Rekomendasi Masyarakat Sipil untuk Penyusunan Second NDC

press release

Jakarta, 2 Februari 2024 – Indonesia, melalui koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mulai menyusun Second National Determined Contribution (SNDC) untuk penurunan emisi di 2030 dan 2035. KLHK merencanakan untuk menyampaikan SNDC ke UNFCCC pada tahun 2024. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil  meminta agar SNDC ini memutakhirkan skenario yang digunakan, menetapkan target yang selaras dengan tujuan pencapaian pembatasan pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius dan berusaha mencapai 1,5 derajat C sebagaimana target Persetujuan Paris, yang juga dikukuhkan oleh keputusan Global Stocktake di COP 28. 

IESR juga mendesak pemerintah agar melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses penyiapan SNDC. Selain itu, Pemerintah juga perlu untuk menjalankan prinsip Article 4 Line 13 dalam Persetujuan Paris dan ketentuan-ketentuan dalam rangkaian COP dalam menyusun SNDC.

Sejauh ini, pemerintah masih menggunakan perhitungan penurunan emisi menggunakan skenario business as usual (BAU). Masyarakat sipil memandang skenario  ini tidak relevan untuk dijadikan basis perhitungan emisi. Indonesia perlu beralih pada sistem perhitungan yang akurat yaitu menggunakan acuan emisi relatif pada tahun tertentu, dengan memperhitungkan trajektori pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia yang lebih realistis.

“Meski target penurunan emisi dalam Enhanced NDC (ENDC) terlihat meningkat, tetapi  sesungguhnya masih  tidak sejalan dengan target pembatasan kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius. Saat ini, target ENDC hanya membidik penurunan emisi sebesar 31-43 persen saja di bawah BAU. Jika menggunakan perhitungan BAU yang digunakan untuk menetapkan target penurunan emisi dalam NDC selama ini, seharusnya target penurunan emisi Indonesia minimal 60 persen dari BAU untuk perhitungan dengan upaya sendiri (unconditional) dan 62 persen dari BAU untuk perhitungan dengan bantuan internasional (conditional). Jumlah ini belum termasuk penurunan emisi dari sektor pertanian, kehutanan dan lahan,” ungkap Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Berdasarkan analisis IESR, dengan menggunakan emisi tahun 2022 sebagai basis penetapan target, Indonesia perlu menetapkan target penurunan emisi pada 2030 dengan upaya sendiri (unconditional) sebesar 26 persen atau 859 MtCO2e, dan 28 persen dengan bantuan internasional (conditional) atau 829 MtCO2e. Penetapan target emisi tersebut akan berkontribusi pada pembatasan kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius.

Seiring dengan peningkatan target penurunan emisi, maka Indonesia perlu pula menurunkan bauran energi fosil seperti batubara dan gas dalam sistem energi Indonesia. Bauran batubara dalam sistem ketenagalistrikan Indonesia, berdasarkan perhitungan Climate Action Tracker (CAT), harus dikurangi menjadi 7 hingga 16 persen pada 2030 dan menghentikan operasi PLTU sebelum 2040. Adapun, gas perlu berkurang menjadi 8 hingga 10 persen pada 2030 dan berhenti pengoperasiannya pada 2050.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR, mengatakan pengurangan bauran energi fosil harus digantikan dengan peningkatan bauran energi terbarukan sebesar 55 hingga 82 persen di 2030 nanti. Sayangnya, di ENDC, target yang tercantum bukan target bauran energi terbarukan, melainkan target kapasitas energi terbarukan yang terpasang. IESR menilai besaran kapasitas terpasang energi terbarukan saja tidak secara jelas menunjukan hubungan dengan penurunan emisi.

“Dengan kejelasan target bauran energi terbarukan di sektor kelistrikan, maka dapat diekspektasikan dan bahkan dihitung berapa besar intensitas emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 untuk mencapai target SDNC. Selain itu, bauran energi terbarukan yang tinggi akan dapat memberikan arah perencanaan ketenagalistrikan yang lebih jelas, termasuk jenis energi terbarukan yang perlu dibangun untuk bisa mengejar kesenjangan (gap) saat ini. Dengan sisa waktu 7 tahun, maka jelas PLTS dan PLTB yang punya masa konstruksi singkat seharusnya menjadi prioritas pengembangan untuk mengejar target bauran. Selain itu, intervensi perlu pula dilakukan pada pembangkit listrik fosil dan pentingnya untuk mengurangi bauran energi fosil dengan berbagai strategi seperti pengakhiran operasi PLTU dan atau pengurangan utilisasinya,” ungkap Deon.

Selain itu, IESR dan organisasi masyarakat sipil lain juga memandang dokumen ENDC lalai dalam memasukkan prinsip keadilan iklim. Masyarakat sipil mendorong agar penyusunan SNDC dapat mengakomodasi partisipasi yang lebih luas, memberikan perlindungan iklim bagi kelompok masyarakat rentan, serta berlangsung transparan.

Wira Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR mengungkapkan pemerintah perlu memastikan distribusi beban pengurangan emisi juga perlu dilakukan secara adil.

