencari sumber energi yang memiliki big impact seperti biofuel, (ii) mengoptimalkan energy efficiency, (iii) memaksimalkan PLTS, PLTP, PLTA karena bisa mendorong ekonomi lokal.

Fabby Tumiwa, dalam sesi diskusi panel menyatakan Indonesia sebagai anggota negara G20 tentunya memiliki kondisi ekonomi yang berbeda dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat, trajectory yang ada dalam NDC menunjukkan jika kita belum di jalur 1,5°, namun ada di jalur 3° – 4°C dikarenakan Indonesia meningkatkan pembangkit dari minyak bumi cukup masif, dimana sebagian besar dari pembangkit ini baru mulai beroperasi setelah 2023 – 2030 dengan berkekuatan 35.000 MW, meski Indonesia sudah memiliki aset pembangkit energi terbarukan namun tidak on-track sesuai target. Long-term decarbonisation menjadi catatan penting untuk pemerintah Indonesia khususnya BAPPENAS, KLHK dan sektor lain untuk membahas bagaimana target 2050

“Tidak hanya target-target mau turun berapa, tetapi kapan emisi akan peak dan kapan kita bisa mencapai net-zero emission. Ini penting karena bisa melihat apakah kita compatible dengan Paris Agreement.” imbuh Fabby. 


Brown to Green Report 2019 diluncurkan di Jakarta, Hotel Pullman Thamrin 19 Desember 2019.

Materi paparan dari kegiatan ini dapat di unduh di laman agenda 

Anda juga dapat mengunduh: 

Laporan Lengkap Brown to Green 2019 (Bahasa Inggris)

Ringkasan Eksekutif dan Profil Indonesia (Bahasa Inggris)

Laporan Brown to Green 2019 Profil Indonesia (Bahasa Indonesia)