“Aktor yang paling banyak mengeluarkan emisi, harus pula mengurangi emisi dengan porsi yang lebih besar. Tidak hanya itu, penyusunan SNDC ini perlu mengedepankan prinsip keadilan iklim yang dapat mengurangi risiko jangka pendek dan jangka panjang serta membagi manfaat, beban, dan risiko secara adil, termasuk bagi komunitas-komunitas yang selama ini termarjinalkan,” tandas Wira.

IESR dan kelompok masyarakat sipil lainnya memberikan enam rekomendasi terhadap penyusunan SNDC. Pemerintah dalam penyusunan SNDC perlu, pertama, mempertimbangkan prinsip dari Persetujuan Paris sesuai dengan Article. 4 Line 13 dan sesuai dengan panduan yang diadopsi oleh COP. Kedua, mempertimbangkan integrasi measurement, reporting and verification (MRV) bagi pihak-pihak negara-negara berkembang. Ketiga, menanggalkan menggunakan BAU scenario sebagai basis perhitungan penurunan emisi dan beralih menggunakan emisi relatif pada tahun tertentu, dengan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia yang lebih akurat. Keempat, menetapkan target iklim selaras Persetujuan Paris. Kelima, pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang transparan dan dapat diakses publik. Keenam,  memasukkan dan melaksanakan prinsip keadilan iklim. Rekomendasi penyusunan Second NDC telah diserahkan kepada kementerian dan lembaga terkait.

Dialog Transisi Berkeadilan: Mengidentifikasi Peran Sektor Swasta dalam Pemberdayaan Sosial-Ekonomi Masyarakat

Tayangan Tunda


Latar Belakang

Indonesia merupakan negara penghasil batubara ketiga terbesar setelah India dan China di tahun 2022. Menurut penuturan Kementerian ESDM, Indonesia menargetkan produksi batubara sebesar 694.5 juta ton pada 2023, naik 0.47% lebih tinggi dari target tahun sebelumnya. Hingga bulan Oktober 2023, produksi batubara Indonesia sudah mencapai 567.2 ton atau 81.67% dari target produksi tahun ini. Batubara di Indonesia kebanyakan akan dijual ke pasar ekspor (75%-80%) dan dikonsumsi di dalam negeri (20%-25%). Akan tetapi, dengan adanya tren transisi energi, permintaan batubara Indonesia terlihat menurun, salah satunya dari India. India menurunkan permintaan batubaranya dari Indonesia dari 8.43 juta ton menjadi 6.11 juta ton per Juni 2023. 

Selain adanya tren penurunan permintaan batubara dari luar negeri, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan beberapa komitmen yang akan mempengaruhi penggunaan batubara ke depannya yang sejalan dengan agenda transisi energi menuju energi terbarukan. Pada tahun 2022, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Perpres No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Pembangkit Tenaga Listrik yang secara eksplisit menetapkan pelarangan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara mulai tahun 2030. Komitmen ini mendapatkan dukungan melalui penandatanganan perjanjian kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) antara Indonesia dengan IPG dan GFANZ. Melalui dokumen CIPP, Pemerintah Indonesia bermaksud untuk mencapai puncak emisi di sektor ketenagalistrikan di 290 MT CO2 dan bauran energi terbarukan sebesar 34% di tahun 2030. Selain itu, dokumen ini juga menyatakan bahwa Indonesia harus mengupayakan proses transisi energi berkeadilan dimana dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup juga menjadi perhatian bagi para pemangku kebijakan. Adanya kebijakan nasional dan global juga berpotensi dapat mempengaruhi bisnis perusahaan dan juga struktur sosial-ekonomi masyarakat di sekitar daerah pertambangan.

Kegiatan industri ekstraktif seringkali menjadi sumber utama dari pendapatan daerah, namun di samping itu juga menimbulkan kerugian baik secara ekonomi, sosial-masyarakat dan juga lingkungan. Dengan adanya agenda transisi energi, pemerintah berencana untuk membatasi konsumsi batubara sehingga akan berdampak kepada penutupan tambang batubara yang lebih cepat dan mempengaruhi kegiatan masyarakat setempat. Dalam UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara kegiatan pascatambang,  pelaku usaha wajib untuk mengembalikan keadaan alam dan lingkungan setempat seperti keadaan awal. Hal ini juga tertuang pada UU No.40/2007 yang mewajibkan perseroan di bidang sumber daya alam untuk melakukan kegiatan Tanggung Jawab Sosial dimana banyak diasosiasikan dengan pemberdayaan masyarakat. Dengan mengintegrasikan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi masyarakat terhadap rencana perusahaan, diharapkan masyarakat dapat secara mandiri membangun kegiatan ekonomi mereka dan dapat lepas dari ketergantungan dari perusahaan. Sehingga, peran perusahaan dan pemerintah daerah menjadi penting untuk aktivitas pasca-tambang.

Oleh karena itu, IESR bermaksud mengundang para pelaku usaha untuk dapat memberikan informasi dan strategi perencanaan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat  dan lingkungan sebagai persiapan kegiatan pascatambang. Dengan adanya acara ini diharapkan juga dapat memperkuat perencanaan pascatambang antara pemerintah dan pemilik usaha dalam agenda transisi energi berkeadilan.

Tujuan

Kegiatan ini memiliki beberapa tujuan yaitu:

  1. Mendapatkan dan menyebarkan informasi terkait program reklamasi pascatambang baik dari sisi perencanaan dan implementasi serta tantangan yang dihadapi untuk menuju transisi berkeadilan;
  2. Mendapatkan dan menyebarkan informasi mengenai peran pelaku usaha atau industri dalam mempersiapkan dampak transisi energi kepada masyarakat dan lingkungan sekitar;
  3. Identifikasi bentuk kolaborasi kegiatan pasca tambang untuk mengembangkan berdasarkan potensi ekonomi, sumber daya alam, dan manusia melalui penerapan transisi berkeadilant;

 


Materi Presentasi

Reklamasi dan Pascatambang – Koordinator PPNS Minerba – Dr. Y. Sulistiyohadi

Reklamasi-dan-Pascatambang-Koordinator-PPNS-Minerba

Unduh

Reklamasi Pasca Tambang Ombilin1 – Yulfaizon

Reklamasi-Pasca-Tambang-Ombilin1-IESR

Unduh

Implementing the Energy Transition: Policies in Colombia, Germany, India, Indonesia and South Africa

Latar Belakang

Semua negara perlu meningkatkan ambisinya untuk mengurangi emisi secara efektif, pada tingkat yang sesuai dengan status pembangunannya.

Namun, target yang ambisius saja tidak cukup; kebijakan harus dibuat dan diimplementasikan secara efektif. Climate Transparency telah merancang Climate Policy Implementation Check untuk menilai, mengawasi, dan memantau status implementasi instrumen kebijakan dalam empat kategori: status hukum, lembaga dan tata kelola, sumber daya, dan pengawasan.

Dengan difasilitasi oleh Climate Emergency Collaboration Group, kami menganalisis implementasi berbagai kebijakan iklim di sektor energi di India, Afrika Selatan, Indonesia, Kolombia, dan Jerman.

Menjelang COP28, kami akan mendiskusikan berbagai kemungkinan dan implikasi kerja sama internasional untuk mengimplementasikan transisi energi secara efektif dari batu bara menuju masa depan energi terbarukan. Dengan keterkaitan yang kuat antara produksi dan konsumsi batubara, negara-negara yang kami analisis menjadi contoh peluang dan tantangan untuk melakukan transformasi yang sukses, dan mereka akan menjadi kunci dalam perdebatan mengenai bagaimana mengubah hubungan internasional yang sudah berlangsung lama dari ‘Brown to Green.’

Agenda

  1. Kebijakan Spesifik terkait Transisi Energi di India, Afrika Selatan, Indonesia, Kolombia, dan Jerman: Status dan prospek implementasi
  2. Implikasi internasional dari transisi energi domestik

Bahasa

Kegiatan ini menggunakan bahasa inggris

Memahami Konteks Transisi yang Adil di Daerah Penghasil Batubara

Jakarta, 10 Mei 2023 – Upaya global untuk beralih dari sumber daya listrik berbasis fosil akan mengarah pada peralihan dari batu bara. Transisi ini tidak hanya membawa perubahan drastis pada sektor hulu yaitu produksi batubara, tetapi juga mata pencaharian dan aktivitas ekonomi di daerah penghasil batubara.

Srestha Banerjee, direktur program Just Transition iForest India, selama webinar berjudul “The Just Transition Toolbox for Coal Regions — Knowledge needs in the South-East-Asian context” menekankan bahwa masalah transisi lebih merupakan masalah politik daripada masalah teknis.

“India telah menunjuk gugus tugas untuk merancang solusi yang berpusat pada manusia untuk transisi batubara. Selain menggali kebutuhan masyarakat melalui dialog dan diskusi, kita perlu contoh praktik transisi yang baik untuk meningkatkan kepercayaan diri masyarakat,” jelas Srestha.

Indonesia, negara eksportir batu bara terbesar, mengalami ketidakpastian transisi batu bara yang mendukung agenda transisi energi berkeadilan. Seiring melonjaknya harga batubara dunia tahun lalu, Indonesia menghadapi dilema antara mengurangi produksi batubara atau tetap menjalankan bisnis seperti biasa.

Marlistya Citraningrum, manajer program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform mengatakan, sejak tahun lalu pemerintah Indonesia mulai lebih mengandalkan energi terbarukan dalam perencanaan ketenagalistrikan PLN yaitu dokumen RUPTL, namun implementasinya masih menghadapi tantangan.

“Meninggalkan batu bara secara total dipandang sebagai pilihan yang jauh lebih sulit karena secara langsung akan berdampak pada situasi ekonomi dan pendapatan daerah,” katanya.

Citra, demikian ia biasa disapa, menambahkan bahwa pada tahap perencanaan, pemerintah perlu memahami konteks transisi dan dampaknya terhadap aspek sosial ekonomi. Mendengarkan secara aktif diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.

Chalie Charoenlarpnopparut, associate professor, Sirindhorn International Institute of Technology, Thammasat University Thailand sepakat bahwa dialog akan menjadi kunci untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan untuk mencapai target pengurangan emisi dan dampak sosial ekonomi dari meninggalkan batubara.

“Kita perlu memberi tahu masyarakat bahwa perubahan ini mutlak akan terjadi, dan kita perlu bersiap atau kita akan mengalami dampak negatif yang lebih besar dari transisi batubara,” kata Charlie.

Menyadari bahwa transisi energi dan transisi batubara khususnya merupakan masalah yang banyak bersifat teknis dan teknokratis, pengarusutamaan gender selama proses tersebut menjadi sangat penting. Chalie menambahkan, di Thailand, keterlibatan perempuan dalam masa transisi sudah mulai terlihat.

“Perempuan lebih memiliki sense of sustainability sehingga mereka lebih bersemangat untuk terlibat dalam suatu aksi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat dalam sisi penelitian dan akademik dalam transisi ini,” ujarnya.

Laporan Climate Transparency 2021: Dampak Perubahan Iklim Nyata, Indonesia Perlu Tingkatkan Aksi Iklimnya

Jakarta, 28 Oktober 2021 – Beberapa hari menjelang COP 26 di Glasgow, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Climate Transparency Report, Profil Negara Indonesia 2021. Secara khusus, laporan tahunan tentang aksi iklim negara-negara G20 ini, menyoroti aksi iklim Indonesia yang meliputi adaptasi, mitigasi dan mobilisasi keuangan untuk penanganan perubahan iklim. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam sambutannya menyampaikan bahwa peluncuran laporan Climate Transparency ini sangat relevan dengan COP26 karena laporan ini mengukur  pencapaian  aksi iklim Indonesia apakah selaras target Persetujuan Paris atau tidak.

“Waktu kita tinggal kurang dari satu dekade untuk memastikan kenaikan temperatur global di bawah 1,5 derajat celcius. Indonesia juga disorot selain karena kita negara anggota G20, juga karena Indonesia berada di peringkat 10 besar negara penghasil emisi terbesar di dunia,” jelas Fabby. 

Untuk itu, menurut Emil Salim, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI yang juga merupakan pakar di bidang lingkungan hidup, para pembuat kebijakan di Indonesia perlu menetapkan kebijakan politik yang mampu menurunkan emisi karbon dan mencapai netral karbon pada tahun 2050 demi kelangsungan hidup generasi mendatang. 

“Nasib generasi muda pada tahun 2050 tergantung pada keputusan politik yang kita buat sekarang. Jangan hanya memikirkan keuntungan ekonomi saat ini, karena generasi muda ini yang akan menanggung konsekuensi dari pilihan yang tidak mereka buat. Pikirkan apa yang akan terjadi pada bangsa Indonesia apabila dampak perubahan iklim semakin buruk,” ucap Emil Salim.

Memaparkan laporan aksi iklim Indonesia, Lisa Wijayani, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR menggarisbawahi bahwa aksi iklim Indonesia masuk dalam kategori “highly insufficient” atau sangat tidak memadai dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Penggunaan energi fosil mencapai 82% pada tahun 2020 membuat sektor energi sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di indonesia (45,7% selain emisi dari hutan dan penggunaan lahan).

Berdasarkan temuan Climate Transparency, Lisa menjelaskan bahwa tahun 2020 seharusnya menjadi puncak penggunaan batubara dan mulai tahun 2030-2040 penggunaannya harus sedikit demi sedikit dikurangi hingga tidak lagi digunakan.

“Selain itu, untuk mengurangi emisi dari sektor transportasi, Indonesia harus meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 40-60% pada tahun 2040 atau 70-90% pada tahun 2050,” jelas Lisa terkait sub sektor penghasil emisi terbesar kedua yakni transportasi. 

Laporan Climate Transparency juga mendorong penciptaan ekosistem yang mendukung pengembangan energi terbarukan di antaranya dengan menghentikan subsidi pada energi fosil.

“Pencabutan subsidi akan membantu energi terbarukan bersaing dengan energi fosil,” imbuh Lisa. 

Dari sisi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan, Budi Haryanto, Epidemiologis Universitas Indonesia, memaparkan tingginya angka kematian akibat kenaikan suhu bumi.

“Diperkirakan pada 2030-2050, perubahan iklim akan menyebabkan tambahan kematian per tahun sebanyak ¼ juta orang akibat malnutrisi (kekurangan nutrisi), malaria, stres akibat gelombang panas,” terangnya.

Lebih jauh, Budi mendorong agar pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan mempunyai data kesehatan yang berhubungan dengan adaptasi perubahan iklim.

Secara frekuensi, bencana akibat iklim semakin meningkat. Hal ini disampaikan oleh Raditya Jati, Deputi Sistem dan Strategi, Badan Nasional Penanganan Bencana. Ia menambahkan, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki risiko cukup tinggi terhadap bencana alam.

“7 dari 10 bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi dan frekuensinya tahun ini lebih tinggi dari tahun 2020,” tutur Raditya. 

Agar emisi GRK berkurang secara signifikan, transformasi juga perlu dilakukan di sektor ekonomi, dengan beralih ke ekonomi hijau. Eka Chandra Buana, Direktur Perencanaan Makro Ekonomi dan Analisis Statistik, Bappenas menyampaikan bahwa ekonomi hijau menjadi game changer bagi perekonomian Indonesia pasca Covid-19. Menurutnya, pembangunan rendah karbon dengan memanfaatkan energi terbarukan akan menjadi tulang punggung untuk mencapai target ekonomi hijau Indonesia dan net-zero emission pada tahun 2060.

“Perhitungan Bappenas, untuk mencapai net-zero pada tahun 2060, Indonesia harus meningkatkan penggunaan EBT hingga 70% pada tahun 2050, dan 87% pada 2060. Perhitungan ini masih dalam proses,” tutur Eka Chandra.

Suksesnya pembangunan rendah karbon tentu memerlukan peran serta semua pihak, terutama pemerintah kota.  Bernardia Tjandradewi, Sekretaris Jenderal United Cities and Local Governments Asia Pacific (UCLG ASPAC) mengemukakan tanggung jawab pemerintah kota menjadi vital, terutama secara statistik, 60-80% emisi gas rumah kaca di dunia ini dihasilkan di daerah perkotaan. 

“UCLG ASPAC mendorong peran para kepala daerah (walikota) dalam penanganan perubahan iklim dengan memberikan pelatihan pada pemerintah kota tentang perencanaan aksi iklim, akses pada pembiayaan terkait iklim, dan adopsi dan pengembangan perangkat monitoring,” jelas Bernardia.

Apapun solusi untuk menurunkan emisi GRK, termasuk melakukan transisi energi menuju energi terbarukan, haruslah dilakukan secara adil. Desi Ayu Pirnasari, Peneliti di Universitas Leeds, menekankan transisi yang berkeadilan akan membentuk ketahanan iklim dan inklusi sosial di masyarakat. 

“Strategi hendaknya mengedepankan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan ownership (kepemilikan) pada agenda yang kita buat, untuk membantu kita mencapai target. Keadilan iklim tidak hanya pada mitigasi atau aksi, namun juga untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang rentan,” tegasnya. 

IESR: Waspadai Emisi di Sektor Energi, Perlu Strategi Khusus untuk Turunkan Emisi

Jakarta, 21 Oktober 2021 – Dalam Pertemuan Para Pihak (Conference of Parties) 26 yang akan diselenggarakan di Glasgow 31 Oktober – 10 November 2021 mendatang, Pemerintah Indonesia mengusung empat agenda utama yaitu Implementasi NDC, Pemenuhan/Penyelesaian Paris Rule Book, Komitmen Jangka Panjang (Long Term Strategy) 2050, dan menuju Net-Zero Emission

Pada kesempatan tersebut, Indonesia akan menyoroti berkurangnya angka deforestasi dalam 5 tahun terakhir dan upaya restorasi lahan gambut. Selain itu,upaya penurunan emisi di sektor energi akan juga dibahas seperti pemberian porsi energi terbarukan yang lebih besar dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Hari Prabowo, Direktur Pembangunan, Ekonomi dan Lingkungan, Kementerian Luar Negeri, dalam webinar bertajuk “The Road to COP26 A Climate Superpower Indonesia; Collaborative Efforts to Tackle Climate Crisis” yang diselenggarakan oleh Katadata dan Landscape Indonesia, menjelaskan bahwa Indonesia akan membawa semangat positif dan terbuka untuk ambil bagian dalam upaya pengendalian perubahan iklim. 

“Pada dasarnya Indonesia siap untuk menjadi bagian dari solusi serta akan leading by example, kita punya pencapaian yang baik di bidang kehutanan dan terus berupaya untuk menurunkan emisi di berbagai bidang,” jelas Hari.

Hari Prabowo menegaskan bahwa dalam mengatasi krisis iklim sudah saatnya kita menghindari naming and shaming, yaitu merasa bahwa negara kita lebih baik dalam menangani perubahan iklim daripada negara lain. 

“Kita harus menunjukkan inisiatif untuk berperan dalam penanggulangan perubahan iklim ini tanpa menuding pihak mana yang harusnya lebih bertanggungjawab. Perubahan iklim ini memerlukan kolaborasi semua pihak untuk memastikan tujuan besar kita tercapai,” pungkasnya. 

 

Di sisi lain, masih dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyatakan bahwa Indonesia seharusnya lebih ambisius lagi dalam menetapkan target pengendalian iklim dan penurunan emisi.

“Jika kita melihat dokumen NDC terbaru yang kemarin diserahkan ke UNFCCC, target Indonesia utamanya sektor energi masih belum ambisius. Untuk menekan kenaikan suhu bumi di level 1.5 derajat saja, pada 2030 IESR menghitung 70% bauran pembangkit listrik harus dari energi terbarukan, jika kita lihat di NDC ataupun perencanaan lain seperti RUPTL sepertinya target ini belum bisa tercapai,” ungkap Fabby.

Fabby menyepakati bahwa sektor kehutanan dan alih guna lahan (AFOLU) sebagai penghasil emisi terbesar (60%) di Indonesia menjadi sektor prioritas untuk menurunkan emisi. Namun sektor lain seperti energi diprediksi akan menghasilkan emisi lebih besar dari sektor AFOLU setelah 2024-2025, dan pada tahun 2030 akan menjadi sumber emisi dominan di Indonesia sehingga memerlukan perhatian dan strategi khusus untuk penurunan emisi di sektor energi. 

Fabby juga menyinggung kebutuhan finansial untuk penanganan iklim sangat besar. Di sektor energi saja, dibutuhkan USD 30-40 miliar per tahun hingga 2030. Periode selanjutnya, 2030-2050 kebutuhan investasi akan meningkat hingga USD 50-60 miliar per tahun. Indonesia harus mengejar komitmen negara-negara maju untuk memberi bantuan pendanaan krisis iklim pada negara-negara berkembang. 

Dharsono Hartono, Presiden Direktur Rimba Makmur Utama, menambahkan bahwa Indonesia mempunyai peran strategis dalam diplomasi pengendalian krisis iklim. Menurutnya, sebagai negara yang memiliki hutan hujan tropis yang besar serta kawasan lahan gambut terbesar,  tanggung jawab Indonesia dalam menjaga kenaikan suhu bumi sangat krusial. 

“Tanpa Indonesia berkontribusi dalam upaya global mengatasi perubahan iklim ini, target Persetujuan Paris juga tidak akan tercapai,” ungkap Dharsono.

Krisis Segala Aspek Kehidupan yang Membutuhkan Peran Serta Semua Lapisan Masyarakat

Jakarta, 19 Oktober 2021 – Dua pekan menjelang Pertemuan para Pihak (Conference of the Parties (COP) 26 di Glasgow, isu iklim banyak diperbincangkan di Indonesia salah satunya untuk menggalang suara publik dan memberi masukan pada pemerintah Indonesia yang rencananya akan diwakili langsung oleh presiden Joko Widodo untuk meningkatkan ambisi iklimnya. 

Indonesia telah memperbarui komitmen iklimnya melalui dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) yang dilengkapi dengan dokumen LTS-LCCR (Long Term Strategy – Low Carbon Climate Resilience). Secara angka, Indonesia tidak meningkatkan ambisinya lebih tinggi lagi, yaitu bertahan pada angka 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Indonesia juga berkomitmen untuk menjadi net-zero emissions di tahun 2060 atau lebih cepat. Sayangnya, upaya ini belum cukup untuk membawa Indonesia menjaga kenaikan suhu rata-rata bumi tidak lebih dari 1.5 derajat Celcius.

Dalam webinar bertajuk “Menuju COP26: Perubahan iklim dan peran publik untuk melestarikan bumi”, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute of Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa sejak tahun 1880an Indonesia selalu masuk dalam 10 besar negara penghasil emisi terbesar (carbon brief).

“Kita seharusnya melihat tanggungjawab untuk menurunkan emisi ini bukan sebagai beban namun juga sebagai kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi rendah karbon. Hasil kajian IESR menunjukkan bahwa dekarbonisasi pada tahun 2050 justru membawa manfaat ekonomi yang lebih besar, karena selain menciptakan peluang industri baru, dan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar, harga energi Indonesia akan lebih terjangkau sekaligus manfaat sosial dan ekonomi yang bisa dirasakan seperti udara yang lebih bersih dan mengurangi ancaman bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim,” jelas Fabby.

Muhamad Ali Yusuf, Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (NU), menjelaskan bahwa dari sisi organisasi masyarakat berbasis agama mengkomunikasikan isu perubahan iklim penuh tantangan sebab masyarakat pada umumnya akan peduli pada permasalahan yang ada di depan mata, maka perlu pintu masuk yang membumi untuk membicarakan perubahan iklim pada masyarakat. 

“Di sisi lain, diskursus agama kita itu masih jauh dari isu ekologis seperti perubahan iklim. Kalaupun sudah ada belum menjadi isu prioritas. Maka sebenarnya literasi tentang perubahan iklim juga perlu untuk para tokoh agama,” jelasnya.

Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Pendeta Jimmy Sormin menambahkan bahwa  tokoh agama memiliki peran strategis untuk mempengaruhi cara pandang dan tingkah laku dari umat dan memiliki dampak signifikan untuk mempengaruhi pola pikir dan pandang orang.

“Jadi memang harus punya kreativitas untuk menyampaikan perubahan iklim,” jelas pendeta Jimmy.

Literasi tentang perubahan iklim harus disebarkan kepada masyarakat luas tanpa terkecuali, karena saat muncul dampak dari perubahan iklim seperti bencana hidrometeorologi, semua penduduk akan terdampak. 

Mike Verawati, Sekretaris Jenderal, Koalisi Perempuan Indonesia, menjelaskan bahwa perempuan menjadi pihak yang paling berat merasakan dampak perubahan iklim karena kebijakan dan sistem kita yang tidak inklusif. Kebutuhan warga dilihat sebagai kebutuhan yang bersifat netral. 

“Persoalan iklim, infrastruktur, dan alam biasanya dianggap narasi besar atau isu maskulin sehingga akhirnya isu ini dianggap bukan isu perempuan padahal mereka tahu detail dan aktif melakukan advokasi, walau kadang mereka tidak bisa menjelaskan secara sains,” jelas Mike.

Bukan hanya perempuan namun anak muda juga perlu diikutsertakan dalam upaya pembuatan kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim.  Sebagai generasi yang akan hidup di masa mendatang, anak-anak muda inilah yang akan menanggung dampak dari krisis iklim yang tidak ditangani dengan serius di masa depan. 

“Pemerintah Indonesia memang sudah memiliki komitmen untuk menurunkan emisi dan mengatasi krisis iklim. Namun, komitmen itu belum cukup untuk mengatasi krisis iklim ini, beberapa produk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seperti UU Minerba, Food Estate, dan Omnibus Law terasa kontra produktif dengan upaya menanggulangi krisis iklim,” terang Melissa Kowara, Aktivis Extinction Rebellion Indonesia. 

Melissa juga menyoroti tentang minimnya literasi tentang perubahan iklim untuk masyarakat luas. Hal ini membuat masyarakat terkesan diam saja atau belum banyak bergerak karena memang mereka belum paham konteks. 

Menyongsong Naiknya Emisi Pasca Pandemi, Aksi Iklim Indonesia Dinilai Sangat Tidak Memadai

Jakarta, 28 Oktober 2021Indonesia telah memutakhirkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC)nya. Meskipun demikian, target Indonesia untuk mencapai netral karbon pada 2060 dinilai “Sangat Tidak Memadai”. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan aksi iklim Indonesia masih mengarah pada peningkatan emisi. Agar selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia perlu menetapkan target dan kebijakan yang lebih ambisius terutama pada sektor yang berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK), dan mendorong aliran pendanaan internasional terkait iklim.

Sepanjang 2019, sektor energi masih menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar (45.7% selain sektor FOLU atau hutan dan penggunaan lahan). Sub sektor pembangkitan listrik bertanggung jawab terhadap 35% emisi GRK, diikuti oleh transportasi dan industri masing-masing 27%.  Climate Transparency Report 2021 menyatakan bahwa meski Indonesia sudah mengusulkan peningkatan energi terbarukan di bidang ketenagalistrikan, transportasi, dan industri namun belum ada strategi penghentian batubara secara bertahap serta kebijakan yang mendorong persaingan energi terbarukan dengan batubara. Climate Transparency Report 2021- catatan tahunan paling komprehensif di dunia dan perbandingan aksi iklim negara G20, bahkan memproyeksikan emisi GRK Indonesia pasca pandemi akan melonjak melebihi tingkat emisinya pada 2019 seiring dengan bangkitnya aktivitas ekonomi.

“Berdasarkan kajian IESR, paling tidak, agar selaras dengan Persetujuan Paris, penurunan emisi karbon kita di sektor energi seharusnya di atas 500 juta ton,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform pada peluncuran Climate Transparency Report, Profil Negara Indonesia 2021.

Fabby memaparkan ada tiga strategi yang pemerintah Indonesia bisa lakukan untuk menekan emisi GRK dari sektor emisi.

“Pertama, peningkatan bauran energi terbarukan. Kenaikan bauran energi terbarukan harus mencapai 50% di 2030.  Kedua, mendorong efisiensi energi, khususnya dari sektor transportasi. Konsumsi energi kita per kapita untuk listrik relatif rendah, sementara permintaan bahan bakar transportasi sangat tinggi dan penyumbang emisi tertinggi,” ungkapnya.

Selanjutnya, Fabby menuturkan bahwa dengan mempensiunkan dini paling sedikit 10 GW PLTU atau tidak memperpanjang kontraknya akan efektif menurunkan emisi.

Hingga 2020, sektor ketenagalistrikan Indonesia tetap didominasi oleh bahan bakar fosil (82%), dengan batubara menyumbang pangsa tertinggi (62%) dalam pembangkitan listrik di tahun 2020. Akibatnya intensitas emisi sektor ketenagalistrikan selama lima tahun dari 2015-2020 tidak mengalami perubahan signifikan, hanya menurun sebesar 1%. Sementara, rata-rata negara anggota G20 telah menurun 10 kali lebih cepat.

Pemerintah Indonesia pun belum sepenuhnya menerapkan komitmennya untuk menekan emisi dari batubara. Demi memenuhi tujuan netral karbon pada 2060, pemerintah telah mengumumkan bahwa tidak akan membangun PLTU batubara baru setelah tahun 2023. Namun, di saat bersamaan, sekitar 2 GW kapasitas batubara sudah mulai beroperasi. Tidak hanya itu, dalam NDC, Indonesia berjanji untuk mengurangi batubara hingga 30% pada tahun 2025 dan 25% pada tahun 2050. Sementara menurut analisis Climate Transparency Report 2021, pembangkitan listrik dari batubara bahkan harus mencapai puncaknya pada tahun 2020 dan menghentikan batubara sepenuhnya pada tahun 2037 untuk menyelaraskan dengan jalur pembatasan kenaikan suhu pada 1,5°C.

Untuk mengurangi emisi GRK diperlukan pendanaan yang tidak sedikit. Oleh karena itu, pendanaan publik harus sudah mulai mengarah kepada aksi yang mampu mengatasi perubahan iklim yang lebih serius. 

“Selain itu, subsidi di sektor energi fosil harus sudah mulai dihentikan dan mempercepat transisi energi melalui pendanaan energi terbarukan,” tegas Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau, IESR.

Menurutnya, investasi pada energi hijau dan infrastrukturnya perlu lebih besar daripada investasi bahan bakar fosil pada tahun 2025. Selama ini, Indonesia telah menghabiskan 8,6 miliar USD untuk subsidi bahan bakar fosil pada 2019, 21,96% di antaranya untuk minyak bumi dan 38,48% untuk listrik. 

Lebih jauh, Lisa menambahkan bahwa penerapan pajak karbon bisa menjadi awal yang baik dalam mendorong upaya pengurangan emisi GRK yang utamanya dikontribusikan dari sektor ketenagalistrikan, transportasi, dan industri sebagai penyumbang emisi terbesar di Indonesia pada sektor energi.

“Namun perlu adanya mekanisme yang lebih feasible (layak) agar penerapan pajak karbon mampu mengurangi emisi secara signifikan dan memajukan ekonomi yang berketahan iklim melalui upaya yang lebih besar lagi misalnya melalui carbon trading (perdagangan karbon).” tutup Lisa.

Jelang COP26, Pemimpin Komunitas Suarakan untuk Deklarasi Darurat Iklim

Jakarta, 19 Oktober 2021Indonesia telah memutakhirkan komitmen iklim melalui Nationally Determined Contribution (NDC)-nya untuk mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Komitmen Indonesia yang terlambat 10 tahun dari target Persetujuan Paris menyiratkan upaya pemerintah yang kurang ambisius dalam menyikapi krisis iklim yang mengancam kehidupan masyarakat Indonesia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengemukakan bahwa persoalan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) seharusnya tidak dipandang sebagai beban melainkan sebuah kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi menuju ekonomi rendah karbon.

“Berdasarkan kajian kami berjudul Deep decarbonization of Indonesia’s energy system, dekarbonisasi mendalam pada sistem energi di tahun 2050 justru membawa manfaat ekonomi yang lebih besar,” ujar Fabby dalam webinar “Menuju COP 26:  Perubahan iklim dan peran publik untuk melestarikan bumi” yang diselenggarakan oleh IESR (19/10/2021).

Fabby menambahkan bahwa manfaat ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat melalui terciptanya peluang industri baru  sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Selain itu, harga energi Indonesia akan lebih terjangkau dari pemanfaatan teknologi energi terbarukan yang lebih murah serta udara yang lebih bersih. Menurutnya, ambisi iklim yang selaras dengan Perjanjian Paris akan mengurangi ancaman bencana hidrometeorologi sebagai konsekuensi dari meningkatnya suhu bumi melebih 1,5 derajat Celcius.

Menyoroti kebijakan dan tingkat literasi masyarakat terhadap krisis iklim, para pemimpin  komunitas yang turut hadir pada kesempatan yang sama mengemukakan bahwa kebijakan terkait iklim yang belum terintegrasi serta kurangnya akses informasi tentang perubahan iklim membuat upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia berjalan lambat.

Tidak adanya deklarasi darurat iklim oleh pemerintah menurut Melissa Kowara, Aktivis, Extinction Rebellion Indonesia mengindikasikan rendahnya tingkat keseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis iklim.

“Belum ada sikap tegas dari tingkat tertinggi negara yang mengatakan bahwa kita ada di suatu krisis. (Belum ada deklarasi yang mengatakan-red) kita akan melakukan segala suatu cara yang bisa dilakukan baik (oleh) swasta, sipil, pemerintah untuk menanggulangi masalah yang menyangkut nyawa dan kelangsungan hidup kita semua,” ujar Melissa. Menurutnya, hal ini berkaitan dengan literasi masyarakat  yang rendah mengenai perubahan iklim.

Muhammad Ali Yusuf, Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), Nahdlatul Ulama (NU) mengungkapkan pula bahwa diskursus keagamaan di Indonesia sendiri masih jauh dari isu ekologis atau perubahan iklim.

“Kalaupun sudah ada, belum masuk isu prioritas utama. Untuk itu, literasi perubahan iklim juga perlu untuk tokoh-tokoh agama sebab kehidupan keagamaan tidak mungkin bisa berlanjut bila terjadi krisis iklim,” jelasnya.

Senada, Jimmy Sormin, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), mendorong agar para tokoh agama perlu memainkan perannya dalam meningkatkan pemahaman umat terhadap persoalan iklim dengan membahasakannya sesuai konteks lokal.

“Di daerah, dampak perubahan iklim seperti munculnya hama baru, gagal panen, dirasakan oleh masyarakat, namun mereka tidak memahaminya. Perlu  ‘membumikan’ hal tersebut sesuai dengan perspektif mereka (masyarakat setempat-red),” ujar Jimmy.

Menilik persoalan perubahan iklim dari sisi perempuan, Mike Verawati Tangka, Sekretaris Jenderal, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) berpendapat bahwa  seyogyanya perubahan iklim sangat dekat dengan kehidupan perempuan. Namun, Mike menyayangkan isu lingkungan dan perubahan cenderung dianggap sebagai isu maskulin sehingga mengesampingkan peran perempuan dalam merawat alam dan melakukan advokasi permasalahan iklim.

“Padahal dampak perubahan iklim paling berat dirasakan perempuan karena kebijakan dan sistem kita tidak disiapkan secara inklusif. Inisiatif positif yang dilakukan oleh perempuan dengan melakukan advokasi perubahan iklim juga harus diberi pengakuan (recognition) oleh negara,” tandas Mike.***